Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Resonansi: Tungku

2 Mei 2015   15:24 Diperbarui: 29 Agustus 2019   16:41 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: Fire on the hill - Geograph.org.uk/ Image credit: Octavian Ratstrangler.

*

(Sebelumnya di sini.)

Hujan mengalir terlalu deras dan wiper tak kuasa mencerahkan pandangan menembus kaca sebagaimana mestinya. Ford Escape buatan 2014 membawa lelaki empat puluh dua tahun ke pemukiman cluster mini yang ditumbuhi barisan pohon palm, taman rendah yang landai ditumbuhi bunga-bunga ungu menghiasi satu-satunya rumah dengan kaca jendela berlapis kemerahan. Pintu jati putih berukir sederhana diketuk empat kali, dan tak lama seorang perempuan muda menyambut.

“Nyonya Jasmin Turiakti?” Tamu lelaki itu memperkenalkan diri, menggosokkan tangannya ke celana dan jasnya sebelum menyodorkannya dengan sopan. “Maaf mengganggu. Saya Haris Nasution, editor di Harian Episentrum, tempat Adang bekerja. Anda istrinya, benar?” Perempuan di pintu mengangguk.

“Adang janji menyerahkan laporan berita tentang satwa Penguin koleksi kebun binatang terbaru. Tetapi saya tunggu selama tiga hari belum juga kelihatan dia. Apa dia sakit?”

Raut semangat di wajah sang editor tetiba berubah heran karena nyonya rumah di ambang pintu menunjukkan kebingungan serupa. “Maaf, tapi Mas Adang bilang keluar kota untuk tugas kantor.”

“Apa?”

“Iya. Dia bilang ‘proyek peliputan untuk daerah terpencil’, bareng orang LIPI atau apa, begitu. Saya tidak sempat menyimak, dia begitu terburu-buru.”

“Orang LIPI? Tapi kami tidak…. Dia bawa peralatannya?”

“Ya. Kamera, peralatan camping, tasnya cukup besar. Tidak ada masalah kan, Pak?”

Haris Nasution berdusta dengan mengatakan tidak ada masalah. Tapi ia mengendus keanehan seketika merambati kepalanya. Ada sesuatu yang tidak beres. Ia yakin anak buahnya telah berbohong, kepadanya, dan kepada seorang istri yang kini tampak gelisah, dengan mata bergetar-getar memegangi perutnya yang menggelembung berat.

**

Tali menegang dan berangsur tinggi, tahap demi tahap. Bentang kencang membuat banyak sisinya bergesekan dengan lumpur dan serat-seratnya dengan permukaan tajam bebatuan. Delapan puluh tujuh derajat kemiringan lereng, dan sepuluh menit kiranya Adang tertatih memilih pijakan bagi kaki-kakinya yang masih gemetaran. 

Napasnya terengah-engah, dan gerimis hujan kerap membutakannya. Setelah melewati dua dahan pohon yang usang dan terbakar, ia hampir tiba di puncak, menyerahkan tangannya ke udara. Di sana, berjejak lutut di tapak rumput, sosok gempal dan tua dengan mata menyala dan rambut bergerayang, menghempas tubuh ke bawah dan menarik pendaki kelelahan itu ke atas. 

Adang lelah tanpa suara, ketakutan dan keheranan masih bercampur-aduk di relung pikirannya. Saat ia akhirnya terbaring di puncak tebing dan menghadap ke langit pagi yang dikerubuti kabut awan, ia menutup mata sejenak, dan baru membukanya ketika tangannya bergerak ditendang.

“Kau telah menyerahkan diri dan berjalan jauh ke mari.” Sosok dengan rambut bergerayang menghalangi cahaya di atas kepalanya. Adang masih mengejap-ngejap, meyakinkan dirinya bahwa ia masih hidup, dan jelas masih berada di dalam hutan hujan beratus-ratus kilometer jauhnya dari desa terdekat. 

Rasa penasaran dan sikap angkuh membawanya ke mari, dan mempertemukannya dengan apapun yang mungkin ia lihat, termasuk laki-laki gelap dengan bibir besar dan mata nyalang di atasnya. Ia tak membalas, hanya mengangguk. “Kau perlu kuberi minuman,” ujar laki-laki tua itu lagi sebelum langkah kaki-kaki telanjangnya menjauh. Adang tetap hanya mengangguk, bergumam bahwa segelas kola dengan balok-balok es akan menyenangkan.

Tamu itu dibawa melewati berbukit-bukit lansekap yang diselingi pepohonan tinggi dan kebanyakan tidak dikenali. Setengah jam perjalanan tanpa ada komunikasi sama sekali. Lelaki tua gempal dengan rambut bergerayangnya berjalan sepuluh meter di depan dan Adang mengikuti setiap kelokan langkah yang diambilnya. 

Menghindari genangan air, menyerabat di antara daun-daun pohon umbi yang berduri, menghalau ular dan hewan melata yang bergelantungan mengganggu penglihatan, menapak di atas struktur lumut yang tebal serupa karpet alam, dan meniti bebatuan kecil yang dinaungi tebing cekung yang berkelok. 

Pemandangan di kejauhan hanya ada lautan dengan ujung-ujung pepohonan yang membentuk garis-gelombang, patahan antara cahaya dan kegelapan, membatasi cekungan bumi bagian ini dengan lansekap luar yang terasa begitu jauh. Suhu turun makin rendah saat mereka berjalan semakin jauh, dan Adang tahu bahwa kabut-kabut yang mereka tembus beberapa kali bukanlah penghalang pandang biasa.

“Anda wartawan?”

Suasana yang agak tidak biasa, dan Adang sama sekali tidak menyangka pertanyaan itu. Malahan, ia tidak percaya kalau sosok manusia di depan bisa berbahasa sama dengannya. Di rimba jauh yang hanya ada satu-satunya di lembar majalah tidak terkenal, dan dengan teka-teki ortodoks yang dibalut rumor, sulit dipercaya ada orang bertutur kata teratur dan tanpa cela. Lama terdiam tak menjawab, Adang melangkah semakin pelan, dan sepertinya disadari oleh orang di depannya.

“Oh iya. Saya masih bagian dari negeri besar ini, bukan. Bahasa adalah simbol, dan selebihnya dianggap pemersatu. Aku lahir dan dibesarkan oleh pepohonan, tetapi berdagang sebagai orang biasa di pasar kampung yang tadi Anda lalui. Saya bayangkan perjalanan Anda kemari didasari rasa ingin tahu, sebagaimana orang-orang yang datang sebelum Anda.”

Adang melunak, dan merasa ini saatnya ia melibatkan diri sebagai upaya mendapatkan informasi--satu-satunya tujuannya datang jauh ke tempat ini. “Banyak yang datang setelah saya? Orang-orang luar?”

“Orang-orang kota, orang-orang luar,” Lelaki di depan agak meninggikan suaranya agar terdengar jelas. “Orang-orang berkulit merah, berkulit putih, beberapa kuning, saya melihat mereka semuanya. Berjalan kemari, membawa banyak uang dan berlembar-lembar kertas. Puji Dewa mereka tahu dari mana kertas-kertas itu berasal, pohon-pohon yang mereka lewati selama perjalanan.” 

Batu menggelinding jauh tatkala lelaki tua itu menendangnya demi setapak jalan di kelokan pohon. “Mereka datang karena rasa penasaran, mendapatkan gambar lingkaran aneh yang tersusun dari pepohonan. Aneh, karena mereka semua bilang melihat lingkaran itu di dalam sebuah buku bergambar di atas burung besi, saya tidak percaya. 

Tempat ini tersembunyi, tak satupun pulang dengan mengerti sosoknya. Apalagi mengambil gambarnya seperti elang raksasa yang melihat mangsa di darat. Tidak ada yang tahu, tidak satupun dari mereka benar-benar tahu apa yang akan mereka temukan di sini.”

Adang baru saja ingin menceritakan alasannya datang kemari--yang jelas sama dengan banyak orang-orang itu. Akan tetapi ia menyurutkan niatnya lantaran mereka mulai menuruni bukit bertangga batu, begitu teratur dan berkelok. Jauh di bawah sana, sungai mengalir deras dan airnya jernih. Sebuah sampan tertambat di tapiannya. 

Lebih jauh ke seberang, kayu-kayu dipasang serupa pagar dan melingkari daratan yang pepohonannya jauh lebih sedikit, bahkan tanahnya terlihat agak kemerahan. Anjing dan babi berkeliaran di dalam pagar seperti merana ingin keluar. Di udara, burung-burung elang berputar-putar dan tak ada burung kecil berani mendekatinya. Monyet-monyet berkelinjatan di dahan pohon jauh di belakang, dan asap pembakaran menyeruak dari satu dari hanya tigapuluhan rumah berbentuk corong di tengah padang.

“Ini Mur. Semoga persis seperti yang Anda lihat di kertas.”

Adang meneguk ludah, nyaris terselip di pijakan kakinya saat ia berusaha mendekat lebih jelas. Naluri jurnalismenya mencuat, dan seketika ia abadikan pemandangan itu di banyak jepretan gambar, kanan, kiri, hampir dari semua sudut. Ia baru berhenti ketika lelaki tua di depannya tersenyum persis di depan lensanya, pemandangan yang sama sekali ia tidak sangka. 

Laki-laki tua itu tersenyum padanya. Dari jarak dekat penampilannya tidak menyeramkan seperti tadi. Matanya nampak lebih besar dan cemerlang, alisnya tebal dan nyaris bersambung, pundaknya sempit tetapi lengannya kekar, dan satu-satunya pakaian yang dikenakannya rupanya adalah kulit lembu yang dihaluskan kemudian disusun dalam potongan kecil-kecil, menjuntai ke bawah seperti rok remaja yang menggantung tanggung. 

Kulitnya berkerinyut di sana-sini dan kilapan cahaya yang memantul di situ menandakan seperti apa waktu membentuknya. “Nama saya Galeang,” ujarnya sembari melempar tambang berujung jangkar begitu saja sampai tertancap di tanah, lalu menarik tali yang lain yang membawa sampan di air mendekat ke tepian.

“Nama saya Adang.”

“Ya. Saya tahu nama Anda.”

Wartawan itu melihat heran. Bulu kuduknya mulai merinding. Matahari semakin tinggi tapi semakin ke dalam, ia merasakan udara semakin dingin. Juga, kabut yang pernah dilihatnya kini mulai tampak dari arah hulu sungai. Gemericik air memecah di bagian luar sampan ketika lelaki bernama Galeang itu menggerak-gerakkan tangannya, tanda ajakan bahwa tamunya harus segera naik ke sampan. “Kabut itu membawa kematian. Kita harus menjauh sebelum ia sampai ke mari.”

Dengan susah payah sampan itu membelah gelombang riak air, mendayung ke hulu dan berbelok-belok menghindari bebatuan yang menyembul di permukaan. Sekali lagi keheningan menyergap dan Adang tak berani membuka pembicaraan. Kepalanya masih dipusingkan dengan orang di depannya, termasuk segala misteri tentang ‘pengetahuan segala hal’ yang ditunjukkannya lewat sorotan mata, gerakan tangan bahkan sekadar dehaman. 

Berkali-kali pula lelaki tua itu berdeham-deham dan bersiul senandung sembari berdayung, kemudian berhasil melewati riam besar setelahnya. Adang pernah mendengar bahwa banyak suku-suku pedalaman Kalimantan dan Sumatra memanfaatkan siulan dan nyanyi-nyanyian sebagai cara mereka ‘berkomunikasi’ dengan alam. Terlebih lagi, cara yang sama mereka pakai untuk memancing mangsa mereka mendekat, atau keriangan saat membawa ‘tangkapan yang berharga’.

Semakin ke hulu, sampan itu semakin berbelok ke arah timur dan melewati semakin banyak lompatan monyet. Saat kabut berlalu di belakang mereka, Adang menegakkan badannya, melongok ke kejauhan di mana terdengar bunyi derit-deritan yang menghembuskan material serupa serbuk-serbuk halus ke udara. Saat pandangannya akhirnya terbuka lebar, Adang terbelalak tidak percaya. 

Di tebing di atas dermaga, terdapat pelataran yang terbuat dari susunan bebatuan agak tinggi. Batu-batu pipih dari pecahan batu besar disusun membentuk kotak yang memanjang, serupa pembaringan. Di atas bongkah-bongkah litikum itu membara api besar yang membubungkan asap tinggi ke udara. Di dalam kobaran yang panasnya bisa ia rasakan bahkan dari atas air, kayu-kayu bersusun saling-silang dan bertumpuk melandasi sesuatu. Seonggok tubuh terbakar dan wajahnya menoleh ke air. 

Mulutnya terbuka lebar seperti sedang berteriak saat menjelang maut. Tubuh itu semakin habis dan semakin kering dilalap api, dan yang tersisa hanyalah bayangan hitam saat api yang ditiup angin merambat-rambat menyelimutinya.

“Jangan bicara,” ujar Galeang saat mereka menepi. “Lihat dan pelajari saja.”

Adang meneguk ludah untuk kesekian kali. Ia keluarkan kameranya dan memotret lagi semua pemandangan mengerikan ini. Tebing itu seperti tungku yang luas, tempat aneka bahan dibakar di atas susunan batu-batu sungai. Adang memotret sambil terus melangkah semakin tinggi mengikuti anak tangga yang dituntun orang tua di depannya, berpegangan pada dahan-dahan pohon dan utas-utas tali yang tertanam kotor. 

Saat akhirnya ia tiba di atas tebing, Adang menurunkan kameranya, membuka mulut dengan refleks ngeri yang tak biasa. Tungku itu tidak cuma satu, tetapi berbaris-baris sejauh mata memandang. Aroma daging dan rambut terbakar mendominasi udara. Lebih dari sepuluh pembakaran, dan semuanya membubungkan asap setinggi kabut, hening dalam ritus penyelesaian.

(Selanjutnya di sini)

------------------


Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun