Pada April lalu wapres Jusuf Kalla kembali mengingatkan pentingnya hubungan “batik dan penghematan energi”, berdampingan dengan apresiasi penggantian bohlam-bohlam lama kompleks Istana Negara ke lampu-lampu LED.
Walau gagasan ini sebetulnya cukup lama (hadir sejak Kalla masih mendampingi SBY di periode 2004-2009), logikanya tetap berlaku hingga sekarang: batik lebih tipis daripada jas tutup sehingga “diharapkan” suhu pendingin udara tidak perlu dipasang sangat rendah dan memboros terlalu banyak energi listrik. Meski mungkin gagasan itu politis, tapi kampanye nasionalnya tetap mengandung logika.
Di luar komentar pengingat Kalla itu, presiden sendiri belum bersuara khusus tentang program-program penghematan energi nasional. Padahal, pekan-pekan ini sebenarnya misi itu secara tidak sadar sedang berlangsung di jalan-jalan Pantura dan kota-kota besar kita.
Pekan Hari Raya Idul Fitri seperti sekarang ini memberi kesempatan kepada banyak kota besar kita (terutama dengan jumlah populasi dan kepadatan tinggi) untuk merasakan penurunan tingkat konsumsi energi listrik secara drastis.
Tradisi Mudik memberi keleluasaan kepada banyak kota untuk sedikit bernapas lega, tidak cuma mengalami penurunan tingkat polusi kendaraan secara signifikan, tetapi juga menurunnya konsumsi listrik agregat residennya, baik itu pada sektor pemukiman, niaga, maupun birokrasi. Libur Hari Raya menghalau sementara orang-orang yang di hari-hari biasa menjadi subjek penting tingginya konsumsi energi listrik perkotaan.
Selasa (14/7) kemarin, Perusahaan Listrik Negara (PLN) lewat General Manager Distribusi Jakarta-Tangerang sebagaimana dilaporkan Detik mengumumkan prediksi menyenangkan, bahwa selama lima hari libur puncak Idul Fitri tahun ini, kota Jakarta akan menghemat energi listrik sebesar 387 juta KWh (kilowat per jam).
Untuk diketahui, pola konsumsi listrik kota Jakarta tergolong unik, karena beban jam siang lebih tinggi daripada beban jam-jam malamnya.
Jika pada hari biasa Jakarta dapat “menyedot” listrik nasional sebesar 6980 MW di siang hari dan 6.512 MW di malam hari, maka selama libur Hari Raya beban listrik Jakarta dapat turun hingga 2.448,47 MW pada beban terendah siang hari, dan 3.108,64 MW pada beban puncak malam hari.
Jika harga rata-rata listrik per KWh adalah sebesar Rp 1.230,-, maka selama libur lebaran Jakarta menghemat konsumsi listrik sebesar Rp 476 miliar!
Kota-kota besar lainnya seperti Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Medan, dan Makassar tentu berada di angka-angka di bawah Jakarta, tetapi persentase penghematan listriknya mengalami tren penurunan yang sama, dengan asumsi kota-kota tersebut menjadi tujuan kaum urban yang mulih dhilik selama pekan Idul Fitri.
Gejala ini disadari tidak cuma dari angka-angka PLN. Secara sadar jika diamati, mudah dirasakan tanda-tanda minimnya konsumsi energi listrik kota kita selama pekan-pekan Hari Raya.
Lampu-lampu jalan dipadamkan sebagian atau lebih awal pada malam hari; lampu-lampu penerangan baliho-baliho dan papan reklame beroperasi lebih singkat, atau bahkan dipadamkan sama sekali pada malam hari (jenis medium iklan ini bisa menyedot listrik sebanyak 192 ribu KWh dalam operasi 6 jam setiap hari, cukup untuk menerangi 30 rumah sederhana di desa).
Di luar konsumsi infrastruktur atau fasilitas jalan, kampung-kampung menyumbang atmosfer penghematan yang begitu terasa. Mudik menurunkan agregasi konsumsi listrik banyak keluarga.
Jika sebuah keluarga besar memiliki empat anak yang tiap-tiapnya merantau dan tinggal di rumah sendiri-sendiri, maka Hari Raya memangkas konsumsi listrik dari awalnya lima rumah (1 rumah keluarga besar + 4 rumah anak-cucu), menjadi tinggal satu rumah. Keempat rumah yang ditinggal mudik dapat menurunkan konsumsi listriknya hingga mendekati nol, dengan asumsi tidak ada pembantu atau satpam yang ditugasi menjaga.
Akar tradisi masyarakat kita, baik bersumber dari budaya ataupun ritus agama, telah lama menjadi kekayaan dan modal penghematan energi yang besar.
Jika masyarakat Islam Indonesia punya tradisi mudik, masyarakat Hindu di Bali punya Hari Raya Nyepi, yang setiap tahun menyumbang penghematan sebesar 31%, menjadi 165,9 MW yang biasanya 471,5 MW. PLN kerap bernapas lega setiap nyepi, karena bebang pembangkit Jawa-Bali yang relatif tinggi terbantu dengan penghematan kolektif di pemukiman, jalan-jalan, hingga Bandara Ngurah Rai yang ditutup selama perayaan Nyepi.
Penghematan di Hari Raya jauh lebih signifikan besarannya ketimbang beberapa ajang penghematan energi seremonial, bahkan yang diinisiasi oleh Istana Negara atau kompleks Kementerian.
Hari Raya memberi atmosfer, sifatnya kolektif, dan merata hampir di seluruh penjuru Indonesia. Jika manajemen dan proyeksi penghematan ini dimanfaatkan sebagai bagian dari perencanaan tata kelola energi, dampaknya bisa sangat membantu dalam hitung-hitungan alokasi listrik per tahun, begitupun dengan program-program kampanye penghematan listrik yang tengah dibangun.
Jika momen Hari Raya dapat dimanfaatkan secara sadar dalam Peta Penghematan Energi Nasional, dampaknya akan jauh lebih terasa ketimbang sekadar kampanye global “mematikan lampu selama satu jam” yang gandrung dikampanyekan setiap tahun itu.
Energi di Jalan
Meski begitu kemenangan PLN selama penghematan listrik dalam pekan Hari Raya tidak dibarengi dengan suasana hati orang-orang Pertamina sebagai penyedia sumber energi bahan bakar minyak.
Energi memang banyak dihemat di kota-kota yang ditinggalkan mudik, tetapi dalam perjalanannya listrik tertutupi oleh konsumsi bahan bakar minyak yang justru meningkat tajam. Energi dihemat di kota, tetapi energi di jalan menyedot parah.
Bahkan di pulau Jawa, peningkatan konsumsi dapat mencapai 80-100 persen, mencapai 106,3 ribu kiloliter per hari. Berbeda dengan PLN yang meraup untung, Pertamina harus merogoh kocek lebih untuk memastikan pasokan BBM premium dan solar mencukupi kebutuhan mudik. Pasokan ditambah ke jalur-jalur terpadat, dan jam operasi stasiun-stasiun pengisian disesuaikan agar tidak terjadi kelangkaan.
Tradisi mudik Hari Raya tetap jadi pekerjaan rumah program penghematan energi kita. Berbagai inisiatif telah ditempuh agar konsumsi tetap terjaga (kampanye mudik bareng menggunakan bus, misalnya), meminimalisasi penggunaan sepeda motor yang sekaligus menekan angka kecelakaan.
Akan tetapi peta energi nasional tetap pada level mengkhawatirkan, bahkan ketika kita menghadapi peluang penghematan yang sama setiap tahun pada Idul Fitri dan sedikit bantuan pada Hari Raya Nyepi. Peta Energi Nasional sangat bertumpu pada gerakan dan pola hidup penduduk.
Sayangnya, peluang ini telat bersambut, karena setelah berpuluh-puluh tahun defisit, Kementerian ESDM baru tahun ini merencanakan pembentukan Dirjen Penghematan Energi, yang juga belum jelas aral dan rupanya.
Jika presiden Joko Widodo benar-benar serius menggalakkan program kebijakan energi lebih hemat dan tepat guna di masa pemerintahannya, kita akan melihat bagaimana peluang penghematan listrik di Hari Raya dapat mengimbangi kebutuhan energi mudik yang begitu besar akan bahan bakar kendaraan.
Listrik dan bahan bakar, dua material yang bersimbiosis memenuhi kebutuhan ritus dan gaya hidup kita, dua zat yang sama-sama berada pada titik nadir.
*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H