Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Misteri Sepotong Roti (2)

28 Mei 2012   19:09 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:40 372
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1338047338260812320

Perempuan ditemukan mati tergantung di atas meja tamunya.

Tak banyak petunjuk awal. Hanya roti yang terpotong di dua bagian.

(Sebelumnya ....)

Perjalanan Yogyakarta-Magelang memakan waktu setengah jam lebih lama dari yang diperkirakan. Adam tertidur di kabin belakang. Efek kopi tidak begitu berpengaruh bagi tubuhnya yang sudah imun dari pengaruh kafein.  Pada pukul tujuh lebih lima menit mereka sudah melewati kota dan mengambil jalan mengarah ke selatan. Dusun yang dituju tidak jauh dari jalan pintas antarkabupaten yang mengarah langsung ke Borobudur di Barat Daya.

“Adam.” Eno memanggil rekannya ketika mobil memasuki gang berbatu di antara beberapa rumah. Dua mobil patroli polisi juga bersiaga di sana, di saat bersamaan ketika mobil Identifikasi dan Forensik Mapolda Jawa Tengah baru berlalu meninggalkan kompleks itu. “Adam!” Eno memanggil lagi. Kemudian terdengar suara orang mengulet puas dan menguap begitu saja hingga akhirnya mobil berhenti.

“Kita sudah sampai.”

Mereka disambut dengan ejekan oleh Kapolsek setempat. Petugas berpangkat Ajun Komisaris Polisi itu lebih cocok menjadi perwira tinggi melihat bodinya yang tegap dan wajah tirus lengkap dengan kumis tak bersambung. Eno memohon maaf keterlambatannya, menyampaikan beberapa alasan basa-basi, kemudian memperkenalkan rekannya kepada beberapa orang penting di situ.

“Ah! Pak Adam Yafrizal. Sebuah kehormatan bertemu dengan Anda. Maaf kondisinya harus seperti ini,” kata Kapolsek itu. Ia kemudian memperkenalkan dirinya sebagai Hilmi Husain, yang lalu disambut jabat tangan hangat oleh investigator swasta itu. Reputasinya yang menanjak akhir-akhir ini membuat Adam mulai disoroti pihak kepolisian di Jawa Tengah. Sayangnya, setiapa kali undangan berlogo kepolisian tiba di rumah kontrakannya, satu hal yang dilakukan adalah memasukkan semua amplop berisi pesan itu ke dalam kompartemen khusus yang diisi banyak surat tebal lainnya, lengkap dengan ratusan logo instansi pemerintah. Birokrasi bukanlah sesuatu yang menarik minatnya, tidak sekuat surat kaleng yang berisi tantangan ataupun tulisan tangan ibu rumah tangga yang meminta pertolongan atas kasus hilangnya anjing peliharaan. Dalam pertemuan yang tak bisa dihindari seperti ini, ia masih bisa tersenyum.

“Senang bertemu dengan Anda, Pak. Ipda Eno sudah memberikan sedikit gambarannya kepada saya semalam. Saya yakin Anda dan pasukan telah melaksanakan investigasi awal tentang kasus ini?

Kapolsek baru saja ingin membenarkan kalimat Adam barusan ketika tiba-tiba sudah disela lagi.

“Dan saya berpendapat ada banyak lubang yang harus diisi sebelum semua petunjuk tertutup. Dan Anda memerlukan jasa saya di sini?”

Nada bicara yang kurang menyenangkan di telinga seorang kapten polisi yang seperti ditohok dengan rotan tepat di depan anak buahnya sendiri. Lalu tanpa pikir panjang, Kapten Hilmi Husein sudah menggiring tamu kehormatannya itu ke dalam rumah bercat gading itu. Tempat kejadian perkara.

Sebuah ruangan tamu yang sangat biasa. Hanya ada satu meja berukuran kecil di pojok belakang ruangan, tempat vas berisi bunga plastik dan sebuah novel diletakkan. Dinding hanya memampang dua foto berbingkai plastik yang menggantung lama, kelihatan dari debu yang melapisi bingkai atasnya. Dan jendela tempat udara masuk dan keluar hanya terdapat di bagian samping ruang tamu itu, memudahkan penghuni untuk berinteraksi singkat dengan tetangga yang rumahnya hanya selemparan kerikil.

Adam melangkah perlahan ketika mendapati meja sedang berwarna coklat itu masih berada di tempatnya. Sebagian detil masih sama seperti yang digambarkan Eno malam sebelumnya. Taplak kain katun berwarna biru langit dengan sulaman boneka lumba-lumba di kedua sudutnya. Kain itu menutupi tidak semua bidang meja, karena kedua ujung sisi sampingnya berakhir sepuluh sentimeter sebelum tepian meja, membuat taplak itu lebih mirip balutan bendera di atas peti kematian. Lurus mengikuti pinggiran kayu. Di atasnya, tergeletak piring melanin berisi sekerat roti bekas makan. Di sampingnya sebuah gelas yang sepertinya telah dipindahkan dari tempatnya semula.

“Kalian sudah melakukan olah TKP di sini?” tanya Adam tiba-tiba. Kapten Hilmi mengangguk bangga, kemudian diamini oleh dua sisten yang nampak setia mengikutinya kemanapun ia melangkah. Eno menunggu di luar pintu.

“Sangat sempurna,” kata Adam lagi, yang lagi-lagi disambut anggukan bangga. “Berarti ada kemungkinan korban adalah orang yang tidak konsisten, menggunakan dua titik meja untuk satu gelas yang sama.”

Hilmi Husein keheranan, begitu pula dua ajudannya yang sepaham. Mereka mengangkat alis bersamaan ketika Adam mengetuk-ngetukkan ujung telunjuknya ke lekukan berbentuk lingkaran di bidang taplak itu.

“Bekas gelas ini, Bapak-bapak. Ini ada dua lingkaran. Kalian lihat?”

Para polisi itu memiringkan kepala bersamaan, mengamati lebih dekat bekas letakan yang baru mereka sadari sekarang.

“Kalian telah melakukan pekerjaan hebat sampai-sampai lupa meletakkan barang-barang TKP kembali ke tempatnya semula. Sungguh berguna untuk penyelidikan lebih lanjut.” Sindiran yang tidak mengenakkan di telinga.

“Maaf, Pak Adam.” Hilmi berusaha membenarkan tindakan anak buahnya. “Tapi saya kira kami sudah sesuai prosedur.”

Adam tersenyum. “Saya tidak menyalahkan kalian. Ini tugas bagian forensik, dan saya yakin bukan kalian yang memindahkannya.” Lalu terdengar ketukan di arah bawah. Hilmi kembali terheran sampai akhirnya menyadari bahwa ketukan dua kali barusan dihasilkan oleh Adam yang menyentuh kaki kursi dengan ujung sepatunya.

“Bagaimana, Pak Adam?”

“Hm?” Tamu itu hanya berdeham beberapa kali ketika tangannya dibawa lembut seperti mengelus setiap bidang meja itu. Kepalanya beberapa kali menengadah memerhatikan setiap lekuk palang kayu yang menyangga atap. Di atas sana, ia menemukan kain sarung batik yang masih menggulung, menggantung dengan elok sampai ujungnya berada sekitar satu-tiga perempat meter dari permukaan meja itu. Sebuah kursi tergeletak begitu saja di lantai. Sandarannya rapat di tempat kaki harusnya berpijak.

“Siapa yang menemukan korban pertama kali? Adiknya di mana?”

“Di rumah tetangga. Masih kerabat dekat mereka. Ratna dan Reza ditinggal orang tuanya yang sama-sama menikah lagi setelah bercerai. Mengambil langkah berani, sang kakak membawa adiknya dari Sumatera dan tinggal di beberapa kota sebelum akhirnya tiba di Magelang akhir 2010.” Kapten Hilmi memulai penjelasan hasil investigasi awal timnya.

Adam menyimak sambil terus mengamati beberapa bagian rumah itu. Sebuah kamar kecil di sebelah selatan ia masuki. Tak banyak yang ditemukan di sana kecuali sebuah kaleng bekas roti kering yang tergeletak di dekat kaki lemari pakaian. Di sisi lain ruangan ada seperangkat alat hitung, kalkulator digital, peralatan rias, serta buku bacaan yang bertumpuk di meja kecil.

“Sepertinya korban kita seorang pekerja keras,” komentar Adam ketika memerhatikan permukaan cermin tertutup bedak yang telah lama mengering.

“Ya,” balas Hilmi. “Dia bekerja sebagai asisten Humas di salah satu event organizer ‘CAKRA’. Pekerjaan kedua yang didapatkannya setelah tiba di Magelang. Sebelumnya menjadi guru les Bahasa Inggris untuk anak-anak SD yang malas belajar di sekolah.

“Guru privat.”

“Ya. Sampai akhirnya awal 2011 ia menjadi bagian dari promotor beberapa pameran kesenian, juga konser musik di Jawa Tengah. Seperti yang Anda bilang. Dia pekerja keras. Sepertinya ia merasakan tanggung jawab yang utuh terhadap kelangsungan hidup adiknya.”

Adam mengangguk sambil merapatkan bibir ke dalam. Untuk sementara tak banyak yang menarik perhatiannya di ruangan itu. Saat mereka sudah kembali ke ruang tamu, Eno mendekat dan memberikan laporan singkatnya, yang nampak membuat kapten itu hanya semakin mengernyitkan dahi.

Eno mengangguk dengan pandangan tajam ketika menghadap rekannya, kemudian berlalu.

“Baiklah, Pak Hilmi. Kapten, Hilmi.” Saya tidak mau mengganggu tugas satuan Anda di sini. Saya kira sebuah kehormatan bagi saya sudah diperbolehkan melihat-lihat TKP sampai sedekat ini. Pengalaman langka bagi saya.”

Hilmi mengangguk dan menyampaikan ungkapan hormat yang sama dirasakannya. Mereka keluar dari rumah itu sebelum akhirnya petugas jaga kembali membentangkan garis polisi di sekeliling pagar. Adam menghentikan langkahnya ketika persis berada satu langkah dari garis pagar, lalu membalik badan lagi. Saat kepala menunduk dan penglihatannya mengarah ke sesuatu yang berkilau, ia tersenyum.

“Saksi mata?” katanya spontan. Namun dibalas lebih gesit, seperti tak mau kalah, oleh sang kapten.

“Adiknya. Sudah kami wawancarai, Pak Adam. Tenang. Kami bisa melakukannya.”

Adam tersenyum sambil menghela napas, mengundang reaksi kegelian yang sama di raut muka Eno yang mengambil posisi lebih nyaman dan teduh di seberang gang. Menikmati suguhan es teh manis oleh tetangga yang mulai berkerumun.

“Sepertinya Anda punya lebih banyak kegiatan wawancara hari ini, Pak Hilmi.” Adam memberi komentar ringan saat menyaksikan tujuh wartawan sudah mendekat ke dekat rumah itu, lengkap dengan perlengkapan laporan terkini mereka. Hilmi membalas kalimat itu dengan gelengan kepala dan helaan napas. Pekerjaan polisi tak pernah lebih santai kecuali mereka memilih libur atau berjaga saja di pinggir jalan.

“Apa yang akan Anda katakan kepada mereka?”

Hilmi bertanya balik seperti meminta kejelasan atas pertanyaan barusan.

“Ya. Tentang kasus ini. Pembunuhan atau …” Adam memancing.

“Pembunuhan? Anda bercanda! Pers tidak bisa disuguhi berita yang lebih buruk lagi. Atau mereka akan bermalam di dusun ini selama satu bulan ke depan.”

Adam mengerti hal itu. Tak jarang banyak instansi pemerintah menyampaikan hal yang lebih “remeh-temeh” kepada publik melalui media pers semata-mata untuk menjaga perasaan publik. Di dalam industri media modern, berita buruk selalu akan menjadi berita baik. Mengesampingkan fakta yang bisa mencuat seketika memberitahu bahwa hal terjadi lebih parah dari dugaan sebelumnya adalah pilihan paling bijak di antara sedikit pilihan. Di era reformasi, untung saja banyak media pers sudah lebih jeli dan merasakan jika memang sesuatu tidak disampaikan sebagaimana mestinya. Tapi untuk kali ini, hal itu masih bisa diamankan sementara.

Saat Hilmi sudah berbicara di depan kamera dan kedua ajudannya mengintip dari dua sisi bahu belakangnya, Adam dan Eno sudah berjalan lagi membelah gang berpasir itu. Beberapa warga memandangi mereka seperti melihat bintang televisi yang berakting sinema elektronik. Gaya yang tak biasa.

“Di mana Reza?”

“Adik korban? Sudah diwawancarai …”

“Aku belum mewawancarainya.”

“Itu … Sepertinya di salah satu rumah ini.”

Adam mengangguk kepada warga yang menyambutnya. Jauh di dalam benak mereka penghuni kampung ini, tak banyak pengetahuan yang mengubang, selain terjadi kehebohan yang membuat mereka berpeluang diliput dan tayang di televisi. Mereka akan mengambil setiap peluang untuk itu. Celah-celah yang jelas bisa dimanfaatkan oleh siapapun, termasuk investigator nonpemerintah.

(Selanjutnya ...)


Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun