Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Di Atas Lutut

15 September 2012   01:56 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:27 494
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

*

Tak pernah jelas kutahu seperti apa rupa Kempetai. Orang-orang tak berani membincangkan mereka. Hanya satu yang kutahu, satu-dua mereka ada di antara para tamu yang pernah kulayani di Persimpangan Nagoya. Pembawa rahasia!

Saat kemben sudah terbuka … aku diam saja.

***

Perempuan itu melangkah dengan pandangan ke depan. Dagunya terangkat tapi senyumnya hanya sesekali. Tangan kirinya tegas mengayun sementara yang kanan rapat mengawasi tali tas yang tercokol di pundak. Terdengar siulan dari kejauhan. Beberapa suara bahkan terang-terangan menyapa dengan genit. Satu-dua tukang becak dan pengangguran sampai berdiri dari kursi panjangnya, sumringah penuh pengharapan kosong. Seperti bola mata mereka mau melompat dari lubangnya.

Perempuan itu terus melangkah. Ia sama sekali tak merasa ada yang aneh dengan dirinya. Tapi ia sadar, bahwa di abad keduapuluh satu seperti ini penerimaan berarti pengakuan yang sama dan merata di semua masyarakat. Dan begitu satu atau dua kelompok sosial sudah memandangmu sebagai orang yang aneh apalagi menggoda, semuanya kembali hanya omong kosong.

“Bu Murni,”

“Eh, Mbak Intan. Mari-mari.” Perempuan paruh baya penjual lotek sudah menyilakan tamu langganannya itu duduk. Kangkung, kubis dan toge disuwir lalu dituangkan ke ulekan. Siap dicampur dengan kacang dan beberapa cabe pelengkap rasanya yang kental.

“Aku mulai terbiasa, Bu Intan.”

“He?” penjual lotek itu bertanya heran. Soal apa langganannya ini mau bicara.

Yang dipanggil Intan itu tersenyum sedan sambil memancing pandang ke arah badan sampai kakinya. Ia mengangkat pundak kemudian mendaratkan dua tangan ke lututnya yang panas karena tersengar sinar matahari.

“Oalah, Mbak Intan. Itu to. Iya, saya mengerti. Yang berani tampil seperti itu tiap hari kan cuma Mbak Intan. Yang lain-lain itu, cuma sesekali, itupun mereka belum berani jalan ke mana-mana.”

Intan lalu memandang lututnya. Memang terbuka dan ia sendiri merasakan ada angin yang menyeruak masuk. Tapi mau bagaimana lagi, hanya ini gaya busana yang ia bisa lakukan untuk saat ini. Hampir sepuluh tahun bekerja sebagai sekretaris perusahaan properti di Brisbane membuatnya nyaris tak punya modal sosial baru untuk mengubah penampilan menjadi lebih tertutup. Hasilnya nyaris stagnan. Kalau tidak mengenakan blus tipis abu-abu dengan kain penutup dada warna hitam, dan dipadu rok lurus di atas lutut berwarna hitam, ia hanya bisa mengenakan terusan lembut tak berlengan, yang tepian bawahnya juga tidak lebih rendah dari tempurung lututnya.

“Saya masih mengumpulkan uang untuk ganti baju, Bu Murni.”

“Iya, saya tahu Mbak Intan bukan perempuan semacam itu. Saya tahu mbak Intan jaga diri. Salat juga kan teratur? Saya tahu, mbak. Tidak semua orang yang pakaiannya rada terbuka, hatinya benar-benar seperti itu. Saya sudah sepuluh tahun di sini, dan Mbak Intan bukan orang pertama yang saya lihat pakai rok pendek. Lagipula, cantik kok. Mbak Intan cantik, hatinya pasti seperti namanya.”

“Terima kasih, Bu Murni.”

Penjual lotek itu mengangguk dengan senyumnya yang mengembang untuk siapa saja. Sepertinya perempuan paruh baya itu mengerti, bahwa zaman benar-benar berjalan dan setiap perempuan punya cara menjaga dirinya sendiri. Intan lebih banyak merenung, lebih tepatnya termangu tanpa jelas pikirannya sedang mau memikirkan apa. Ujung roknya yang bergerak makin ke atas setiap kali ia membenarkan duduknya, ataukah memikirkan seorang perempuan yang sepekan terakhir sedang memenuhi pikirannya.

“Jaga diri baik-baik ya, Nduk,” pesan Murni saat bungkusan plastik hitam itu disodorkan. Aroma lotek menyerbak sampai ke hidung.

“Eja.”

“He?” Penjual lotek itu terheran lagi.

“Oh, mboten nopo-nopo, Bu. Matur nuwun.

Intan melangkah lagi, kali ini berbelok ke arah toko pakaian muslimah. Keramaian mulai mereda karena matahari makin menyengat jelang tengah hari. Intan berjalan di antara orang-orang yang tak banyak memerhatikan, maka hatinya lega. Lebih baik berjalan di tengah keramaian daripada di gang sepi.

Setengah jam kemudian, perempuan muda itu berjalan pulang. Tetap hanya tasnya yang dibawa. Aroma lotek menyeruak dari dalamnya. Murni penjual lotek itu tersenyum mengangguk tapi hatinya bertanya. Perempuan muda itu rupanya tak jadi membeli baju panjang.

***

Kami diambil begitu saja dari jalan.

Sebagian teman kami diserahkan sendiri oleh orang tua mereka. Sekarung beras dan segepok ubi jadi bayarannya. Benar-benar najis! Aku melawan tapi bayonet di depan hidung-hidung kami. Akhirnya aku tak pernah melihat rumah lagi sejak itu. Umurku enam belas, dan satu-satunya bekal yang kubawa adalah kebaya bergambar kupu-kupu pemberian ibu, kemben berwarna langit malam, itu saja. Enam hari pertama, tak ada yang terdengar kecuali tangisan. Oh Tuhan, jugun ianfu, mereka memanggil kami. Aku tak tahu artinya.

Untuk enam bulan berikutnya, kami sudah melayani banyak tentara. Dari Keibodan sampai Jibakutai. Mereka semua rupanya sama, mungkin saudara sedarah. Matanya sama sipit dan kulitnya sama kuning. Bau napas mereka menyesakkan meski badan mereka kecil-kecil. Satu-dua kali kami bahkan, dalam lelah, disuruh melayani Gakukotai! Ya ampun, mereka ini laskar pelajar. Pakaian mereka jauh lebih bagus dan rambut mereka lebih mengkilap. Untuk apa kami melayani orang seperti mereka? Tidakkan di negeri ini mereka adalah kaum penyelamat?

Memang kami berpakaian seadanya. Hanya ada jarik dan kemben penutup dada. Sejak kecil kami hanya diberi itu. Apa mata mereka selalu bernapsu setiap melihat dada kami terbuka? Aku tak yakin semua lelaki begitu.

Suatu siang , saat semua suara seperti menghilang sejenak., aku berpikir dalam kegelapan. Aku Eja, mungkin akan tampak gagah dengan seragam Fujinkai. Barisan wanita.

Tapi saat matahari menghilang, semua gambar itu ikut mengawang.

***

Intan tertidur di meja kerjanya.

Tak seperti meja kerja kebanyakan, yang ini hanya meja kayu biasa dengan kursinya yang sandarannya setengah punggung. Tak ada barang lain di atas itu selain tumpukan-tumpukan kertas dan sebuah buku catatan pengaluaran. Dan sebuah kendi berbentuk kubis yang terbuat dari tanah liat. Intan mengguncang-guncang kendi uangnya itu sampai berbunyi nyaring. Ia juga membuka buku catatannya dan melihat saldo di sana belum mencukupi bahkan untuk membayar sewa indekos seminggu ke depan. Apatah mau membeli baju. Saat ia membalik badan ke arah lemari. Tak ada pasangan baju yang dilihatnya selain paduan blus dan rok pendek. Betapa hidup bisa berbalik, betapa perjuangannya tak pernah berhenti. Surat pemutusan hubungan kerja berlogo NIMZ Brisbane sudah menumpuk di kotak sampah bersama barang-barang tak berguna lainnya.

Kamar itu makin sempit terasa, di samping memang ukurannya yang mini dengan satu jendela menghadap matahari terbenam. Siang, ia membawa lagi map lamarannya dan berjalan menyusuri gang yang sama.

Gang itu terasa lebi mencekam dan gelap. Baru saja Intan mau berbelok ke dalam saat langkahnya terhenti. Duapuluh meter di depan sana tujuh laki-laki berkulit gelap saling tertawa dengan bibir mereka yang berminyak. Penjual angkringan ikut tertawa meski ia mungkin tak sepenuhnya mengerti apa yang ditertawakan pelanggannya. Intan berpikir untuk  mencari jalan lain, tapi itu tidak mungkin karena janji wawancaranya sudah tiba dalam sepuluh menit. Gang ini satu-satunya jalan.

Langkahnya perlahan. Bunyi sepatu kulit itu menggema dan langsung menarik perhatian. Orang-orang di angkringan menoleh, dan satu-dua dari mereka mulai saling colek. Dua yang lainnya hanya melirik tajam sementara penjual angkringan tak bisa menutup mulutnya.

Intan cantik di luar, nyaris sempurna untuk laki-laki kebanyakan. Pundaknya sempit dan dua tungkainya lurus seperti dua lengannya yang tegas. Rambutnya tergurai sampai tengah punggung dengan sebagian atasnya tergantung dan terjepit di belakang kepala, tak ada yang kurang. Blus merah tua itu tetap dipadu rok di atas lutut berwarna hitam. Ia melangkah perlahan dan memindahkan posisi tasnya, dibiarkan di depan rok dan dipegang dengan dua tangan.

Siulan sudah terdengar.

“Mau kemana, mbakyu? Mampir sini.”

Intan terus jalan. Wajahnya menunduk.

“Aduh mbak kok jaim sih? Bilang saja kalau sedang butuh.”

Kalimat barusan itu membuat langkah Intan terhenti. Bibirnya mengatup dan tangannya meremas tali tas makin kencang. Yang baru saja mengucapkan kalimat yang tak mengenakkan itu, seorang laki-laki pelontos dengan perutnya yang buncit, berdiri dan mulai siaga jika sesuatu terjadi. Dua kancing kemeja lusuhnya dibiarkan terbuka di dada.

“Nah, berhenti kan. Sini mbak, motor saya di sana.” Laki-laki itu mulai mendekat dan menyodorkan tangan.

Kemudian Intan membalik badan, tersenyum simpul yang  membuat para lelaki itu tertawa lepas merasa kemenangan. Tapi Intan memberi kejutan. Lututnya diangkat sampai membentur selangkangan orang di depannya. Laki-laki buncit itu mengerang kesakitan, sementara orang-orang di bangku angkringan mulai berdiri.

“Stop! Kalau kalian tidak mau celaka.” Seru Intan dengan segala keberanian yang seperti memenuhi kepalanya seketika. Ia sedang dalam emosi penuh yang tak tertahankan lagi.

Saat laki-laki pelontos itu mulai memukul-mukul angin dalam posisi yang tetap membungkuk kesakitan, Intan sudah lebih dulu mengayunkan tasnya dan laki-laki itu merasa benda berat membentur pelipisnya kemudian pecah. Darah mengucur. Belum juga merasa bebas, ia sudah merasakan hidungnya memanas dan badannya jatuh tersungkur ke belakang. Pingsan.

Bunyi hak sepatu itu menjauh dan memantul di gang sampai akhirnya menghilang. Enam laki-laki itu menolong temannya yang berdarah-darah. Sementara penjaga angkringan hanya menggeleng sambil mengelap kering gelas di tangannya. Kali ini, ia tahu betul alasannya untuk tidak ikut campur.

***

Akhirnya aku memutuskan menjalani hidup yang ini. Kesakitan setiap hari, dan liang-liang yang berdenyut sakit setiap pagi. Aku melihat fajar sama saja setiap harinya. Bahkan sampai dua tahun berlalu ini, sudah bisa kudengar tangisan-tangisan bayi di rumah sebelah. Kudengar Banyuwangi dan Surakarta sudah hampir menang. Kudengar juga serangan mendadak di lapangan udara Maguwoharjo di Jogja berhasil gemilang dan tentara Jepang sudah hampir menyerah.

1944. Dan aku ingin tahun-tahun ke depan sudah tidak tinggal di sini lagi. Kami para jugun ianfu, adalah bagian dari sejarah nantinya. Semoga, ada beberapa kisah baik yang bisa dituliskan tentang kami. Tentang perjuangan tanpa menyerah, tentang keinginan-keinginanku bergabung dengan Fujinkai, tentang desas-desus seru bagaimana seseorang bernama Mardiyem mulai berjuang di desa ini, atau tentang upaya-upaya kami menyelundupkan bayi-bayi agar tidak tumbuh besar di Persimpangan Nagoya. Akan ada suatu hari, ketika kami duduk di depan para petinggi negara dengan senyum bangga.

Ada suatu hari, saat namaku Eja akan disebut lantang sebagai seorang yang dihormati.

Untuk sementara sekian dulu. Kapal ke Surabaya sebentar lagi berangkat, dan semoga suratku ini tidak dirampas oleh mata-mata Kempetai.

Selasa, 12 September 1944. Batam.

Intan menutup rapat lipatan kertas yang barusan dibacanya. Bibirnya terkatup dan dibasahi ludah. Helaan napas menenangkannya sampai di kepala. Kejadian tadi siang seperti pelajaran besar baginya. Tapi setidaknya orang-orang itu mulai memperhitungkannya.

Masa-masa sulit selalu adalah transisi, pikirnya. Ruangan itu gelap dan ia tak bisa memperhatikan banyak hal yang bisa menghiburnya. Kertas lamaran itu masih tertumpuk bersama map dan beberapa kertas lain.

Maaf, Intan. Kami belum bisa menerimamu. Cobalah lain kali.

Tulisan tangan yang indah, tak disangka diberikan sendiri oleh seorang direktur. Penolakan setelah penolakan lain. Intan mengangkat tangannya dan mengulet. Melihat langit-langit dan berusaha menenangkan pikirannya untuk rencana-rencana esok hari.

Di lemari belakangnya, sepasang baju muslim dengan jilbab hitam berumbai di bagian tepiannya dengan aksen bintik sewarna senja. Digantung berpadu celana panjang hitam yang bagian bawahnya lebih lebar. Membuka senyuman.

Setidaknya ia punya satu rencana. Ketika di meja kendi celengannya sudah berserakan dan serbuknya di sana-sini. Tinggal satu koin tahun 1991 yang tertinggal di situ. Intan mengambilnya kemudian memainkannya di telapak tangan. Membiarkan cahaya lampu menemani sampai kantuk datang.

***

Enam bulan kemudian.

“Terima kasih, Pak.” Intan membalas dengan senyum manis. Baju merah dan celana panjang hitamnya masih terasa longgar dan beberapa kali ia gerakkan badan dengan lugu.

Editor itu terkekeh setiap melihat perempuan muda itu bertingkah aneh. “Sudah pas, baju itu tidak ada masalah di badanmu.”

Intan tersipu malu kemudian berterima kasih. Saat mereka sudah hampir berpisah ke arah berlawanan, Pak Karto editor itu kembali bertanya.

“Oh iya Intan, satu lagi. Saya penasaran, dari mana kau dapatkan surat-surat yang jadi inspirasi novelmu ini?”

Intan tersenyum dan diam sejenak, sebelum akhirnya menjawab tegas.

“Itu surat-surat peninggalan nenek saya, Pak.”

Karto tersenyum puas. Separuh kebanggaan dan separuh perasaan lega. “Kau sudah berjuang keras enam bulan ini, dan saya punya perasaan yang bagus soal buku ini, akan ada lanjutannya kan? Ya sudah. Semoga berhasil.”

Intan membalas dengan anggukan ramah penuh rasa terima kasih. Ia melangkah keluar dari kantor penerbit MEDIA PAPIRUS menuju hari yang lebih terang. Saat menapakkan lagi satu kakinya di trotoar dan separuh badannya masih di halaman kantor itu, Intan sempat berhenti dan berpikir sejenak. Tapi akhirnya ia berjalan juga di jalan itu.

EJA

Cerita dari Persimpangan Nagoya

Novel

Intan Vaspita

Murni penjual lotek melihat sampul itu dengan berbinar. Sampulnya menghadap ke jalan. Buku itu tak pernah lepas dari lemarinya. Bersanding satu bilik dengan kangkung dan kubis.

Intan terus melangkah. Tasnya tetap di pundak dengan tangan kanan memegang tegas. Tangan kirinya bisa berayun lebih bebas kini. Dan dagunya tetap terangkat. Tungkainya terasa lebih hangat, dan ia tak perlu lagi khawatir soal lututnya.

Terasa orang-orang masih meliriknya dari sana-sini. Tapi perasaan Intan kini berbeda. Ia punya sesuatu lebih. Terutama, karena hidupnya berjalan lebih baik di hari-hari mendatang. Saat ingin berbelok ke gang Muju di ujung jalan Suryotomo, ia ketemu dengan seseorang yang pernah dilihatnya.

Lelaki perut buncit itu mendekat. Dan Intan menyadari pandangannya bahwa kepala orang itu mengangguk satu kali sebelum berlalu ke belakang.

*

Ilustrasi: stilgherrian.com.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun