Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Planmaker; Esais; Impactfulwriter; Founder Growthmedia; Dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Think Different, Create Excellent

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bersatu Tanpa Syarat

31 Desember 2018   07:49 Diperbarui: 31 Desember 2018   08:26 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : arieflmj.wordpress.com

Periode pasca tsunami di Selat Sunda yang terjadi sekitar satu minggu yang lalu mungkin menyisakan kesedihan yang mendalam kepada para korban dan keluarga yang ditinggalkan. Sebuah musibah yang tidak disangka-sangka terjadi begitu saja dan merubah sorak-sorai kebahagiaan liburan akhir pekan menjadi keheningan yang menyayat. Inilah duka yang kembali melanda bangsa kita setelah beberapa waktu lalu musibah serupa terjadi di Palu dan Donggala.

Dibalik sebuah kedukaan tersimpan hikmah yang mendalam bagi siapapun yang mau dan mampu belajar darinya. Duka adalah bagian dari kehidupan yang kejadiannya sudah ditentukan sedari sejak zaman azali. Allah SWT sudah menggariskan setiap kejadian di bumi-Nya mulai dari tahun, bulan, hari, jam, menit, bahkan detiknya. Ini semua adalah bagian dari ujian Allah SWT kepada hamba-Nya.

Beberapa waktu belakangan ini kita melihat fenomena yang luar biasa dari masyarakat kita tentang menjalankan makna sesungguhnya dari solidaritas dan rasa kemanusiaan. Rekan-rekan dari berbagai penjuru negeri kompak bersatu melakukan penggalangan dana, memberikan balabantuan kepada saudara mereka korban tsunami Selat Sunda. 

Banyak pemuda-pemudi turun kejalan untuk mengumpulkan sumbangan. Mereka rela berpanas-panasan demi menghadirkan sesungging senyum kepada para korban bencana. Disinilah kita melihat arti sesungguhnya dari bersatunya sebuah bangsa.

Ditengah-tengah iklim politik yang semakin memanas menjelang pemilu presiden, mungkin situasi pasca bencana memiliki andil untuk meredakan sedikit ketegangan yang tengah terjadi di masyarakat kita. Ketika sebelumnya beberapa pihak saling "beradu" menunjukkan identitas keberpihakannya kepada tokoh calon pemimpin negara, saat ini semua lebih mengendurkan urat egonya demi rasa empati kepada para korban. 

Mungkin bisa dibilang untuk menciptakan situasi yang adem di tengah panasnya kontestasi perpolitikan di tanah air sangat mahal harganya. Entah kebetulan atau tidak, tapi realitas menunjukkan bahwa semua pihak telah menurunkan tensinya. Meski barangkali hanya sejenak.

Sebuah pernyataan yang disampaikan oleh salah seorang mantan pemain timnas Sepakbola Indonesia, Firman Utina, mungkin menarik untuk diangkat disini. Ia berkata,"Yang bisa menyatukan bangsa ini hanya dua. Pertama, sepakbola. Kedua, gempa (bencana)." Pernyataan ini saya rasa ada benarnya. Karena ketika timnas sepakbola Indonesia tengah menjalani kompetisi internasional, dan terlebih ketika menunjukkan performa yang cukup baik maka seolah-olah terlihat antusiasme besar di kalangan masyarakat kita. 

Demam bola. Demikian kiranya sebuah ungkapan populer yang sering dipakai. Ini merupakan gambaran bahwa ada kecintaan terhadap timnas, dan ada rasa persatuan dengan fokus yang sama yaitu harapan untuk melihat timnas agar bisa memberikan prestasi tertinggi. 

Meski pada kenyataannya timnas kita masih belum terlalu berprestasi, tapi setidaknya ketika mereka bermain animo masyarakat cepat sekali tersedot. Sepakbola seperti menjadi sebuah alat yang menggerakkan kesadaran masyarakat kita bahwa kita adalah Indonesia yang satu.

Ketika sepakbola saat ini tidak kunjung menunjukkan magisnya untuk menghadirkan damainya sebuah persatuan, bencana yang hadir menjadi aktor baru yang seolah ingin mengingatkan sekelompok manusia di negeri ini yang terus-menerus berseteru demi ego dan pendangan pribadi mereka. 

Beberapa tahun belakangan ini saya pribadi menilai bahwa saat ini mungkin merupakan periode dimana kontestasi politik begitu banyak dipenuhi oleh ujaran kebencian, sinisme, prasangka buruk, saling sandra, dan saling menyudutkan satu sama lain. Negeri yang digadang-gadang sebagai negeri yang gemah ripah loh jinawi toto tentrem karto raharjo seolah sirna. Bangsa kita seperti tengah sibuk melakukan kegaduhan demi membenarkan opininya masing-masing. Apakah ini efek dari era informasi yang semakin memuncak? Bisa jadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun