Mohon tunggu...
Ageng Rikhmawan
Ageng Rikhmawan Mohon Tunggu... lainnya -

"Karena Teknologi yang berfilosofi dan berseni adalah Tempe Indonesia."

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cintaku, Aku Lupa Cara untuk Menulis

1 Mei 2013   22:49 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:17 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

[caption id="" align="aligncenter" width="543" caption="http://www.indhie.com/wp-content/uploads/2007/11/pena.jpg"][/caption] "Katamu aku inspirasimu, katamu kau butuh inspirasi untuk menulis. Menyiayiakan keberadaanku saja! Mana hasil karyamu?", katamu berlalu. Memicingkan mata, sambil sesekali melamun. Hingga kau hilang dipermukaan, hilang ditelan belokan. Seonggok diri seribu untai janji kelas coro yang terkunyah di Cafe Hitam Putih. Memojokkan diri ditempat yang sama, padahal sepekan sebelumnya penuh canda tawa di keramaian ini. Jalan Separuh-separuh nomor 25 Kota Baru. Tempat biasa kita beradu cakap. Meja bundar dalam payungan. Ini malam, hujan embun tak konak membuatku jingkrak sampai pagi menjelang. Tak mau merokok, ini juga katamu lebih suka pria yang tak suka merokok. Ini hanya pria dengan sisa kekuatan yang dulunya -pun sementara- kau puja. Kau memujaku sekarang? itu dinamika kata politikus, itu artinya aku menjilatmu sama padan dengan aku mencintaimu. Ada saatnya suka dan menurun menjadi tidak suka. Gonjang-ganjing politik cetus "sapaan keadaan" oleh sang politikus. Aku pun menyadari, ini saatnya. Entah mau menarik skeptismu dari sudut pandang apa? Pemenuhan kebutuhan yang tak sesuai dengan derajat waktu, mungkin? Atau ada unsur lain yang meleburmu menjadi seorang yang tak kukenal seperti sekarang. Masih dalam bundaran kelip lampu LED, mereka mendukungku tegas membulat sebuah pertanyaan. Kenapa kau harus mengukur keberadaanku dengan hasil karya tulis? Pena kasat baca yang sering kutinggal didunia maya (?). Sesungguhnya merupakan hal absurb. Mengaburkan diri dengan segala halusinasiku, namun kau bisa percaya. Kau baca lontaran tak berbatas imajinasiku, lalu terpesona serta terakhir menggangguk mengimaninya. Aku menulis bukan untukmu cinta, aku menulis bukan karenamu, aku menulis hanya karena ingin menulis, aku menulis bukan untuk membuatmu memperhatikanku, aku menulis bukan untuk memujamu, aku menulis bukan karena tak ada media untuk berfikir, aku menulis bukan untuk menghentikan kegelisahanku, aku menulis bukan untuk membuatmu terpana. Aku menulis maka lahirlah sebuah tulisan, semudah itu aku berangkat berpikir. Jika rasanya menulis memang karenamu, aku dulu pernah mencoba. Penat hingga aku tak bisa meraih simpulan kala itu. Alur menetap abstrak tetapi tak membuat keindahan setitikpun. Kekuatan tokoh yang kucat semauku dengan warna imajinasi seakan cepat luntur sampai pertengahan bab, aku tak bisa serius dalam ilmiahku, aku tertipu paragraf pertama dan mengutuk sampai menyadari aku telah menipu waktu. Aku cepat lelah melihat tombol qwerty. Aku tak bisa menulis karenamu detik itu. Aku ingat, pernah menyatakan butuh inspirasi sesaat sebelumnya. Aku butuh kamu. Dalam sadar mengucapkan perihal tersebut. Cintaku, hingga pada waktu yang sama aku mendambakan aku bisa menulis seperti dulu lagi. Itu usaha terakhir dan tenaga terakhir menginisiasi lagi cara mengarang tulisan. Ini hasrat tak kuasa. Aku pria berbisa berkutang kata-kata. Aku hebat memaknai, aku melebihkan serangkaian huruf melebihi semangat untuk hidup. Terlalu sayang. Tetapi itu dulu. Sebelum aku mengenalmu. Sebelum terpana rona-rona raut ratu. Kemudian sepertinya hampir semua perhatianku beralih padamu. Hampir semua waktu mendefinisikan dirimu. Ada Tuhan kemudian ada kamu. Ada Ibu kemudian ada kamu. Ada tugas kantor kemudian ada kamu. Ada sesuatu kemudian ada kamu. Hingga berjalannya sang kala, aku tak menemukan ada tulisan hasil gubahanku lalu ada kamu. Pembuntut yang hilang dari tuannya. Aku tak menemukanmu berdamping dengan rekaan tanganku sekarang. Malam melarut, aku menghakimi terlalu tajam. Aku cinta kamu. Tetapi musnah kemampuanku dalam merangkai kata-kata. Akhirnya tak ingin semuanya hilang dan begitu saja, tak dapat mencintaimu ditambah merelakan hilangnya cara menguntai kalimat-kalimat. Kau benar, aku harus merunut hingga mendapatkan aura itu lagi. Darimana dan sampai kapan harus tahu pertanyaan serta sebuah jawaban. Untuk apa dan seberapa besar aku juga tahu itu untuk sesiapa dan segera mengakhiri tanda tanya. Tak jenak, kemudian aku menulis pesan pendek untukmu " Cintaku, aku lupa cara untuk menulis namun aku tak lupa cara untuk mencintaimu". Tiba-tiba. Ah, itu terlalu berlebihan menurutku, bukannya menulis itu sesuatu yang lumrah tanpa lebihan. Itu yang harus kutanam sedini detik ini. Mampuskan kata panjang melambai itu! Rubah ego terlalu menyayat yang aku pastikan menjadi inti kalimat! Kemudian berubah pikiran kembali, hingga aku pastikan pesan pendek yang terkirim padamu hanya " Aku lupa cara untuk menulis." Sent. Ruang Broadcast Polines ( Politeknik Negeri Semarang) 1 Mei 2013. I Love Mayday!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun