Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Planmaker; Esais; Impactfulwriter; Founder Growthmedia; Dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Think Different, Create Excellent

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Kampanye Pencitraan Miskin Kualitas

8 Februari 2019   13:51 Diperbarui: 8 Februari 2019   14:21 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar : 60detiknews.com


Ketika melakukan perjalanan melintasi jalan raya mungkin cukup banyak dari kita yang menjumpai baliho, spanduk, ataupun poster dari para calon anggota legislatif yang menampangkan foto diri beserta nomor identitas pemilihannya. Tidak lupa ada kata-kata seperti "Mohon doa dan dukungannya.", "Siap menyampaikan aspirasi.", dan lain sebagainya. 

Pernahkah kita bertanya dalam hati bahwa atas dasar apa mereka yang memajang foto itu harus kita pilih? Lha ketemu saja tidak pernah, kok ini ujug-ujug minta dipilih dan didukung. 

Hal ini yang seringkali mengganjal di benak cukup banyak orang, dimana banyak dari kita yang tidak tahu latar belakang para politisi yang mencalonkan diri sebagai wakil kita. Lantas bagaimana mungkin orang-orang yang tidak tahu banyak tentang diri kita ini bisa diandalkan untuk menyampaikan aspirasi dan harapan yang kita miliki? 

Seperti ada kesan memaksakan diri dari para calon wakil rakyat itu, dimana mereka tidak mempersiapkan diri  sejak jauh hari sebelumnya dengan menyempatkan diri membaur ke masyarakat secara langsung. Justru ketika momen menjelang pemilihan semakin dekat, mereka masih disibukkan dengan prosesi pencitraan yang kering kualitas.

Menjadi wakil rakyat dalam konteks sebagai anggota legislatif ataupun pejabat pemerintah sebenarnya diperoleh berdasarkan mandat yang diamanahkan oleh masyarakat pemilihnya. Menjadi pengemban amanah tidak bisa dibilang mudah. Bahkan khalifah Umar Bin Abdul Aziz setelah dipilih menjabat sebagai pemimpin umat yang diucapkannya pertama kali adalah innalillahiwainnailaihi rojiun, bukan alhamdulillah. 

Ini merupakan wujud ekspresi kekhawatiran mengemban amanah sebagai pemimpin. Beban menanggung nasib umat kiranya memang begitu berat sehingga wajar kiranya ketika pemimpin seperti Umar Bin Abdul Aziz ini berkata demikian. 

Namun fenomena sebaliknya justru terjadi saat ini, dimana begitu banyak orang yang berlomba-lomba menjadi penguasa, saling sikut kiri kanan demi mendapatkan tampuk jabatan, dan kemudian bersuka cita setelah berhasil mendapatkan mandat rakyat. Sangat jauh berbeda dengan sikap pemimpin besar umat dimasa lalu seperti halnya yang ditunjukkan oleh khalifah Umar Bin Abdul Aziz.

Kenyataannya sekarang, menjadi pemegang mandat itu laksana ingin menjual produk saja. Iklan disebar kemana-mana dengan harapan nanti akan dikenali dan kemudian dipilih. Bagi mereka yang tidak cukup dikenal luas sebelumnya tentu memiliki tugas yang lebih berat untuk mengenalkan dirinya ke masyarakat. 

Sehingga tidak mengherankan ketika para calon wakil rakyat berlatar belakang artis memiliki daya tarik tersendiri. Mereka sudah cukup dikenal publik, sehingga tidak sampai harus bekerja ekstra keras seperti calon dari kalangan biasa. 

Permasalahan utamanya sebenarnya bukan siapa yang akan menjadi calon wakil rakyat, akan tetapi seberapa baik kualitas diri yang ditawarkan untuk menjadi pemegang amanah rakyat. Orang-orang yang sudah populer di mata publik namun tidak memiliki kekuatan mumpuni untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat tidaklah pantas untuk dipilih. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun