Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Siapa Monika Zetter?

3 November 2012   07:31 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:02 461
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

*

Sy Monika Zetter (28). Mencari suami bungkuk, maks 27, tb maks 170. Rabun maks -3. Nganggur. Merasa cocok, klik ini. Rp 6.5 M tunai menanti.

PESAN TWEET itu langsung disebarkan lebih dari seribu klik dalam satu jam. Khalayak Twitter di Jakarta dan Bandung berebut kata untuk menayangkannya sebagai topik terhangat. Nama Monika Zetter pun terpampang selama setengah jam dan seorangpun tahu persis siapa sebenarnya orang ini. Banyak yang bertanya dan mengumpat dengan tudingan bahwa orang ini mencari sensasi saja.

Blogger di Yogyakarta membahas nama yang sama dalam rapat mingguan mereka karena menganggap sayembara senilai enam setengah miliar bisa mengacaukan aliran informasi, meski para bloger bisa mengambil keuntungan dari jumlah klik di banyak halaman terpublikasi. Pergunjingan pun dimulai. Puluhan artikel termuat di media warga, mencoba mengulas siapa dan apa maksud orang ini. Sebagian besar sok pintar dengan mencoba mengulik identitas nama yang dimaksud, tapi hasilnya terlalu beragam.

Beberapa pejabat yang ikut mengamati fenomena dua hari ini justru apatis dan mengatakan pemuat pesan itu adalah orang iseng dan mestinya diabaikan saja, sama seperti pemilik akun pembocor banyak rahasia BUMN yang dalam setengah tahun membuat para menteri lebih hati-hati berbicara. Kemudian saat banyak orang mulai mencibir iklan yang dianggap murahan dan pengecut itu, diam-diam sebuah blog yang jadi tujuan tautan di pesan itu sudah penuh dengan entri lamaran sebagaimana diminta. Awak media terkejut saat menghitung jumlah entri sudah mencapai angka 15.671 tulisan.

“Polisi tidak akan mengusut ini, Seda. Tidak ada unsur kriminal dalam hal ini. Ini semata-mata fenomena media sosial. Kau tahu itu.”

Hildar menyeruput kopi jahenya begitu dalam sampai celah di antara alisnya mengerut. Nikmat minuman hangat sambil menanti gerbong kereta api melintas. Stasiun Lempuyangan tak seramai biasanya. Kereta komuter terakhir baru saja berangkat dan mengangkut ratusan pekerja yang pulang mengisi tenaga mereka sebelum mengerubuti lagi kota esok sebelum matahari terbit. Hildar menghela napas dan sejenak meluruskan otot-otot tubuhnya. Di depannya, laki-laki berjaket dengan tudung parasutnya yang dibiarkan menggantung di belakang punggung nampak sibuk dengan pikirannya sendiri.

“Kau kelihatan lelah.” Seda coba menerka seperti apa kondisi sahabatnya itu sampai nampak seperti beberapa tahun lebih tua.

Seda seorang reporter untuk koran lokal. Tugasnya mengumpulkan setidaknya dua berita lokal sebelum pukul tiga sore setiap harinya sudah cukup melelahkan, akan tetapi minatnya jauh melebihi itu. Laki-laki duapuluh empat tahun ini berminat pada media sosial, teknologi informasi yang mencekoki orang-orang dengan pandangan ceroboh bahwa apapun bisa dibagi di internet selama kau terhubung dan membayar tagihan. Reporter itu menghela napas panjang sebelum merapatkan dua lengannya ke pinggir meja.

“Aku tertarik sekali dengan masalah ini, kapten.”

“Ya. Tentu saja. Justru aneh kalau kau tak berminat. Kuyakin kau juga paham semua risiko yang dialami orang-orang ini.”

“Orang-orang … siapa maksudmu?”

“Siapa lagi! Mereka ini, limabelas ribu pengikut yang membuang waktunya untuk sayembara konyol oleh orang yang tidak jelas. Rasa penasaran yang tak terkendali bisa mengubah manusia menjadi bukan dirinya.”

Hildar membuang pandangannya begitu saja sebelum menikmati tegukan terakhir dari gelas kecil berisi kopi arang yang mendingin.

“Entahlah, kapten. Tapi perasaanku tidak enak soal ini.”

“Aku juga. Mulas. Ayo pulang.”

Saat jalan kaki singkat menuju mobil, Seda mengejutkan rekannya polisinya itu dengan pernyataan yang menurutnya ringan dan harus diungkapkan sebelum jadi pikiran berat jelang tidur nanti.

“Aku agaknya percaya sayembara itu benar.”

Hildar berhenti melangkah selama dua-tiga detik sebelum kembali menyusul. “Kau sedang bergurau.” Timpalan itu dibalas lagi oleh gelengan senyum penuh pengertian oleh Seda yang terus melangkah dan menghangatkan tangannya di saku jaket. Kota jelang tengah malam menemukan sisi lainnya yang jauh lebih dewasa tanpa banyak suara. Di jam-jam seperti ini lampu-lampu jalan kelihatan dua kali lebih terang. Dan suara-suara pasangan yang bercanda mesra di tikar-tikar lesehan terdengar dua kali lebih hangat saat bunyi kendaraan menyusut dua kali lipat. Udara dingin menyeruak bersamaan dengan asap dari tungku-tungku perapian gudeg yang bersiap.

“Aku akan menyelidiki dulu, lumayan untuk mengisi waktu saat tidak ada berita. Bukannya pekerjaan seperti ini harusnya kau lakukan juga?”

“Aku ini polisi lalu lintas. Kau lupa ya.”

**

Jam dinding berdetak pukul tiga. Seda kesulitan tidur bukan karena meneguk habis dua gelas kopi instan setelah di stasiun tadi menghabiskan susu yang terlampau manis. Pikirannya terus berputar dan matanya terus tertuju ke monitor seperti sedang menikmati permainan. Laman media sosial makin ramai dan topik tentang Monika Zetter sudah memuncaki semua baris teratas jejaring sosial popular. Seda juga menandai beberapa tab laman berita yang mengangkat kisah sayembara tweet ini. Ia hanya tertarik pada satu kanal yang mengungkap tokoh yang kemungkinan punya profil fisik yang nyaris identik dengan foto di akun penerbit sayembara.

Pakar citra digital Gugun Ginanjar meyakini bahwa Aina Sukarlan, aktivis HAM yang juga anak dari menteri pertahanan Hud Sukarlan identik dengan foto profil akun penyebar sayembara Rp 6,5 miliar bernama Monika Zetter. Hingga berita ini ditulis pihak Mabes Polri belum bersedia memberi keterangan dan mengaku masih menyelidiki siapa sebenarnya yang berada di balik penyebaran sayembara ini yang kini sudah diikuti 15.723 peserta itu. Pihak Kemkominfo mengimbau masyarakat agar tidak langsung memercayai isi pesan dari penerbit sayembara tersebut dan melaporkan jika ada potensi teror dalam pesan media sosial manapun.

Kesan pertama yang ditangkap Seda saat melihat gambar perempuan itu di video adalah bahwa profil fisiknya lebih muda paling tidak lima atau sepuluh tahun dari usia aktualnya. Garis tubuh yang tegas dengan tinggi serupa polwan. Kulit putih nyaris tanpa cacat, rambut bergelombang tanpa dicat dan punggungnya tegap. Hidung mancung dan dahi agak lebar sepertinya bawaaan dari gennya yang dari sana sudah blasteran Indonesia-Inggris Saxon. Saat berjalan gayanya mirip Hasiholan tapi saat berbicara mimiknya mirip Thatcher. Cerdas dan bernas, Aina Sukarlan adalah potret perempuan idola di abad keduapuluh satu. Melalui organisasi dan opininya ia sudah melanglang buana dalam aksi filantropis dan demo penegakan HAM. Di era Suharto ia dikenal berseberangan dengan mantan kepala BIN Timbul Prambudyo karena sering kali dianggap sebagai perusuh dalam proses peralihan. Beberapa kali ia ditangkap tapi tak pernah menyerah.

Klik di tetikus bunyi beberapa kali. Cahaya berpendar dan memantul dari sepasang bola mata.

**

Siang menyingkap lebih tinggi dan menggantikan waktu pagi. Laki-laki itu ketiduran di meja kerjanya dan ia menyadari itu saat tiba-tiba kepalanya terhentak karena getaran di bidang meja. Ia melihat layar telepon genggamnya dan menerima panggilan dengan suara yang parau.

Sudah nonton berita? Aina Sukarlan ditangkap.

Seda nyaris melompat dari kursinya. Ia langsung bergegas dan dalam waktu kurang dari dua jam kemudian ia sudah berada di Mapolda Daerah Istimewa Yogyakarta. Ia mendapati puluhan jurnalis sudah memadati sebuah ruangan di sayap timur tempat dua pejabat tinggi meladeni wawancara tanpa meja. Ia tak tertarik bergabung dengan kerumunan meski panggilan dari kantor memintanya untuk memantau terus. Meski singkat ia mendapati keterangan Kapolda bahwa benar anak dari menteri itu sedang menjalani pemeriksaan di bagian reskrim polri dan segera dilimpahkan ke bagian intelijen.

“Orang-orang bebal,” gumam Seda sembari memasukkan buku steno dan mengirim sebuah pesan email melalui telepon genggamnya. Beberapa saat kemudian tiga rekannya datang dan meliput. Seda meminta izin untuk melakukan pemantauan eksklusif ke tempat penahanan, tapi kesempatannya kecil. Setelah beberapa kali mengakali pengawalan ketat polwan, ia sudah bisa melihat sel tempat Aina ditahan, dan mulai merekam. Profil yang sepenuhnya mirip. Untuk sejenak Seda bisa mengerti mengapa polisi mencurigai orang ini sebagai Monika Zetter.

Tapi ada sesuatu yang aneh, gestur Aina tidak bersemangat seperti biasanya, lesu dan seperti menerima kenyataan. Sosok aktivis HAM yang tegas itu kini kehilangan suaranya. Petugas jaga memukul-mukulkan tongkat kayunya ke jeruji besi berwarna hitam, dan perempuan itu tak melakukan apa-apa kecuali berusaha menarik senyuman. Seda terperanjat, karena Aina menyorot pandang dirinya dari kejauhan. Jarak tempat Seda berdiri hingga pintu sel itu memang sepelemparan batu, tapi rumitnya struktur taman dengan tanaman rambat dan kaktus salah tempat mengejutkan, karena perempuan itu menahan pandangannya ke mata Seda selama beberapa detik, membuatnya nyaris jatuh dari kursi tempatnya berpijak. Peliputan itu berlangsung singkat dan beberapa gambar penting sudah terkirim menjelang sore.

**

Seda kembali ke depan monitor karena mendapati sebuah informasi penting lewat televisi. Blog pendaftaran calon suami untuk Monika Zetter sudah hilang, tak bisa dilacak. Tim khusus dari Divisi Kejahatan Kriminal Mabes Polri bahkan tak bisa berbuat apa-apa karena bahkan jejak cache dan alamat IP semuanya hilang, seperti blog itu memang tak pernah ada. Khalayak Twitter pun mulai gempar karena sebagian besar pengguna meyakini bahwa iklan cari suami yang beberapa hari lalu ternyata hanya HOAX, tidak benar dan bisa saja hanya seseorang yang mencari sensasi. Akun Monika Zetter masih aktif saat beberapa hasil dari kolom pencarian hanya mengandung hujatan dan bahkan somasi publik untuk pengguna akun tersebut. Proses itu berlangsung setengah hari sampai akhirnya tuntutan yang awalnya menghujat sebuah akun, kini balik menyorot kepolisian dan meminta Aina Sukarlan dibebaskan. Petisi dukungan terhadap Aini dukungan mulai menjamur dan menjadi topik terbaru. Di Mabes Polri, beberapa pejabat dibuat menggeleng karena perubahan perilaku netizen yang begitu sulit ditebak. Ratusan aktivis pembela HAM dan simpatisan sipil sudah merapatkan barisan meminta Kepolisian lebih cerdas dan membebaskan idola mereka. Aini diyakini tidak ada hubungannya dengan akun siluman itu.

Keadaan tenang sejak tengah malam sampai subuh hari ketiga penahanan. Sebagian demonstran sudah kembali karena Polisi ternyata bergeming dengan alasan proses untuk mengembalikan barang-barang Aina sedang berlangsung. Sementara di media televisi berbagai dialog silih berganti dan menghadirkan banyak tokoh, dari pengamat, pemerhati sampai Kepala BIN. Tapi yang paling menarik dari itu semua adalah tersebarnya sebuah video yang diunggah dari YouTube, menampilkan Kahlil Kumar, ketua jaringan Teroris Alim Yasin yang selama ini jadi incaran tim Densus 88. Lewat video berdurasi lima menit itu mereka menuntut Aina dibebaskan atau mereka menerjunkan apa yang disebut “pengantin” ke beberapa titik penting ibu kota. Video itu berakhir saat bintangnya masih berbicara.

Pukul 05.11 hari kelima penahanan.

Tiba-tiba terdengar sebuah ledakan. Mapolda DIY diguncang bom plastik berkekuatan sedang. Dan sel itu hancur dengan menyisakan ceceran-ceceran sisa tubuh hangus di terali yang terlontar sejauh tiga meter sampai ke dinding-dindingnya yang hancur berantakan menembus bagian lain dari lantai dua itu. Kapolda menyatakan ini aksi terorisme murni. Masyarakat sontak marah, karena sel itu adalah tempat penahanan Aina. Polisi belum memastikan siapa korban tunggal itu karena tim DVI masih susah payah mengumpulkan sisa tubuh dan mengambil sampel DNA.

Di Istana Negara, presiden mengumpulkan para menteri dan Kapolri minus Menteri Pertahanan. Hud Sukarlan langsung terbang ke Yogyakarta ditemani anggota keluarganya yang mengecam kelengahan kepolisian hingga putri mereka, kalau benar, jadi korban kebiadaban teroris.

**

“Seda, ke JEC sekarang.”

Yang dimaksud JEC oleh Hildar melalui panggilan telepon barusan adalah Jogja Expo Center, gedung aula multiguna yang berdiri di atas kompleks seluar dua hektar di sebelah selatan Yogyakarta. Seda harus pamit izin kepada koordinator lapangannya dan meluncur ke tempat yang rekannya itu maksudkan. Pukul satu lebih lima belas saat sinar matahari sedang panas-panasnya, Seda tiba dan langsung terperangah melihat jalanan di depan aula itu sudah padat oleh ratusan kendaraan di jalan dan lapangan parkir, beberapa di antaranya milik media.

Ratusan bahkan mungkin ribuan orang yang merangsek masuk ke aula utama memiliki kesamaan ciri fisik. Mereka berkacamata minus, badannya bungkuk meski sebagian lain nyata sekali sengaja membungkukkan punggungnya, berbaju rapi bercorak kotak-kotak dan mengenakan sandal jepit berwarna merah muda. Mereka semua yakin bahwa syarat spesifik yang bagi sebagian aneh pasti akan sebanding dengan nilai penghargaan bermiliar rupiah itu. Saat semua hal terasa menjanjikan, pengorbanan apapun layak ditempuh.

Di dalam aula utama itu Seda bertemu Hildar yang langsung menjelaskan bahwa dalam tugas pengawasan lalu lintasnya ia mengetahui bahwa ramainya JEC ini adalah karena seribu dua ratus orang berkumpul di satu ruangan tanpa kursi untuk sebuah tujuan yang mencurigakan.

“Aku berhasil menginterogasi mereka, walaupun agak susah karena jawaban mereka terlalu mengejutkan.”

Seda semakin heran dengan apa yang coba dijelaskan oleh Hildar. Mereka lalu mengambil tempat di pojok barat gedung dan duduk di depan sebuah toilet tempat orang lalu lalang seperti kesibukan tiba-tiba terangkat ke permukaan.

“Semua dari mereka mengaku kemari karena diambil sebagai pemenang sayembara Monika.” Hildar menengok kanan kiri dan berbicara sangat hati-hati. “Awalnya kukira akun itu juga hanya main-main dan akhirnya berita pun  berkata demikian, bukan? Tapi ini, Seda. Aku mencium sesuatu yang tidak beres.”

“Mapolda dibom.” Seda langsung menegaskan bahwa memang situasinya makin serius dan semua hal terjadi bersamaan dalam satu rentang waktu yang sulit.

“Ya. Aku sudah diminta siaga di jalan juga karena itu. Semua kegiatan di kota harus dikawal dan razia di Purworejo dan batas Klaten di Prambanan sudah diketatkan sejak empat jam lalu. Kabarnya intelijen juga sudah tiba di Yogya dan Kapolri bersama Menkopolhukam akan tiba nanti malam.” Hildar menghela napasnya sejenak.

“Sudah jatuh korban, wajar.”

“Ya. Eh, Seda,” Hildar tiba-tiba mengubah mimiknya menjadi serius dan matanya menyorot penuh pertanyaan. “Mengapa sebenarnya, kau tertarik untuk menggali kasus ini? Tugasmu sudah selesai?”

“Ya berita sudah terkirim, kapten. Di Mapolda beberapa hari lalu itu, aku meliput dan merasa Aina Sukarlan itu …”

Hildar menunjukkan ekspresi seolah-olah tidak sabar ingin mendengar apa yang ingin dikatakan oleh Seda dengan matanya yang bergerak-gerak. Beberapa kali kapten itu mengangkat alisnya untuk memancing, tapi Seda punya kontrol diri yang lumayan baik. Kalimatnya tetap keluar teratur dan langsung ke inti.

“Menurutku Aina sedang menyembunyikan sesuatu.”

“Seda … aku bukannya tidak memercayaimu. Tapi kenyataannya  Aina sudah …”

“Mati?”

“Pengeboman itu …”

“Hildar, kau ini polisi. Jangan berbicara sebelum ada bukti. Tim DVI bekerja dan belum satupun dari kita  yang bisa memastikan Aina yang terbunuh dengan bom itu.”

Hildar seperti tertampar dengan gagang senjatanya sendiri. Ia meminta maaf dan perbincangan mereka mulai meregang dengan membahas rencana-rencana selanjutnya yang akan dilakukan kepolisian dan juga Seda.

JEC semakin ramai dan pemberitaan nasional teruju ke apa yang ada di dalamnya. Saat ribuan orang tengah berkumpul untuk sebuah tujuan yang tak sepenuhnya pantas jadi rahasia di mata jurnalisme, Seda berjuang untuk menemukan apa yang menjadi alasan hal-hal aneh ini tiba-tiba terjadi.

**

Khalayak Twitter memperbaharui informasi dan topik terhangat yang langsung dikutip hampir semua kantor berita. Tiga tweet kembali dikeluarkan oleh akun bernama Monika Zetter itu, yang membuat Kepolisian semakin kebingungan di atas semua teror hari itu.

Ketiga tweet itu ditulis dengan tidak begitu panjang namun isinya tegas berurutan.

[TWEET PERTAMA] Saya bukan orang yang dibom di Mapolda DIY, asal kalian tahu. Tujuan saya mulia, bukan teror.

[TWEET KEDUA] Para kandidat suami telah dihubungi dan berkumpul di JEC. Saatnya penilaian akhir dan pemilihan pemenang. Malam ini.

[TWEET KETIGA] Saat fajar menyingsing nanti, semua ini akan berakhir. Terima kasih atas perhatian dan kerjasamanya.

Malam harinya, kapten Hildar ketiduran di mobil patrolinya ketika seorang perempuan berkerudung menepuk pundaknya dan melontarkan pertanyaan ke arah mana ia harus menyetir mobilnya untuk menemukan sebuah jalan di kota. Hildar menggeleng karena bahkan di malam gelap, orang-orang masih berkumpul di aula itu meski sebagian lainnya memilih pulang.

13519288131962745522
13519288131962745522

Beberapa jam sebelum pukul tiga yang buta, Seda mengikuti sebuah mobil yang pengemudinya turun untuk membeli minuman. Jalan Mangkubumi sepi dan hanya warung-warung kecil penjual rokok yang buka untuk para pekerja malam. Perempuan itu menjentik korek api dan menyalakan ujung rokoknya. Kerudungnya yang tipis berwarna coklat berpadu setelan kaus lengan panjang ketat warna gading tertiup angin namun berhasil ia rapatkan lagi ke ujung kepala. Seda menyapa dengan begitu dingin dan mengejutkan perempuan itu.

“Ternyata kau …. Sudah kuduga kau bukan jurnalis biasa.”

“Monika Zetter.”

Seda menebak katanya sendiri saat jari-jari di dalam saku celananya bergerak-gerak dan tangan lainnya coba menyembunyikan rasa gemetar yang tiba-tiba datang.

Jalan itu seperti terperangkap dalam keheningan yang tiba-tiba datang bersama angin yang menerbangkan daun-daun kering jatuh dari pohon Tanjung. Penjual rokok menutup kedai kecilnya dan menyetel radio musik blus dengan gemerisik.

“Bagaimana kau bisa tahu?” perempuan itu bertanya sama ringannya. Bahkan dengan santai ia mengisap rokok kemudian menembakkan asap runcing ke tengah-tengah udara.

“Aku tak pernah benar-benar tahu. Bukti-bukti informasi ataupun digital aku tidak dapatkan, hanya naluri yang mengikutimu sampai di sini. Tapi kurasa aku tidak meleset sedikitpun.” Seda merasa kepalanya menghangat meski udara semakin dingin. Perempuan itu tak menunjukkan gerak-gerik berbahaya sehingga dia juga tak mengambil langkah waspada meski tak ingin beranjak dari titiknya berdiri. “Caramu menatapku di sel penjara Mapolda hari itu memberiku sebuah pesan yang jelas, bahwa kau berubah, Aina. Tidak biasanya, seorang aktivis HAM, anak seorang menteri yang biasanya vokal bersuara, tiba-tiba diam dan tak melawan kungkungan polisi dan meringkuk di dalam tahanan. Kemudian aku tiba pada satu kesimpulan. Kau sudah merencanakan semua itu sejak awal.”

Asap kesekian kalinya menyembur.

“Kau membuat akun Monika Zetter, membuat sayembara palsu yang bisa mengumpulkan seribu orang di satu tempat, kemudian membuat dirimu mudah ditangkap dengan memanfaatkan sedikit kecerdasan polisi. Kau sengaja memasang foto profil yang buram dan misterius tapi tahu sejak awal polisi akan menunjukmu sebagai orang yang bertanggung jawab. Setelah di tahanan, aku tidak tahu bagaimana caramu keluar dari sana, tapi kurasa di luar sini kerudung itu membantumu.”

Seda menghela udara agar memenuhi paru-parunya.

“Kurasa sejak awal sayembara itu hanya kamuflase. Tujuan utamamu sebenarnya dalah mengumpulkan seribu orang untuk direkrut sebagai bagian dari kelompok yang nantinya dipakai untuk melawan sesuatu, atau, menyerang seseorang. Sekarang jelaskan. Mau kau apakan seribu orang itu.”

Aina membuang pandanganya sejenak ke arah becak yang berlalu tanpa peduli.

“Ada sebuah pengkhianatan besar di sini, Seda. Kalau benar itu namamu. Ya, aku punya banyak sumber. Aku bahkan sudah mengikutimu sejak kau pertama kali mengakses gambar dan semua profilku di internet. Teknologi hari ini memungkinkan kita melakukan pengawasan terhadap siapa saja tanpa undang-undang.” Aina menyandarkan badannya ke bagasi belakang mobilnya, menyilangkan pergelangan kaki kemudian melipat dua lengannya di depan dada.

“Kita sedang berperang melawan lembaga yang mengaku pengaman padahal menjadi potensi terorisme yang paling besar. Dengan semua fasilitas dan kewenangan yang diberikan kepada mereka untuk menyadap, membuntuti orang, bahkan menangkapi tukang sapu di sebuah sekolah, semuanya telah dirusak oleh beberapa orang yang mengambil keuntungan finansial luar biasa dan melakukan barter dengan teroris.”

“Kau bicara tentang … intelijen?”

Seda terperanjat dengan jawaban yang ditemukannya sendiri. Selama ini memang banyak sekali spekulasi yang menyebutkan ada yang salah dengan gerak-gerik badan intelijen, ketika siapapun bisa ditangkap dan didudukkan sebagai teroris. Meski belum terbukti, kecurigaan bahwa ada konspirasi besar dengan menciptakan tokoh-tokoh fiksi teroris atau menjadikan warga biasa sebagai teroris kemudian diproses hukum sudah lama tercium media. Hanya saja, tak ada yang berani mengungkapnya secara terang-terangan. Publik tidak menyadari, bahwa bahkan sebuah tweet dan status di Facebook telah masuk ke data pemantauan divisi kejahatan siber dan potensi terorisme di dua lembaga berbeda termasuk BIN.

“Jangan sebut lembaganya, kau bisa masuk penjara. Seribu orang ini hanya alat barter yang kutawarkan kepada Jaringan Alim Yasin agar mereka bisa berhadapan dengan para penegak hukum satu lawan satu, dan membuat BIN menutup muka. Kalau dalam waktu duapuluh empat jam sejak pintu JEC ditutup dan BIN tidak mau mengakui kebusukannya, nyawa seribu orang akan menjadi taruhan.”

“Jangan bercanda! Kau tak bisa membunuh warga sipil hanya untuk ini, Aina. Itu terlalu naif ..”

“Naif bagimu!” Aina gesit melawan dan melepas tangannya. “Kalian warga sipil memang hanya bisa jadi pengamat dan penghujat. Kerusakan yang terjadi bukan karena para teroris, Seda. Tapi karena kita tidak berbuat apa-apa dan merasa aman-aman saja. Intelijen membuntutimu setiap hari, membaca emailmu, mengenali pacar-pacarmu, apakah itu bukan teror yang sebenarnya? Di saat aktivis beraksi, yang bisa kalian lakukan hanya menyemangati, memasang foto-foto kami di profil medsos sementara kamis udah terkubur dengan lubang timah. Apa yang kau lakukan untuk antisipasi terorisme? Menulis berita saja tidak cukup!”

“Tapi kau akan membunuh orang-orang …” Seda berkata lebih lirih dengan semua kekesalan terkumpul di dua bola matanya.

Aina mengisap habis rokoknya kemudian mematikan api dengan ujung sepatunya. “Yasin sudah berjanji akan menyerah kepada polisi, dan ini adalah langkah terakhir agar mereka tidak hanya jadi hewan giringan ke tempat pemancungan sementara para penjahat kakap yang berkomplot dengan jaringan teroris lebih besar, aman di kursi intelijen atau pejabat lainnya masih aman di kantor-kantor mereka.”

Aina berjalan ke mobil dengan begitu santai dan anggun, merapatkan kerudungnya dan membuka pintu seperti tanpa tanpa terjadi apa-apa. Sebelum masuk ia mengatakan kalimat terakhirnya malam itu.

“Oh iya. Sampaikan belasungkawa dariku untuk keluarga polwan yang jadi korban pengeboman. Selalu ada harga untuk sebuah gerakan besar. Beritakan saja hasil rekaman pembicaraan kita ini. Kukira itu tidak akan masalah.” Ada keheningan sejenak sebelum Aina ternyata mengatakan satu kalimat lagi. Seda  seketika merasa kalah karena ternyata sejak awal perempuan ini tahu ia menyalakan perekam di ponselnya.

“Kau punya pacar, Seda?”

Seda kaget dengan pertanyaan yang ia anggap sangat melenceng dari konteks pembicaraan mereka, baik dari pengambilan waktu ataupun motif penyampaiannya. “Punya,” maka ia berdusta.

Mobil itu berlalu dan angin berhembus menyapu tiap inci dari aspal yang diam dalam keheningan. Saat fajar menyingsing, semuanya benar-benar nampak akan berakhir sebagaimana dijanjikan.

*

BADAN INTELIJEN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

DOKUMEN NEGARA. SANGAT RAHASIA

Dokumen itu bukan rahasia lagi. Kini isinya terpampang di semua laman berita lokal dan nasional. Sepuluh petinggi BIN menyerahkan diri setelah mengakui perbuatannya bekerja sama dengan tiga jaringan terorisme sebelum Alim Yasin. Mereka tak diberi kesempatan berbicara kepada publik dan langsung ditempatkan di blok khusus yang diawasi langsung petugas gabungan bentukan presiden.

Pemimpin Jamaah Alim Yasin beserta tujuh pengikutnya menyerahkan diri dan dijatuhi vonis mati, yang beberapa bulan kemudian diberikan grasi menjadi kurungan seumur hidup. Mereka mengaku bertanggung jawab untuk pengeboman empat tahun terakhir, termasuk yang memakan seorang polwan Iptu (dinaikkan secara anumerta dari sebelumnya Ipda) Rusmini Dahlan di Mapolda DIY 4 Desember.

Akun Monika Zetter telah benar-benar menghilang dari Twitter, seiring dengan rumor bahwa Aina Sukarlan pindah bermukim di sebuah pedalaman Mandar. Foto-foto siluet Monika Zetter banyak dipakai sebagai foto profil abege dan desain-desain kaus di Malioboro.

Ikatan psikiater Indonesia bekerja sama IDI, untuk pertama kalinya, melayani 1.217 pasien secara maraton. Semuanya mengalami semacam halusinasi massal yang disebabkan oleh zat yang masih belum diketahui jenis dan kandungannya.

Seda masih tetap seorang jurnalis. Ia dipindahkan ke KOMPAS dengan gaji tiga kali lipat, tapi mengundurkan diri sebelum memasuki bulan kedua. Hari-harinya selanjutnya ia isi dengan membuka studio fotografi yang melayani pelanggan khusus lanjut usia. Kapten Hildar masih mengunjunginya sesekali.

*

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun