Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Baliho

15 April 2015   12:40 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:04 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

*

PERTENGKARAN adalah bumbu perasa hubungan. Meski begitu tetap saja Suratmi menganggap itu sebagai kelemahan berpikir dan kemalangan pengertian. Terlebih, ia tidak bisa menilai seringkas itu ketika yang terlibat adalah dua remaja tanggung yang ditebaknya bahkan belum SMA. Perempuan paruh baya itu sedang duduk menunggu busnya di bangku terminal sambil coba menikmati buletin perempuan yang baru saja dibelinya. Akan tetapi suara pertengkaran pasangan remaja itu begitu menarik perhatian sampai-sampai ia menurunkan bacaannya dan melihat reaksi orang-orang. Mungkin pemandangan ini sudah biasa, karena ternyata tidak seorangpun berusaha melerai pertikaian kekanak-kanakan ini. Saat suara-suara bentakan itu akhirnya berakhir, Suratmi tersenyum getir, persis sebelum remaja perempuan mendekat sembari mengusap air mata, tampaknya berusaha menahan sakit di tangannya setelah menampar lawannya pergi. Suratmi menggeser badan, memberi ruang bagi perempuan muda yang malang itu, untuk duduk persis di sampingnya. Mereka menghadap ke barisan bus jurusan Surabaya-Malang yang latarnya dipenuhi reklame-pengumuman beraneka rupa.

“Sakit di tangan belum apa-apa dibanding sakit di sini.” Suratmi menunjuk dadanya, berusaha menghibur remaja malang di sampingnya. Akan tetapi tampaknya itu tidak berhasil karena remaja itu malah menggeleng membalasnya, “Ibu tidak tahu bagaimana sakitnya,” membuang muka menatap kosong ke barisan bus.

Suratmi tersenyum lagi. “Betul sih. Anda Ibu tahu, mungkin akan lebih mengerti.” Ikut melempar pandangannya menerawang jauh, mengabaikan keramaian yang lalu-lalang di depan mereka. “Banyak orang berpikir perempuan adalah makluk lemah, hanya mendengarkan dan membenarkan. Tidak cuma laki-laki, bahkan di antara kaum kita sendiri banyak menganggap diri mereka layak diperlakukan kasar, dibodohi, diremehkan dalam banyak hal dan dibuai dengan janji-janji, menerima perlakuan segala-rupa sebagai kodrat, sebagai nasib, atau kenyataan. Tidak perlu banyak bicara, cukup mendengarkan, karena laki-laki selalu benar.” Suratmi menghela napas, dan sudut matanya menangkap kalau remaja itu mulai menyimak kata-katanya, saat air matanya perlahan kering. “Tapi yang Ibu lihat dari matamu, kamu bukan cewek lemah seperti itu. Lihat tadi, kamu tampar dia. Itu butuh keberanian lo. Dia pergi bukan karena ditampar itu sakit, tapi karena malu, dan memang salah, mungkin. Dan dari situ Ibu bisa lihat kalau cowok itu mungkin memang kurang baik untuk kamu.” Suratmi dengan perlahan coba mendekat, menunjukkan simpatinya. Ia tahu bagaimana pikiran perempuan saling bertaut, dan karena itu ia menyodorkan bantuan. “Lihat tanganmu. Oh ternyata tidak apa-apa, lihat, cuma sedikit memar.”

Saat mengolesi tangan remaja itu dengan minyak yang dibawanya, Suratmi terkejut karena remaja itu jatuh menangis ke pelukannya. “Dia jahat. Dia jahat,” kata remaja itu lantas sesengukan. “Dia menganggapku selama ini cuma teman, tidak seperti dugaanku padahal aku sudah yakin kami akan melangkah jauh. Dia mengaku jalan dengan Sita, perempuan cantik yang rambutnya panjang. Tidak sepertiku, aku jauh di bawah dia memang. Dia cantik, kulitnya bersih, dandanannya mahal. Roni suka semua tentang dia. Aku biasa saja, katanya. Aku tidak cantik. Tidak cantik.” Tangisannya semakin menjadi dan pelukannya pada tubuh Suratmi makin lekat.

Tidak tahu harus membalas apa, Suratmi membiarkan remaja itu menangis sejenak, membelai punggung dan menyemangatinya agar tegar. Pelukannya ia biarkan namun santai dan tidak mendesak. Ia sodorkan sebungkus tisu dan remaja itu melumeri pakaiannya dengan air mata dan ingus di mana-mana. Suratmi membiarkan, karaena jauh dalam hatinya ia lupa kapan terakhir kali berpelukan seperti ini. Anaknya telah lama pergi dan ia tidak yakin naluri keibuannya akan kembali seperti dulu. Sepuluh menit lamanya remaja itu mengulang-ulang rasa sakit di dadanya, mengungkapkan segala hal: bahwa seminggu terakhir cowok itu baik-baik saja, membelikannya sapu tangan dan mengantarnya menjelajahi taman bunga. Tetapi kemudian berubah dengan mengakui bahwa ia cinta pada seseorang yang bukan dia, dan lebih baik kalau mereka saling menerima dalam pertemanan saja.

“Oh…. Oh, sudah, sudah. Tidak apa-apa. Lihat, coba lihat itu.” Suratmi berusaha mengalihkan kesedihan remaja di pelukannya, menunjuk ke arah terbuka di mana papan reklame berjajar di pinggiran terminal, tampak jelas dari tempat mereka duduk. Tiga baliho bergambar produk mobil-motor, asuransi, sementara sisanya produk kecantikan. “Coba lihat baliho yang itu,” Suratmi menunjuk ke arah baliho yang berdiri paling besar di pojok terminal.

Cahaya matahari jatuh persis ke hadapan papannya menambah kilau pada gambar perempuan muda yang membuai rambut di kepala menjulur sampai pundaknya, hitam tebal dan mengkilap. Senyuman perempuan muda itu begitu lebar sampai gigi-giginya berkilauan dan matanya membesar. Bajunya sederhana namun cantik, kasual, kontras dengan kilau putih yang melatari gambarnya. Suratmi pikir tidak seorangpun di terminal ini mengenali wajah di baliho itu, tapi semua orang akan dengan mudah menganggapnya artis. Di bagian bawah tergambar logo sebuah merek sampo dengan slogan bertulis cantik nan tegas: Kamu lebih cantik dari yang kamu kira.

“Cantik.” Remaja perempuan menggetir, mengangguk pilu seakan ia bermimpi dirinyalah yang ada di sana.

“Ibu pikir juga dia cantik. Itulah kenapa wajahnya dijadikan foto untuk iklan sampo.” Suratmi menatap jauh, jauh seakan membawa lamunannya pergi bersama angin. “Tapi Ibu sama sekali tidak berpikir bahwa kita, perempuan, harus jadi seperti itu untuk dibilang cantik, untuk dianggap cantik. Tidak---tidak. Ada lebih banyak kecantikan dibanding sekadar itu yang di baliho. Rambut hitam, senyum lebar….”

“Tapi, tapi memang seperti itu yang cantik, Bu.” Remaja di sampingnya menyela, menunjuk-nunjuk dengan semangat seakan ia paling merasakan segala fakta di dunia. “Coba, dengan muka secantik itu, banyak teman-temanku yang beruntung dipekerjakan oleh orang-orang kaya. Ada yang jadi sales, ada yang pegawai asuransi, bahkan ada yang ikut audisi piguran main di sinetron. Syaratnya cuma satu, untuk ikut semua itu. Kamu harus tinggi, cantik, sedikit bisa bahasa cinca leura kalau perlu, dan cus, jadilah teman-temanku itu orang terkenal. Lebih beruntung lagi yang bapak-ibu atau saudaranya kenal seseorang dan membantunya masuk ke sana. Banyak duit, masuk tipi. Punya banyak teman, sewa rumah, sering ke salon, dapat cowok lebih kaya, tambah kaya. Coba, apa yang lebih baik dari terkenal dan punya banyak duit?”

Tanggapan yang mudah ditebak, pikir Suratmi mendengar itu. Ia jadi percaya bahwa cara berpikir anak muda kebanyakan begitu dipengaruhi oleh apa yang sering mereka lihat dan dengar, sehingga jarang mencari sendiri jawaban dari keadilan sosial semacam itu. Ia tak menyanggah, tetapi memberi jeda sejenak sehingga perempuan remaja itu agak kikuk menunggu tanggapan. Kemudian Suratmi memegang pundak remaja perempuan itu, sebentar, lalu bercerita.

“Suami saya,” ujar Suratmi dengan nada agak berat, seakan-akan ini pembahasan yang berusaha ia hindari selama ini. “Saya pilih dari yang terbaik--tentu semua perempuan senang dengan orang terbaik di dekat mereka, bukan? Orangnya lucu, suka melucu, dia bukanlah paling tampan di sekolahnya, tetapi dia paling pintar. Kami sering belajar bersama, waktu itu di Surabaya, belum banyak orang ingin sekolah sampai SMA. Ibu saya, memaksa saya bekerja di pabrik baju, di Purbalingga, tetapi saya menolak, bilang kalau saya ingin bekerja di tempat yang gajinya lebih besar, temannya lebih banyak. Waktu itu cowok yang akhirnya jadi suami saya itu--yang masih remaja, mendorong agar saya tetap sekolah di SMA, lanjut sampai selesai. Pesonanya begitu--dia yang menemani saya belajar, ke perpustakaan, ke pasar ketemu orang-orang--saya bikin tujuh perempuan iri dan cemburu waktu itu. Ibu saya, lama-lama pasrah dan akhirnya melepaskan saya pada tangan laki-laki itu. Sampai kami akhirnya menikah, semuanya terasa manis. Bimbingannya begitu menuntun, dan saya merasa jadi perempuan yang bukan cuma tambah pintar, tetapi juga tambah mandiri, tambah percaya pada diri sendiri.

“Dia selalu bilang kalau saya adalah perempuan paling cantik di dunia, kemana saja ia melihat. Dia bilang kalau saya berbaris dengan malaikat, akan sulit menemukan perbedaan di antara kami. Heuh--orang itu suka menggombal.” Suratmi mengambil napas panjang, sebelum menyadari matanya menghangat dan pandangannya mengabur. “Pernikahan kami baik-baik saja, dikaruniai dua anak yang semua kini sudah mandiri, dan kami bertahan puluhan tahun di tempat yang sama, tidak pernah pindah, rumah kecil yang kenangannya banyak dan cerita-cerita dukanya juga tidak sedikit.

“Sewaktu anak kedua kami mau nikah, ada berita tidak menyenangkan yang sampai ke telinga tentang suami saya. Tentu saja saya tidak percaya awalnya, karena suami saya begitu manis dan tidak menyembunyikan sesuatu. Butuh tiga bulan saya menyadari itu semua, bahkan tidak sebelum anak saya sendiri yang menyaksikan bahwa gosip itu memang benar. Suami saya akhirnya bercerita, dan mengakui. Di depan saya, dia begitu berat, begitu kerdil, mengakui kalau….”

Suratmi tak melanjutkan ceritanya, sejenak, tetapi remaja perempuan itu malah menebak-nebak, dengan rasa penasaran yang bertumpuk, nampaknya. “Dia pergi?” Lalu Suratmi tersenyum pilu, saat matanya sembab sudah. Ia menerima sapu tangan dari remaja itu, yang lalu ia pakai mengeringkan matanya.

“Dia mengakui hatinya telah berubah, dan berlutut meminta maaf karena tidak bisa melakukan apapun untuk menghentikan dirinya pergi ke pelabuhan lain. Ke orang lain. Saya tak membalas apapun, dan tak berbicara padanya sampai akhirnya dia benar-benar menghilang. Bahkan sampai orang itu sendiri mendatangi saya dan bercerita bagaimana ia dan suami saya… tidak punya pilihan, saya tidak membalas apa-apa kecuali bahwa mungkin semua kesalahan ada di diri saya. Tapi saya tahu bahwa saya tidak kalah, tentu saja. Perempuan itu, di mata orang, bahkan tidak lebih cantik dari saya, tidak lebih pintar mungkin, dan jelas kehidupannya lebih menderita. Saat itu juga saya menyadari kalau kecantikan bukan satu-satunya hal yang membuat laki-laki bertahan. Entah apa waktu itu, saya tidak berniat mengetahuinya sedikitpun.

“Bahkan tiga tahun setelah berpisah, saya menganggap bahwa suami saya pergi bukan karena dia terpikat pada kecantikan perempuan itu, tetapi sesuatu yang lain. Sesuatu yang ia cari, dan saya tidak punyai. Itu saja, saya tidak menjelaskannya ke diri sendiri apa dan bagaimana sesuatu itu. Misteri Tuhan.”

Suratmi bercerita sendiri sampai-sampai tidak menyadari seberapa jauh dan seberapa dalam remaja di sampingnya menyerap kalimat-kalimatnya. Maka ia meminta maaf kemudian mengusap-usap punggung anak gadis itu, sembari mengembalikan sapu tangan. “Pemberian seperti ini selalu manis. Maafkan dia, walaupun dia tidak pernah datang meminta maaf. Laki-laki selalu merasa pintar, tapi tugas perempuan yang mempelajari itu semua, segala pikiran dan tindakan mereka. Biar kita menang karena pengamatan, bukan melulu perasaan.”

Remaja itu mengangguk, wajahnya lebih teduh kini. “Terima kasih, Bu. Saya jadi tenang. Maafkan soal….”

“Oh, tidak mengapa. Saya memang senang bisa bercerita, kamu yang pertama mendengarnya setelah bertahun-tahun. Terima kasih. Wah, itu bus saya datang. Kamu jaga diri baik-baik. Kalau ada jodoh, siapa tahu kita ketemu lagi.” Suratmi mengerlingkan matanya sambil menggotong tasnya berdiri.

“Lebih cantik bukanlah tanda seorang perempuan paling baik. Saya jadi mengerti.” Remaja perempuan bergumam-gumam pada dirinya sendiri, mengamati baliho jauh di depannya dengan perasaan berbeda dari sebelumnya. Lalu begitu saja, ia berteriak, saat Suratmi pergi sekira sepuluh langkah jauhnya. “Ibu! Bagaimana kalau lebih muda? Mungkinkah itu mengalahkan perempuan? Saingan yang lebih cantik karena lebih muda? Itukah yang selalu dicari laki-laki?”

Remaja itu berdiri, menunggu jawaban yang diinginkannya, tetapi dari tengah keramaian ia bisa melihat perempuan paruh baya tadi tersenyum, kemudian menggeleng. “Empat tahun lebih tua, itu yang didapatkan suami saya.”

Suratmi menghilang ditelan kerumunan orang, berdesakan pada tujuannya sendiri-sendiri. Terminal semakin sibuk dan orang-orang semakin kecil. Bahkan perempuan muda “cantik” yang tersenyum lebar di papan baliho dengan malu menyadari betapa kerdilnya semua ini.

--------------------------

Sumber ilustrasi: pinterest.com/

*

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun