Mohon tunggu...
afsya mayzia naftalie
afsya mayzia naftalie Mohon Tunggu... Mahasiswa UIN WALISONGO

Haiiii nulisss, tugasss, Dann tugasss lagiiii

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Moralitas Publik di Tengah Korupsi Sistemik:Siapa yang Masih Bisa Kita Percaya?

18 Oktober 2025   21:11 Diperbarui: 18 Oktober 2025   21:12 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: nasonal.tempo.co

"Ketika kepercayaan publik runtuh, hukum tak lagi menakutkan, dan moral hanya jadi slogan." kalimat ini bukan hanya kata-kata kosong, melainkan gambaran pahit dari kenyataan bangsa yang terus diganggu oleh korupsi yang merajalela. Dinegara yang menghormati pancasila dan nilai-nilai agama,praktik korupsi justru berkembang pesat di lingkungan kekuassan. Hal ini melibatkan bukan hanya orang per oreng, tetapi juga sistem yang seharusnya melayani masyarakat. Berita korupsi berganti wajah,tetapi rasa muak public tetap sama. Kita seperti menonton sirkus tragis yang tak kunjung usai, menyaksikan para pelaku berputar antara pengadilan,sel tahanan, dan kembalike panggung kekuasaan. Skandal demi skandal meredam hampir semua sektor mulai dari dana bansos,proyek infrastruktur, hingga lembaga peradilan. Ini mendorong pertanyaan menyakitkan: dalam lautan ketidakpercayaan ini, siapa dan apa yang masih bisa dijadikan sandaran moral? Artikel ini mengajak kita menelusuri akar rapuhnya moralitas publik, serta mencari harapan ditengah gelapnya praktik korupsi yang nyaris menjadi budaya. Ditengah sistem yang rusak, barangkali harapan justru terletak pada individe dan gerakan sipil yang masih tulus menjaga nurani.

Korupsi di Indonesia sudah lama melampaui batas sebagai kejahatan individu. Yang kita hadapi sekarang adalah monster bernama korupsi sistemik sebuah praktik yang sudah mendarah daging dan tertanam kokoh dalam struktur birokrasi, politik, dan ekonomi kita. Buktinya ada di sekeliling kita: dari ritual "uang pelicin" untuk mengurus secarik kertas di kelurahan, hingga mark-up proyek infrastruktur senilai miliaran, dan yang terbaru, skandal megah seperti di PT ASDP yang menyedot triliunan uang rakyat. Data Indonesia Corruption Watch (2019-2023) saja mencatat kerugian negara mencapai Rp 236,46 triliun angka fantastis yang menggambarkan betapa sistem ini telah bekerja dengan "efisien" untuk menggerogoti uang kita.

Dampak dari sistem yang sakit ini jauh lebih berbahaya daripada sekadar kerugian materi. Yang terjadi adalah erosi total kepercayaan publik dan degenerasi moralitas kolektif kita. Ketika ketidakpercayaan merajalela, masyarakat menjadi apatis, sinis, dan kehilangan solidaritas.Karena mereka tidak lagi percaya pada institusi yang seharusnya bertindak, mereka menolak untuk melapor. Lebih parah lagi, korupsi telah menjadi kebiasaan. Dalam proyek publik, istilah seperti "balik modal", "uang rokok", atau "uang administrasi" mulai beralih dari arti yang merugikan menjadi sekadar "biaya operasional" yang dapat diterima. Ketika yang salah dianggap biasa, yang biasa mustahil untuk diberantas. Merosotnya rasa malu sosial juga memperparah masalah, koruptor yang tertangkap sering kali masih tampil di depan umum dengan senyum lebar seolah sedang dalam perjalanan wisata. Hilangnya "stigma sosial" ini membuat hukum sosial kehilangan daya jera. Akibatnya, apatisme dan kepasrahan publik meluas, dengan frasa pasrah seperti "ya, namanya juga Indonesia" atau "sudah dari sananya begitu" sebagai pengakuan kekalahan terhadap sistem yang dianggap terlalu kuat untuk dilawan. Ketika pemimpin kehilangan rasa takut kepada Tuhan dan tanggung jawab kepada rakyat, maka korupsi menjadi keniscayaan. Dalam konteks Pancasila dan nilai-nilai agama, ini adalah pengkhianatan terhadap prinsip keadilan, kemanusiaan, dan integritas.

Siapa yang Masih Bisa Kita Percaya?

Jika kita membedahnya, hampir tidak ada institusi yang benar-benar luput dari krisis kepercayaan ini. Dunia politik dan pemerintahan sering kali berubah menjadi "supermarket kebijakan," di mana pasal-pasal dinegosiasikan dan kepentingan publik dikalahkan oleh transaksi gelap. Institusi eksekutif di level pusat hingga daerah menjadi ladang subur bagi proyek fiktif dan mark-up. Penegak hukum seperti KPK, kepolisian, dan kejaksaan adalah titik nadir; ketika mereka terlibat dalam pemerasan atau "jual-beli perkara," kepada siapa kita harus mengadu? Lembaga swasta dan konglomerasi juga bukan kacang goreng di balik nama besar, praktik suap dan kolusi adalah rahasia umum. Bahkan institusi agama dan moral terjerat paradoks; tokoh agama yang bersuara tentang kejujuran justru didakwa tidak jujur, meruntuhkan otoritas moral mereka. Lalu, adakah harapan? Di tengah kabut suram ini, beberapa titik cahaya masih berkedip. Sipil masyarakat seperti LSM, aktivis, dan jurnalis investigatif adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Mereka gigih membongkar kejahatan sistemik, meski sering dibayangi ancaman. Generasi muda yang melek hukum, terdidik, dan sensitif terhadap ketidakadilan adalah harapan terbesar mereka lebih sulit "dibeli" dan berani menyuarakan kritik. Whistleblower dari sistem yang buruk juga penting karena meskipun mereka dianggap sebagai pengkhianat, merekalah yang mengambil risiko paling besar untuk membongkar kebenaran. Pada akhirnya, kita harus bertanya pada diri kita sendiri, "siapa yang dapat dipercaya". Apakah kita masih memiliki komitmen untuk jujur dalam hal kecil? Apakah kita berani menolak ketika diajak berbuat curang?

Solusi dan Harapan untuk Restorasi Moralitas

Tidak cukup hanya penegakan hukum untuk mengatasi korupsi yang sudah ada dalam sistem. Kita membutuhkan pendekatan yang mencapai inti masalah, yaitu moralitas publik. Pendidikan karakter harus menjadi prioritas utama, bukan hanya sebagai tambahan untuk kurikulum. Kejujuran, tanggung jawab, dan keadilan sosial adalah nilai-nilai Pancasila yang harus diterapkan dalam kehidupan nyata, bukan hanya dalam buku pelajaran. Sebagai mahasiswa, saya menyadari bahwa kelemahan regulasi bukan satu-satunya penyebab krisis ini; pendidikan karakter juga belum menyentuh akarnya. Nilai-nilai Pancasila seperti keadilan sosial, kemanusiaan, dan ketuhanan yang maha esa sering kali hanya menjadi slogan, bukan prinsip hidup. Padahal, dalam Islam, amanah dan kejujuran adalah fondasi utama kepemimpinan. Selain itu, keteladanan elite politik dan pejabat publik sangat menentukan arah moral masyarakat. Ketika pemimpin menunjukkan integritas, masyarakat akan belajar untuk percaya dan meniru. Sebaliknya, ketika pemimpin justru menjadi pelaku korupsi, maka publik akan kehilangan harapan dan kepercayaan sosial pun runtuh.

Kita membutuhkan tindakan nyata untuk mengembalikan moralitas publik. Pertama, reformasi hukum harus dilakukan, Undang-Undang Anti-Korupsi harus diperketat, KPK dan pengadilan yang independen harus diperkuat. Kedua, memulai pendidikan anti-korupsi sejak kecil, seperti program sekolah yang mengajarkan moralitas dan transparansi. Ketiga, fungsi media sosial sebagai pengontrol: kampanye viral seperti #ReformasiDikorupsi telah memengaruhi pendapat publik. Selain itu, gerakan sipil sangat penting, Yogyakarta adalah salah satu contoh bagus di mana pemerintah lokal berhasil mengurangi korupsi dengan membuat anggaran transparan. Ada harapan bahwa moralitas publik dapat dipulihkan melalui keterlibatan aktif, bukan dengan menunggu pemerintah. Kita harus menjadi agen perubahan, mulai dari melaporkan sedikit tindak korupsi hingga mendukung kandidat yang bersih.

Untuk memerangi korupsi, transparansi harus menjadi prioritas utama, lembaga pengawas masyarakat harus diperkuat, dan integritas harus ditanamkan sejak dini.  Untuk mencegah korupsi, pemerintah harus secara konsisten mengatur sistem pengadaan dan pelayanan publik. Di sisi lain, masyarakat harus menghidupkan kembali budaya malu terhadap korupsi dan mendorong hukuman yang lebih tegas untuk pelanggaran tersebut.  Sebagai mahasiswa , saya percaya bahwa kesadaran kecil membawa perubahan besar.  Beberapa contoh kontribusi nyata adalah menolak budaya yang permisif terhadap korupsi, berani bersuara, dan aktif terlibat dalam gerakan sosial.  Kita tidak bisa menunggu orang yang baik datang dari langit kita harus menghasilkan generasi yang berani dan jujur, meskipun dalam sistem yang korup.

Penutup

Korupsi sistemik di Indonesia bukan sekadar masalah ekonomi, melainkan racun yang telah merusak moralitas publik dan menghancurkan kepercayaan kita pada segala institusi. Dari erosi solidaritas hingga normalisasi ketidakjujuran, dampaknya telah membuat masyarakat apatis dan pasrah. Namun, di tengah kegelapan ini, harapan masih ada di individu seperti aktivis, generasi muda, dan diri kita sendiri yang berani menolak korupsi. Dengan pendidikan karakter, reformasi hukum, dan partisipasi aktif, kita bisa memulihkan moralitas itu. Mari kita jadikan komitmen pribadi sebagai fondasi perubahan, karena tanpa kepercayaan, bangsa ini akan terus terperosok dalam jurang kehancuran. Siapa yang masih bisa kita percaya? Jawabannya dimulai dari kita sendiri, orang-orang yang memilih jujur di tengah sistem yang busuk.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun