Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Cerita Perbatasan 2: "Kami Hanya Butuh Jalan"

27 Mei 2011   13:32 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:08 759
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_110822" align="aligncenter" width="640" caption="Ibu Martini bersama rombongan kami, menyusuri Sungai Sekayam menuju hulu dengan perjalanan sampan selama 5 jam. 21 Mei 2011. (Hak cipta foto: Daniel Yudi Harnanto)"][/caption] "Kalau mau ditumpuk, proposal-proposal yang kami  kirimkan ke pemerintah sudah sampai langit ketujuh." Demikian Pak Santo menganalogikan perjuangan warga Suruh Kaduk dalam merealisasikan mimpi puluhan tahun warganya. Pak Santo adalah pendeta sekaligus koordinator setiap gerakan masyarakat di Suruh Kaduk, salah satu dusun di yang berdiri damai di hulu Sungai Sekayam, Kalimantan Barat. Keinginan para warga dari ratusan dusun di sepanjang Sungai Sekayam untuk mendapatkan akses jalan darat dari kecamatan terdekat hingga saat ini masih menjadi sebatas angan-angan. Puluhan tahun mereka terus mengusahakan berbagai cara agar setiap permohonan perbaikan jalan yang mereka sodorkan ke pemerintah ditanggapi. Namun, hingga hampir 20 tahun sejak upaya itu dilakukan, tak sekilopun jalan darat menjangkau lebih dekat ke dusun. Adalah sangat wajar jika sekitar 50 kepala keluarga di tiap dusun mengeluhkan hal yang sama terkait pembangunan desa mereka. Saat ini sebagian dusun seperti Suruh Tembawang dan Badat Baru sudah mulai dipasangi perangkat listrik tenaga mikrohidro, seperangkat alat komunikasi telepon, dan keran-keran air bersih. Akan tetapi, ternyata masyarakat mengaku hal tersebut tidak banyak membantu. Di Suruh Kaduk misalnya, tiang-tiang penyangga kabel listrik masih berupa hiasan, belum terpakai. Warga setempat mengidamkan satu perubahan yang lebih mendasar, yaitu akses jalan darat. "Sebenarnya kami di sini sudah cukup kaya. Kalau mau berkebun tinggal membabat lahan bebas di bukit, kami bisa pakai berapa hektar pun kami mau. Tapi ya satu ini, tidak ada jalan darat. Kalau ada jalan darat, kalian sudah bisa melihat mobil-mobil terparkir di halaman rumah kami di sini," imbuh Pak Santo. Memang, di setiap dusun mayoritas penduduknya mencari nafkah dengan berkebun. Sahang (lada hitam) adalah komoditi favorit karena pengelolaannya mudah. Harga sahang yang mencapai Rp 39.000,- per kilogram membuat petani untuk sekali panen bisa mendapatkan omzet hingga 10 juta rupiah, dengan asumsi luas lahan berkisar 2-5 hektar. Sebagian besar penjualan ditujukan kepada pasar-pasar di Malaysia. Selama ini, sebagian warga memilih tetap memasarkan sahangnya melalui jalur sungai walaupun kapsitas angkut sekali jalan tidak lebih dari 100 kg. Sebagian kelompok petani lainnya bahkan rela berjalan kaki selama 2 jam melintasi bukit menuju Malaysia untuk memasarkan tak lebih dari 20 kg sahang sekali jalan. Hari sebelumnya, tepatnya tanggal 21 Mei 2011 rombongan kami berangkat dari sebuah dermaga kecil di belakang Pasar Entekong, Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanggau, setelah menempuh 4 jam perjalanan dari Pontianak. Satu-satunya transportasi yang bisa digunakan untuk mengakses ratusan dusun di kampung hulu adalah sampan bermotor ukuran sedang. "Perjalanan ke Suruh Kaduk kira-kira lima jam lah, pakai sampan," kata Bang Fatah, salah satu warga dusun yang membantu kami menuju kesana. Bayangkan saja. Lima jam perjalanan dengan sampan, menyusuri sungai dengan melawan arus, dengan asumsi air tidak sedang pasang dan tidak pula banjir, baru kami akan sampai di dusun-dusun. Benar saja, bagi orang yang baru pertama kali melakukan perjalanan semacam ini, terasa sekali energi terkuras walaupun hanya duduk di atas sampan kecil dan terpapar sinar matahari yang menyengat. Tentu saja kami masih bersemangat karena ini pengalaman yang langka, tapi bagaimana dengan warga setempat yang kegiatan semacam ini bagi mereka adalah rutinitas? Berdasarkan informasi yang kami terima, tidak semua warga mampu membayar jasa transportasi sampan jika ingin melakukan perjalanan ke dusun atau sebaliknya. Biaya jasa satu kali perjalanan dengan sampan minimal Rp 600 ribu, yang berarti untuk perjalanan pergi-pulang dibutuhkan setidaknya Rp 1,2 juta. Pendapatan masyarakat yang rata-rata berdagang hasil bumi yang masa panennya sekitar 3 bulan sekali tidak selalu mencukupi untuk mengisi biaya-biaya transportasi. Ibu Martini, guru SD di Sungkung Badat Lama, sebuah dusun yang letaknya paling hulu, mengaku tak setiap bulan ia bisa membayar jasa sampan motor untuk berangkat ke kecamatan. Kadang ia harus rela tidak mengajar murid-muridnya saat air sedang pasang atau banjir. Ibu Martini tinggal secara tetap di Kelurahan Semangit Kecamatan Entikong, tapi mengajar di sebuah dusun ratusan meter menembus hulu sungai. Sebenarnya, pemerintah sudah memberikan fasilitas rumah dinas bagi dirinya di Sungkung Badat, agar ia tidak harus pergi pulang ke Entikong. Akan tetapi, nampaknya naluri kemanusiaan Bu Martini tetap saja menunjukkan beberapa kewajibannya untuk menuju kecamatan. Kalau sudah begitu, mau tak mau Bu Martini merogoh ratusan ribu untuk sekali perjalanan sampan. Meski demikian, memanfaatkan situasi yang serba dilematis, sebagian warga memilih untuk memiliki sampan motor pribadi. Pak Dedi misalnya, guru SMP di salah satu dusun yang tak terlalu jauh dari kecamatan ini mengaku sejak 2 tahun lalu memutuskan membeli mesin motor sendiri dan sehari-hari berangkat mengajar menggunakan sampan pribadinya. "Lebih efisien, hanya perlu biaya solar per minggu sama perawatan," katanya beralasan. Pada tulisan sebelumnya, sudah digambarkan bagaimana mesin-mesin motor sampan berbagai ukuran masih saja diselundupkan dari Malaysia untuk kemudian dibeli orang-orang Indonesia. Kebutuhan transportasi tunggal yang membuat masyarakat setempat tak punya banyak pilihan mengakibatkan perdagangan mesin motor pun "laris-manis", terlepas dari aspek legalitasnya. Tentu saja ada yang dibeli dari pasar-pasar legal, namun sebagian lagi berupa barang "hitam". Warga setempat sepertinya tahu, tapi mereka membutuhkan mesin-mesin itu. "Salut saya kepada mereka. Sulit dipercaya masih ada orang-orang yang memilih tinggal di tempat terpencil seperti ini," bisik Daniel, salah satu anggota rombongan pada suatu kesempatan senja hari itu setiba kami di dusun. "Kalau saja perusahaan-perusahaan kita yang mengambil kayu-kayu di hutan sini mau sedikit membantu, tidak susah membangun jalan 38 km menuju dusun ini. Kami sudah lelah mengirim proposal ke pemerintah. Toh, sebetulnya kami masih bisa hidup kaya dan tenang di sini," kata Pak Santo. Akhirnya, hingga saat inipun mereka (warga ratusan dusun) masih selalu bersemangat setiap kali ada tamu "orang luar" yang mengunjungi mereka, berharap ada kabar baik. Itulah yang nampak di mata ketika kami disambut dengan keramahan luar biasa senja hari itu. Mereka masih menunggu. Catatan perjalanan, Entikong, Kalbar 21-22 Mei 2011. Afandi Sido/Aziz Abdul Ngashim [caption id="attachment_110829" align="aligncenter" width="640" caption="Bersama warga sesaat setelah tiba di Suruh Kaduk. (Hak cipta foto: Daniel Yudi Harnanto)"][/caption] [caption id="attachment_110831" align="aligncenter" width="640" caption="Perangkat instalasi komunikasi bantuan sebuah instansi. Saat kami tanya kok tidak ada pesawat teleponnya, seorang warga menyeletuk, "Tersambar petir, bang." (Hak cipta foto: Daniel Yudi Harnanto)"][/caption] [caption id="attachment_110833" align="aligncenter" width="640" caption="Bersama Pak Santo dan Pak Usman di gereja dusun. Setiap ibadat minggu warga mengumpulkan dana untuk pembangunan gereja yang belum rampung. "Kalau jemaat lagi ramai, uang yang terkumpul setiap minggu bisa sampai 25 ribu, 30 ribu," kata Pak Usman dalam obrolan ringan pagi itu. (Hak cipta foto: Daniel Yudi Harnanto)"][/caption] [caption id="attachment_110835" align="aligncenter" width="640" caption="Pak Santo (berbaju oranye) berjalan di depan rumahnya saat kami bersiap-siap melanjutkan perjalanan sampan menuju hulu sungai, tanggal 22 Mei 2011. (Hak cipta foto: Daniel Yudi Harnanto)"][/caption] [caption id="attachment_110836" align="aligncenter" width="640" caption="Ibu Martini memilih menghabiskan waktu dengan tidur di atas sampan, 21 Mei saat masih di atas aliran Sungai Sekayam. (Hak cipta foto: Daniel Yudi Harnanto)"][/caption]

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun