Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Menyeberang

13 Mei 2015   10:01 Diperbarui: 29 Agustus 2019   16:28 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: megapolitan.kompas.com/Jembatan Penyeberangan Otista, Jakarta (Robertus Belarminus).

BUKAN HARI YANG BAIK, batin Salim. Pemahamannya selalu bergantung pada hari baik. Ia lahir pada Jumat pagi--waktu datangnya rezeki dan jelang ibadah penting; menikah di hari Senin; anak pertamanya lahir di tanggal tujuh; ia perbaiki atap rumahnya pada bulan antara Muharram dan Imlek. Semua pertanda baik ia percayai. 

Tapi jelas bukan hari ini--yang mungkin dipengaruhi temperamennya orang-orang di tanggal tua dan hawa panas yang menyiksa. Salim mendapati dirinya terjebak di pinggir jalan. Seharusnya ia bermanja-diri dengan “liburan kota besar” yang dihadiahkan anak bungsunya, tetapi kesulitan-kesulitan orang di jalan sini lebih menakutkan dari yang ia bayangkan. 

Salim hendak menyeberang, tapi ketakutan merambat dari kaki sampai kepalanya. Ia menyesal tadi menolak diantar dan meninggalkan telepon genggamnya di mejaKakinya sudah menginjak aspal sebelum ia tarik kembali ke trotoar. Asap lalulintas menyiksanya. Orang tua ringkih, dengan dua lututnya yang gemetar, tidak begitu menarik perhatian orang-orang. Raungan klakson dn ratusan kendaraan yang lewat bikin penglihatannya berputar-putar.

Sebagian besar dari masa hidupnya Salim habiskan dengan berjalan kaki. Mengajar di SD, bekerja di bengkel bubut, mondar-mandir ke pegadaian, sampai ikut melatih kontingen catur di asrama tentara. 

Salim sudah hapal  banyak jalan, mengenali banyak lubang, menghapal karakter berbagai selokan. Tapi berdekade pengalamannya dengan jalan-jalan yang dibangun, dari dulunya jalur tanah berdebu sampai kini paving dan beton beraspal, Salim tidak pernah kesulitan menyeberang. 

Dulu, di masa ia sekolah, jalan-jalan besar hanya selebar dua lompatan kakinya, paling banter tiga. Yang lewat pun hanya gerobak dan sepeda. Berjalan kaki adalah kegiatan orang merdeka. Kini zaman telah berubah, jalan-jalan bukan lagi untuk orang tua.

Jalan protokol ini, tiga-empat kali lebih lebar dari jalanan yang biasa Salim seberangi. Juga tiga-empat kali lebih bersih, dan sepuluh kali lebih cepat lalulintasnya. Butuh banyak berlipat keberanian dan ketangkasan kalau-kalau sebuah sedan yang dikemudikan perempuan muda berbelok liar keluar jalur. Salim menghitung-hitung, dibutuhkan setidaknya duapuluh satu langkah untuk melewati aspal. 

Itupun, baru sampai di taman di tengah jalannya. Di situ akan ketemu trotoar lagi, sebelum jalan yang lebarnya juga duapuluh satu langkah, membatas sapai ke seberang. Klakson bersahutan, Salim memicingkan matanya. 

Di kejauhan beberapa orang berhasil mencapai trotoar tengah setelah menyeberang sambil mengangkat tangan ke udara. Itu mestinya mudah, melambaikan tangan, ya, Salim membatin, menguatkan dirinya kemudian menginjak aspal.

Piiiip… Piip-Piiiip. Piiiiiiiiiipp. Raungan klakson jauh lebih menakutkan kini. Lambaian tangan tidak berhasil, sebuah mobil kotak nyaris menyerempetnya. Yang di dalam berteriak, “Jangan gila, orang tua!” Salim mundur lagi ke trotoar. Ia mengatur napasnya. Pengemudi lain hanya melihatnya sebelum berlalu pergi.

Orang gila? Ini kota macam apa? Salim tak henti-hentinya bertanya. Di kabupaten tempatnya lahir, bagian kotanya jauh lebih ramah, orang-orang tua lain mudah saja menyeberang, dituntun anak sekolah atau tukang ojek yang kebetulan lewat. Tapi di sini, menyeberang, apalagi kalau sudah tua, dan sendirian, diteriaki gila?

Terik matahari tambah panas. Hawa tambah kotor, bikin pedih mata. Salim mencoba peruntungannya berkali-kali tetapi gagal. Paling jauh ia sudah sepuluh langkah ke tengah, dan banyak mobil berhenti. Tetapi kemudian motor besar melintas, pengendaranya berjaket kulit. Tanpa klakson dan tanpa peringatan, hanya dentuman knalpotnya yang menggetarkan dada. Salim ketakutan melihat mata yang memelototinya sebelum berlari kembali ke tempatnya melompat. Aneh, pikirnya, karena pemotor tadi pakai helm polisi.

“Naik ke jembatan, Pak!”

Salim mendengar sebuah teriakan dari pinggir jalan mengarah pada dirinya. Rupanya beberapa pedagang menunjuk-nunjuk tinggi. “Itu, naik ke jembatan penyeberangan,” seru perempuan paruh  baya, yang lalu mengarahkan telunjuknya ke barisan tangga dua meter di belakang trotoar tempat Salim berdiri. 

Di sana ada dua karyawan dan seorang pengemis melangkah pelan-pelan menaiki tangga besi. Langkah-langkah mereka menghasilkan bungi dung… dung yang aneh. Salim salah tingkah, kikuk saat seorang tukang ojek menghampirinya. Ia angkat dua tangannya menolak tawaran, ia tidak butuh tumpangan motor. Tetapi tukang ojek itu malah menarik tangannya, menuntunnya ke arah tangga. Salim menarik tangannya. Dengan halus, ia berterima kasih, lalu kembali ke trotoar. Tukang ojek berlalu sambil misuh-misuh.

Jembatan penyeberangan. Rangkaian besi tua yang dipoles cet hijau dan kuning cerah. Besi menyusunnya di semua penjuru. Bahkan lantai dan pijakan-pijakan tangganya dibangun dari besi. Berbunyi dung dung saat dilangkahi. Selepas menaiki tangga, kedua karyawan dan pengemis tadi kini berada persis di tengah jalan, jauh di atas raungan kendaraan. 

Mereka melangkah di tengah udara, melewati terowongan yang dinding-dindingnya dari besi tipis yang rapuh. Makin jauh dan jauh. Tak lama kemudian, mereka berbelok turun tangga, dan sekonyong-konyong sudah berada di seberang. Bangunan pemerintah ini konon memudahkan untuk orang-orang, tapi Salim membatin tidak terbantu sama sekali. “Angin kencang begini. Aku bisa terempas kapan saja.”

Waktu itu Salim umur sepuluh. Sepulang belajar mengaji Salim berkomplot, berkeliling kampung dan memanjati pohon. Rambutan, sarikaya dan jambu dicurinya. Itu sebelum suatu hari sore saat hujan turun jelang azan Magrib. 

Salim dan dua temannya membawa karung hasil tadahan buah curian, memutari kampung lewat bantaran sungai. Yang tidak disadarinya adalah hujan berbulan-bulan melumuti batu tanggul sungai, dan sandal jepitnya tak lagi kesat. Kakinya melangkah terlalu jauh dan Salim terperosok, isi karung berhamburan. Salim tak sanggup berteriak saat tubuhnya terseret ke dalam, tak ada pegangan sebelum membentur dasar bantaran. 

Langit hitam menghujani matanya, teman-teman memanggil namanya di atas sana. Salim terjatuh tiga meter dalamnya. Sejak saat itu ia takut melihat ke atas. Lebih-lebih, ia takut melihat ke bawah. Kedalaman sama mengerikannya dengan ketinggian. Rasa sakit pun kerap mengganggu di kepalanya.

Setengah jam sudah terlalu lama. Salim mencari tempat duduk untuk merapatkan pantatnya, meregangkan lutut-lututnya. Mestinya ini perkara gampang, hanya menyeberang. Tapi pengalamannya beberapa menit  rasanya tidak memberi semangat apapun, kecuali rasa takut ditabrak dan mati di jalan kota. Dan jembatan penyeberangan yang tingginya selangit. 

Banyak hasil kerja pemerintah hanya menjauhkan orang-orang tidak mampu seperti dirinya. Nyalinya ciut, rencananya galau. Di kejauhan warung di belakangnya dua tukang ojek saling bertukar tanya. Perempuan paruh baya kembali sibuk dengan pelanggannya. Salim melihat sekeliling, berharap ada yang membawakan keajaiban. Tapi tidak ada yang menyeberang, dan kalaupun satu-dua muncul, mereka memilih menapaki lantai besi yang membentang empat setengah meter di atas aspal.

Kemudian ada lampu merah. Salim melihat kedip merah, hijau, bergantian setelah dua menit di kejauhan fatamorgana. Ada lampu merah, mestinya ada jeda lalu lintas. Di kejauhan sana, di antara pasar bertingkat dan sebuah mal (yang juga dihubungkan jembatan tinggi), ada simpang jalan. Dan lampu merah. Saat lalu lintas melaju di satu arah, maka berhenti di tiga arah lainnya. 

Jeda mungkin membantu. Duapuluh detik, Salim menghitung, dan kendaraan terakhir melewati simpang jalan menuju arahnya, sebelum barisan kendaraan di belakangnya berhenti, memberi jalan kepada jalur yang membujur. Lewat pula iring-iringan menteri dikawal polisi, mesti jeda lampu merah bisa diperpanjang.

Tigapuluh, duapuluh, kini tinggal sepuluh kendaraan akan melintas saat lampu merah di simpang sana masih menahan lalu lintas. Lima, tiga mobil lagi. Akhirnya, jalanan berangsur lengang. Salim melambai-lambaikan tangan, menyeret kaki-kaki tuanya menapaki aspal, maju delapan langkah saat tertinggal dua mobil, dan sepuluh langkah saat tertinggal satu sepeda motor. 

Ia berada di tengah aspal saat tetiba di kejauhan lalu lintas kembali terbuka. Salim terperangah, konvoi menteri cuma sebentar, aliran kendaraan lalu menyerbu ke arahnya. Seratus, meter, limapuluh meter. Ketika akhirnya mobil-mobil mulai mendekat dengan kencang, Salim tanpa sadar bertakbir, menutup matanya, dan melangkah secepat mungkin. 

Tidak, ia berlari. “Allahu akbar, Allahu Akbar!” teriaknya sembari memeluk tas kecilnya melompati aspal, dan naik ke trotoar. Dengan beberapa takbir lagi, Salim tak ingat persis apa yang direncanakannya tadi. Tapi ia hanya berlari kencang sambil mengangkat-angkat tangan. Raungan klakson bertalu-talu di belakangnya, melintas cepat dan berlalu. 

Di telinganya ia dengar orang-orang berteriak memakinya. Di kejauhan satu-dua perempuan menjerit ketakutan saat Salim merasa ujung bajunya meleset dari bamper sebuah truk minyak. Ia bertakbir lagi, memanggil-manggil anaknya, memaki-maki dirinya, mengadu-ngadu ke Tuhannya. Sampai kemudian ia membuka mata, angin dari mobil-mobil kencang dan truk mendorongnya ke samping. 

Maka di situlah di atas trotoar baru, Salim tersungkur ke blok paving. Orang-orang langsung mengerumuninya, menarik lengan dan memapahnya berdiri. “Aduh, Pak Tua!” kata seorang perempuan. “Berani-beraninya siiih?” kata seorang lain. “Kenapa tidak naik jembatan?” kata seorang anak, mungkin pelajar SD. Salim tersedu dan dengan suara bergetar lalu berterima kasih. “Saya tidak apa-apa,” kilahnya. Padahal ia takut setengah mati.

Entah  bagaimana ketakutannya di pinggir sungai di masa kecil itu seperti lewat sekelebat. Melewati banyak jalan yang hanya berlapis tanah. Salim berdiri lalu  berjalan, dan melihat orang-orang baik membantunya. 

Beberapa menawarinya tumpangan, tapi si orang tua hanya meminjam telepon untuk menghubungi anaknya. Entah mengapa harinya yang ini tidak begitu baik, tapi setidaknya Salim lega. Ia sudah di seberang.

---------------------

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun