Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sup Jagung Sang Penulis

22 November 2012   04:03 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:52 708
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13535569841859031582

*

Ada banyak hidangan yang bisa dinikmati  di restoran Palmia, tapi hanya satu yang selalu dipesan laki-laki itu: sup jagung.

RASA ITU tak pernah membosankan bagi Sobir. Bulir-bulir jagung manis dimasak dengan kaldu diresapi bumbu bawang dan merica yang tak begitu tebal. Rasa manisnya tersembunyi di dalam gurihnya lumeran kuah, akan pecah begitu butir-butir terkelupas di antara gigi. Dengan ukuran mangkuk putih yang hanya segenggaman tangan, sup itu normalnya habis dalam sepuluh menit. Tapi Sobir bisa menikmatinya selama satu jam penuh dengan jari-jari bergerak dan mata yang sesekali terpejam. Laki-laki itu sedang menyelesaikan satu bab lagi tentang kisah setengah dekade. Mengetiknya dengan ingatan pendek yang sulit dimengerti kebanyakan orang. Setelah bertahun-tahun mencari tempat terbaik untuk memberinya rasa nyaman dan sedikit lebih panjang ingatan, maka tibalah ia di restoran itu. Datang setiap hari pada jam empat sore dan pulang pada jam lima. Ia menjadi pelanggan tetap yang dikenal oleh penduduk sekitar sebagai “si Penulis”.

“Berapa umurmu?”

Tiba-tiba sapaan itu menghentikan gerakan jemari Sobir dari atas papan tombol mesin ketiknya. Sapaan yang kurang sopan dari mulut seorang pelayan, tapi itu bukan masalah. Mesin itu seberat lima kilogram dan ia tak bisa menggesernya sedikitpun dari tempatnya semata-mata agar gelas dan piring tidak terdorong jatuh. Meja bundar itu hanya cukup untuk berdua, dan pelayan yang menyapa itu sebetulnya sudah Sobir kenali sejak lama, hanya saja belum secara resmi. Belum ada yang menyapanya selama mampir makan di tempat itu. Maka ia menjawab dengan sopan pertanyaan yang mungkin sapaan perkawanan.

“Tigapuluh satu.”

“Cukup muda,” komentar pelayan yang atas izin pemilik restoran yang mengintip dari balik meja dapur, kemudian duduk mendampingi di satu-satunya kursi kosong di meja itu.

Di mata Sobir, perempuan ini manis, meski ia beberapa kali menggugat sendiri penilaiannya itu. Sisi penggugat di batinnya berpikir bahwa mungkin rambut panjang setengah punggung yang kukepang menyatu seperti cambuk itu hanya kemasan. Bukannya ia mengenyampingkan fakta bahwa Elektra tak pernah berambut panjang dan Cleopatra mungkin ratusan kali memotong rambut. Di kebanyakan tempat yang ia temui, perempuan dengan rambut paling menarik sering kali adalah yang paling berbahaya. Tapi kali ini ia nekat menebak, bahwa perempuan di depannya paling tidak berumur di atas duapuluh lima.

“Duapuluh tiga.”

Maka tebakannya kali ini salah.

Orang salah harus menunggu waktu berbicara, pikir Sobir. Maka untuk beberapa menit setelah tebakan yang memalukan itu, ia terdiam. Memiijit-mijit jarinya sendiri tanpa menyentuh papan ketik sedetikpun. Sementara perempuan di depannya seperti mulai goyah untuk bertarung dengan bahasa tubuh tanpa kata. Demi meraih kembali kendali situasi yang dimulainya, ia bertanya lebih lanjut.

“Siapa nama Anda?”

Pertanyaan yang lebih sopan.

“Sobir.” Maka laki-laki itu menjawab.

“Saya Anggar.” Perempuan itu menyodorkan tangannya yang terbuka dan tanpa basa basi Sobir menyambut jabatan itu.

Ini adalah perkenalan resmi yang dirasakan laki-laki itu selama beberapa tahun pengembaraannya. Bertahun-tahun hidup berpindah adalah pilihannya sejak awal. Tinggal beberapa bulan di kampung ini kemudian beralih ke kampung lain bulan-bulan berikutnya. Ia ingat alasan mengapa mengembara. Alasan konyol bagi sebagian besar orang. Sejak masa kolonial sampai kediktatoran seorang presiden mulai terendus, nyaris tak ada yang mau menulis kisah-kisah melalui pengembaraan dalam artian sebenarnya. Tapi Sobir sudah membulatkan tekad, maka pada hari ketujuh bulan Rajab ia berangkat dari pelabuhan Selayar dengan tumpangan perahu layar berbayar dua ratus rupiah, melihat langit biru dan tiba-tiba gentar saat menyadari dunia jauh lebih luas dari pikirannya selama ini.

“Apa yang kau tulis di sana?” Anggar bertanya lagi dan Sobir berpikir beberapa kali apakah ia akan menjawab pertanyaan itu. Selama ini ia tak pernah memberitahu siapapun tentang apapun dari tulisan yang diketiknya. Tentu ada satu-dua yang dengan licik mengintip halaman-halaman yang diketik, tapi Sobir tak pernah khawatir. Meski pada kenyataannya orang-orang yang menilai sesuatu dari permukaannya sering kali merepotkan.

“Maaf.” Anggar lalu mengoreksi sendiri permintaannya.

Sobir menjawab bahwa hal itu tak masalah, hanya saja ia mengirim isyarat bahu bahwa kertas yang diketiknya belum begitu penting untuk dibincangkan dengan orang. Ada dua alasan paling masuk akal untuk ini: karena ia belum punya orang yang benar-benar bisa dipercaya, dan karena ia sendiri belum mengerti apa yang diketiknya.

Laki-laki yang dipanggil ‘si penulis’ itu belum mengerti apa yang diketiknya selama ini. Keheningan menyelimuti meja itu selama hampir dua menit, membuat Anggar merasa bersalah dan Sobir merasa bingung mencari-cari apa yang tersisa di ingatannya. Ia menjatuhkan pandangan ke dalam kuah sup jagung yang tersisa setengah di mangkuk putih. Mencari butir-butir yang tepat untuk memberinya gambar masa lalu yang lebih jauh, agar ia punya kata yang lebih banyak untuk diketik atau sekadar diucapkan menjawab pertanyaan seorang perempuan ramah yang menghampirinya. Cara itu tak berhasil. Perbincangan itu tak berhasil.

Anggar meminta maaf kesekian kali kemudian bangkit dan kembali ke pos kerjanya. Sobir mematung dan pandangannya tetap mengarah ke sup mangkuk. Sore itu ia pulang dengan kepala lebih sering tertunduk. Ia bertanya, apa yang sebenarnya ingin ditulisnya.

Di meja, sup jagung itu bersisa separuh.

**

Tujuh hari.

Anggar merasa telah melakukan kesalahan. Ia merasa buruk terhadap si penulis itu hingga tujuh hari terakhir meja nomor dua itu tak diisi siapapun dari jam empat hingga jam lima. Seperti magis, restoran itu lebih sepi sejak Sobir tak lagi mampir dengan mesin ketiknya. Potongan-potongan ayam goreng di lemari mulai mengering dan sayur-mayur mulai dikerubuti serangga terbang berkoloni. Mega, laki-laki paruh baya bongsor dengan kulit hitam berlipat, juga merasakan yang sama. Ia sebagai pemilik restoran beserta tiga karyawannya harus tetap memberi makan malam pada orang-orang agar mereka juga bisa makan. Maka rutinitas sore selama seminggu terakhir itu hanya diisi dengan gemerisik bunyi radio yang berkelakar soal jatuhnya komunis di Tiongkok dan riuh sisa-sisa pemberontakan Gestapu di tanah Jawa. Jendela-jendela mulai buram saat bulan memasuki masa hujan. Angin membuai bilah papan nama restoran hingga berayun-ayun di gantungan rantainya.

Tapi hari itu di tigapuluh menit terakhir, laki-laki itu muncul dari kejauhan setapak yang berkabut.

Anggar langsung menyambut lagi tamu spesialnya, langsung menyajikan semangkuk sup jagung dengan mangkuk putih sama yang biasa dibawakannya untuk laki-laki itu. Sobir mengangguk berterima kasih kemudian menggelar lagi mesin ketiknya di tengah meja. Jaketnya tak ia lepas agar angin dingin tak merasuk sampai ke perutnya.

“Ada yang bisa saya ambilkan lagi, tuan?”

Anggar berkata dengan sapaan sopan yang belum pernah diucapkannya kepada pelanggan manapun. Mega si pemilik restoran tersenyum dari kejauhan melihat reaksi pelayannya, melanjutkan hidangan ayam yang dipesan tiga pelanggan di meja lainnya. Gadis pelayan itu berdiri seperti menunggu di sisi meja. Ia merasakan perbedaan yang terpancar dari wajah Sobir. Laki-laki itu nampak beberapa tahun lebih tua. Mungkin orang ini sakit, pikirnya. Jenggot lebih panjang dan hitam tak beraturan, alis nampak lebih tebal menopang kening yang lebih mengkerut.

“Terima kasih, Anggar. Kalau tidak keberatan, duduklah sebentar.”

Pelayan itu memandang ke arah majikannya dan dengan isyarat izin yang ia dapatkan, maka duduklah ia di satu-satunya kursi kosong di meja itu. Menemani si penulis untuk kedua kalinya.

“Katakan padaku,” seru Sobir kini lebih reaktif daripada sebelumnya. Anggar merasakan hawa yang jauh lebih  berbeda. Ada rasa hangat yang menyelimuti meja tapi bukan dari mangkuk sup jagung yang beruap. Sobir langsung menyergapnya dengan pertanyaan yang tanpa alasan telah membuatnya berdebar.

“Menurutmu, hal apa yang paling pantas dikenang sebagai ingatan penting?”

“Maaf, maksud tuan?”

“Jawab saja, hal apa yang bisa kita ingat berhari-hari, bertahun-tahun, sampai meninggal. Hal apa yang pantas mendapatkan itu?”

Anggar berpikir lama dan Sobir makin tak sabar. Maka tanpa disangka meja itu dipukul keras sampai cairan kaldu tertumpah dari sisi mangkuk sup yang bergetar. Perempuan itu terkejut dan melihat mata Sobir, mengirimkan pesan tak berbentuk pada laki-laki itu.

“Mungkin … menikah.”

Sobir menghela napas mendengar jawaban itu. Akhirnya Anggar memberanikan dirinya untuk menjawab.

“Maksudmu punya pendamping hidup.”

“Ya. Atau menikah. Apapun, itu sama saja. Pokoknya itu.”

Sobir diam sejenak, merapal kembali naskahnya dengan ingatan-ingatan yang coba ditariknya kembali. Lorong gelap yang dijumpainya, buntu tak berpetunjuk. Seperti ia sedang berjalan di tengah pagar labirin yang dirambati tanaman eucaniea pergusi. Membawanya kembali pada titik di mana ia mulai.

“Kau tahu kenapa aku selalu memesan sup jagung setiap hari kemari?”

Dengan suara gemetar penulis itu lalu bertanya kepada si pelayan. Enggar menggelengkan kepalanya karena bahkan tak berani menebak apa yang sedang dipikirkan laki-laki itu. Ia sendiri hanya sibuk mengevaluasi jawabannya sendiri barusan. Menikah adalah satu-satunya alasan mengapa ia tetap hidup. Menikah adalah mimpi terbesarnya, mimpi yang berdiri di sebuah bilah halus di atas jurang angan-angan. Selama ini tak pernah ada laki-laki yang berhasil ia jumpai dengan perasaan yang diharapkan. Masa-masa perang merenggut banyak keberanian laki-laki untuk membulatkan perasaan perempuan sebagaimana prasyarat cinta terbentuk. Pandangannya kembali ke Sobir, dengan pengharapan yang jauh lebih besar.

“Aku tidak tahu.” Pelayan itu menggeleng kesekian kali.

“Anggar ….” Sobir menghela napas dan memutuskan untuk menceritakan apa yang mengganggu pikirannya selama tujuh hari.

“Ingatanku hanya bertahan selama tujuh hari.”

Anggar tak mengerti kalimat itu. Manusia macam apa yang punya ingatan hanya bertahan selama tujuh hari? Tapi ia tak langsung memprotes, mencoba mendengar apa yang coba digambarkan oleh Sobir dengan tangannya yang bergetar dan matanya yang bergerak-gerak seperti orang yang dikejar sosok menakutkan.

“Mungkin akan terdengar aneh bagimu, tapi begitulah kenyataannya. Aku mengetik tiap hari, berusaha agar kalimat-kalimat pada halaman pertama bisa berlanjut pada halaman-halaman berikutnya, karena setelah tujuh hari itu semua akan hilang dan aku tidak akan bisa menyelesaikan satu ceritapun. Selama tujuh tahun aku berkeliling tanpa tahu apa yang ingin kutulis. Sejak awal aku harusnya percaya, bahwa hal seperti ini memang terjadi di dunia. Bahwa ingatan manusia suatu saat akan hilang, aku lega mengetahuinya. Tapi hilang dalam tujuh hari rasanya tak begitu menyenangkan. Kau bisa berkenalan dengan seseorang suatu hari kemudian pada hari kedelapan kau sudah mengabaikannya. Maka … aku datang kemari hari ini.”

Anggar terpana dengan penjelasan itu.

“Aku ingin terus mengenalmu, Anggar. Mungkin, kau satu-satunya orang yang bisa membuatku melanjutkan cerita ini. Sejak pertama aku sudah merasakan sup jagung yang kau suguhkan ini enak. Hangat sampai kepala. Tidak seharusnya aku melupakan rasanya yang gurih. Maka aku datang kemari tiap hari, meski selalu merasa bahwa ini adalah sup jagung pertama yang kumakan dalam hidup. Rasanya tak pernah membosankan bagiku. Dalam beberapa malam kuberpikir, mungkin ini pelajaran kecil mengapa orang-orang kehilangan ingatannya. Aku selalu mendapatkan hal baru dari apa yang sebetulnya sudah sering kuhadapi.”

Ada kehangatan wangi yang memenuhi rongga perasaan perempuan itu. Sobir adalah seorang laki-laki tigapuluh satu yang membuatnya merasa beberapa tahun lebih dewasa dari usianya yang duapuluh tiga. Sobir adalah orang asing dan dia tahu itu. Tapi ia merasa laki-laki ini punya banyak cerita yang bisa ia pelajari, dan mungkin, ia sendiri punya beberapa cerita untuk laki-laki itu tuliskan dalam naskahnya.

“Apa yang kau tulis?”

Maka Anggar memberanikan diri lagi menanyakan hal yang pernah mengganggu Sobir seminggu lalu itu.

“Ini?” Sobir menunjuk mesin ketiknya dan memegang beberapa kertas yang bertumpuk tipis di atas meja. “Ini seharusnya menjadi sebuah buku.”

“Apa judulnya?”

“Cerita Satu Tahun.”

Judul yang sulit. Jangka waktu selama itu pasti akan berujung pada lembar-lembar yang jumlahnya lebih dari limaratus, dalam ukuran logika. Anggar yang jarang membaca buku pun bisa menebak dengan mudah, meski ia menyimpan pertanyaan lebih lenjut tentang keagungan sebuah imajinasi.

“Dan kau baru menyelesaikan enam halaman?”

Sobir tertunduk malu. Ia kemudian mengangkat bahunya seirama dengan terangkatnya dua telapak tangannya. Ia aduk lagi sup jagungnya.

“Dari mana asalmu?”

“Apakah itu penting?”

“Kenapa memangnya?”

“Karena menurutku, di lebih banyak sisi, yang lebih penting adalah ke mana kau akan pergi, bukan dari mana asalmu. Manusia lahir dari pola penciptaan yang sama, tapi selama hidup sering sekali memperdebatkan asal muasal mereka yang jelas sama dan tak bisa diperdebatkan lagi. Mencari alasan untuk menyingkirkan satu sama lain atas satu kata ‘asal’. Ke mana kita akan berakhir, itulah yang lebih pantas didiskusikan. Karena tiap manusia akan melakoni hidupnya dengan cara berbeda untuk memilih satu dari dua tempat yang rasa keabadiannya berbeda. Di saat sudah sampai di satu dari dua tempat itulah, manusia akan lebih pantas mempertanyakan menjawab tentang masa lalunya.”

Anggar merasa telah terbawa pada ruang diskusi yang melenceng dari perkiraannya. Ia sadar seketika, kualitas dirinya bahkan tak menjangkau pikiran laki-laki ini untuk mengajukan pertanyaan sederhana yang bersayap dan multitafsir. Maka lagi-lagi ia meminta maaf.

“Jangan khawatir,” ujar Sobir kepada Anggar. “Itu bukan berarti masa lalu bukan untuk diperbincangkan.”

Anggar membalas senyuman yang pertama kalinya ia tangkap dari raut wajah si penulis. Masuk akal juga, pikirnya. Seorang penulis pasti berkutat dengan masa lalu saat mengetikkan sesuatu, meski sudah payah egonya akan menyanggah itu. Baginya kali ini, Sobir adalah seorang guru.

Sore itu mereka berbincang ringan dan lebih akrab. Beberapa kali Anggar minta maaf lagi karena merasa menghalangi pekerjaan si penulis. Tapi Sobir sama sekali tak keberatan selama supnya belum habis. Pukul lima, mereka berpisah.

Dan pertemuan itu tak pernah terjadi lagi.

**

Restoran Palmia memutuskan tetap menulis Sup Jagung sebagai menu pilihan, meski tak satupun memesan itu lagi. Makanan instan  mulai masuk ke dapur-dapur dan bahan sayur mayur untuk sup dibeli dengan harga murah. Di saat hampir setiap rumah di Desa Belopa memilih sup jagung sebagai menu sore yang elegan karena cerita-cerita dari satu restoran, makanan itu jatuh harga di pasaran. Mega si pemilik restoran tak pernah menyesali itu. Baginya cukup pelajaran yang ia dapatkan tentang kesetiaan seorang pelanggan pada sebuah menu secara magis pernah memberikannya rezeki.

Anggar berhenti di tengah setapak bukan karena kabut yang menutupi kerikil-kerikil. Bukan juga karena anjing-anjing berbulu pendek berhenti di tengah jalan mengendus makan siangnya. Tapi karena ia mendengar sesuatu. Bunyi-bunyi detak-detak yang pernah didengarnya setahun lalu. Mesin ketik akan terdengar sangat jelas dari kejauhan. Ia membelokkan langkahnya dan mengikuti sumber bunyi itu. Memasuki sela beberapa rumah di lereng bukit tempat kebun-kebun kentang terhampar berdampingan dengan bawang dan wortel di hulu yang lebih rendah. Kabut mengikutinya.

Rumah kecil itu lama dikenal sebagai kontrakan beberapa orang yang singgah, tapi ia sama sekali tak menyangka pikirannya akan menerka bahwa Sobir pernah di rumah ini. Ada perasaan yang mengatakan bahwa tebakannya benar. Ia ingat wajah laki-laki itu setahun lalu.

Pintu diketuk, dan bunyi-bunyi ketikan itu berhenti. Bunyi berganti derap-derap langkah dengan alas kaki karet yang terseret di atas lantai semen yang kasar. Anggar merapatkan tangannya, menghalau dingin dan rasa gemetar yang merayap dari kaki hingga kepala. Saat palang terlepas dan pintu terbuka, ia terkejut.

Laki-laki itu puluhan tahun lebih muda dari perkiraannya.

“Maaf, Anda mencari siapa?”

Anggar tak menjawabnya. Pemuda kulit putih di depannya mungkin seorang penulis juga yang mampir di rumah kontrakan yang sama. Mungkin titisan, mungkin juga …. Pikirannya melayang-layang dan tak kunjung menebak. Hingga akhirnya ia bertanya tentang orang yang dikira sedang dicarinya.

“O, maaf. Saya baru masuk ke rumah ini tujuh hari lalu. Tidak kenal.”

Anggar berterima kasih, memperkenalkan diri lalu berniat pamit dari tempat itu. Tapi tiba-tiba pemuda pengetik itu mencegatnya.

“Ada sesuatu yang mungkin ditujukan untuk Anda.” Anggar terkejut dengan sergapan kalimat itu. Sesuatu … apa? Laki-laki dari tahun lalu itu mungkin telah merampungkan bukunya dan menjadi kaya, pindah ke kota dan  berkeluarga. Ia berhasil mendapatkan dokter terbaik yang bisa mengembalikan ingatan jangka panjangnya dan kembali menitipkan sesuatu untuk restoran Palmia. Atau mungkin, Sobir pernah mampir ke desa itu lagi dalam tujuh hari terakhir, lupa arah jalan menuju Palmia dan menitipkan sesuatu untuk orang yang mungkin pernah dikenalnya. Tebakan-tebakan itu tak kunjung meyakinkan sampai pemuda itu masuk ke kamarnya dan kembali dengan sebuah ikatan kertas berjilid tipis. Jilid kertas itu diserahkan dan Anggar menerimanya, membuka dan membaca sebuah surat pengantarnya.

Senyumnya terkembang.

Cerita Satu Tahun.

Untuk cerita-cerita pada hari pertama pertemuan, hari terakhir pertemuan, dan tujuh hari selama aku tidak melihat keajaiban dari wajah cantik seorang perempuan.

Mungkin aku belum berhasil menjadi seorang penulis karena membukukan cerita yang hanya setebal tujuh halaman. Tapi selama tujuh hari aku tak merasakan sup jagung dari Palmia, aku punya setahun kerinduan yang membuatku berpikir betapa masa lalu itu penting, betapa aku ingin sekali terus mengingat orang-orang yang pernah kutemui dalam seminggu terakhir. Atau menikmati lagi senyuman yang membawaku pada ide menyelesaikan naskah tipis ini. Cerita Satu Tahun ini hanya mengisahkan tujuh hari, dan aku menganggapnya ingatan paling berharga selama hidup. Karena aku untuk pertama kalinya belajar tentang rasa rindu, dan menyadari betapa kebahagiaan-kebahagiaan kecil yang berulang bisa berujung pada kebahagiaan bertahun-tahun.

Untuk Anggar, terima kasih.

Atas pelajaran yang membawaku pada masa depan yang panjang. Untuk sup jagung yang rasanya tak pernah membosankan.

-Sobir Annowana

Buku tipis dan surat itu dititipkan sang penulis kepada penghuni selanjutnya kamar itu. Dengan doa pesan untuk seorang yang terlupa mungkin akan sampai. Air mata jatuh tanpa disadari saat kabut akhirnya pergi. Anggar kembali ke jalan dengan memeluk bingkisan itu di dadanya.

Di sudut jalan terjauh, di antara dahan-dahan rendah pohon pinus yang saling memeluk, laki-laki itu merapatkan topinya lalu menghilang.

*

Ilustrasi: resepmasakanterbaru.com.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun