Mohon tunggu...
Afrizah Alinda
Afrizah Alinda Mohon Tunggu... Administrasi - Treasury Department

hayya 'alal falah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Baduy dan Budaya

2 April 2016   13:59 Diperbarui: 2 April 2016   22:52 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13 Desember 2014 perjalanan itu dimulai. Menggunakan commuterline dari Bogor menuju meeting point, stasiun Duri. Sekitar jam 9 pagi akhirnya berangkat menuju stasiun Rangkas dengan kereta lokal, waktu tempuh sekitar 2 jam. Sesampainya di stasiun Rangkas, kami masih harus melanjutkan perjalanan dengan mobil sewaan menuju Ciboleger. Apa itu Ciboleger? Semacam peradaban terakhir, sebelum memulai wisata budaya. Karena setelah dari Ciboleger, kami tidak menemukan yang disebut dengan supermarket. 

Di Ciboleger kami disambut oleh beberapa orang dari Suku Baduy itu sendiri. Ciboleger merupakan gerbang untuk memasuki perkampungan Baduy. Persiapan pun dilakukan, seperti mengganti sepatu/sandal, merapikan isi tas, dan berdoa. Di Ciboleger, ada beberapa anak kecil menawarkan untuk membeli yang mereka sebut tongkat, yaitu potongan kayu yang dapat digunakan untuk menyanggah. Dari Ciboleger semua dimulai. 

Memasuki gerbang Baduy, yang cukup licin karena curah hujan yang cukup tinggi. Jalan mendatar? Itu hanya tipuan semata. Karena jalan mendatar hanyalah beberapa menit dari ratusan menit yang harus ditempuh menggunakan kaki. Waktu tempuh bergantung pada kekuatan fisik masing-masing. Jangan pernah memaksakan bila memang tidak bisa. Dan jangan pernah bertanya, "berapa lama lagi?" bila tidak ingin sakit hati. Karena para pemandu dari Suku Baduy hanya akan menjawab, "sebentar lagi kok". 

Dalam perjalanan, kami menemukan beberapa orang yang menjual minuman. Cukup membantu, ketika rasa lelah mendera, dan cadangan minuman sudah habis. Seorang teman dari rombongan kami berkata, "mending gue naik gunung deh. Daripada kayak gini, udah sampai puncak, turun lagi, tapi engga nyampe-nyampe" Dan jangan mencoba bertanya kepada para pemandu, "emang dimana sih baduy dalamnya itu?" Mereka hanya akan menjawab, "dibalik bukit". Entah keberuntungan atau sebaliknya, ketika pemandu lainnya menambahkan, "tapi kalian harus lewat ENAM bukit". Pemandangan selain pepohonan hanya akan ditemukan ketika memasuki pemukiman.

[caption caption="salah satu aktivitas warga Baduy adalah menenun. Hanya ada 2 (dua) warna yang mereka jadikan pakaian, yakni HItam, dan Putih"][/caption]Nanti kalo udah di Baduy dalam, engga boleh foto-foto ya" kata seorang pemandu. Apa yang membedakannya? Bagaimana kalau kami tidak tahu itu Baduy dalam atau luar? Baduy Luar sudah lebih mengenal modernisasi. Mereka dapat mengenakan alas kaki. Sudah ada listrik. Sedangkan Baduy Dalam, mereka patuh pada adat leluhur mereka. Mereka hanya mengenakan pakaian berwarna Hitam atau Putih. Tidak ada alas kaki. Tidak ada listrik didalam pemukiman mereka. Dan mereka tidak mengenyam pendidikan formal. Tradisi pernikahan mereka pun masih perjodohan. Sehingga wajar bila wajah mereka serupa, namun tidak sama.

[caption caption="Jembatan ini menghubungkan wilayah Baduy dalam dengan Baduy Luar. Sekaligus menjadi pembatas bagi keduanya."]

[/caption]Setelah melewati jembatan tersebut, kami mulai memasuki wilayah Baduy Dalam. Perjalanan dilanjutkan dengan medan yang datar. Menuju pemukiman warga, untuk beristirahat setelah 5 (lima) jam perjalanan kaki.

Sesampainya di pemukiman, kami menemukan rumah-rumah dengan bentuk yang sama dengan dinding dari anyaman bambu, penerangan seadanya, dan tidak ada pembeda (nomor rumah) sehingga mengharuskan kami mengingat dengan baik. Segala aktivitas yang biasanya dapat dilakukan dikamar mandi, tidak dengan Baduy. Kami harus ke sungai, untuk membersihkan diri, mengambil air wudhu, dan sebagainya. Jalan menuju sungai pun tidak semudah yang dibayangkan. Karena di Baduy Dalam belum ada listrik, sehingga untuk ke sungai pun kami harus membawa penerangan masing-masing (headlamp ataupun senter). 

Disamping sungai, terdapat beberapa sumber mata airyang disekat/dibatasi oleh bebatuan. Tetapi tidak ada penutup seperti pintu. Sehingga harus bergantian mengawasinya. “Ya namanya juga sungai, pasti licin” semacam pembelaan dari teman-teman ketika melihat temannya terpeleset. Selesai dari sungai, lagi-lagi kembali ke rumah pun kami harus mengandalkan ingatan kami. Jalan yang dilalui, dan nama pemilik rumah.

Paginya, kami disuguhkan air gula. Gula aren hasil buatan mereka sendiri, diseduh dengan air panas. Selesai sarapan dan berkemas, kami pun harus kembali melanjutkan perjalanan. Rute yang dilalui tidak sama dengan rute ketika kami berangkat. Cukup lebih ekstrim disbanding sebelumnya, karena disamping kami adalah jurang.

Tanah yang licin akibat hujan pagi tadi, membuat kami bergantian berjatuhan, terpeleset, ”sosorodotan” kalau kata mereka. Sudah terlanjur kotor, maka ketika jalan menurun, kami pun lebih memilih meluncur sosorodotan. Kami pun menyinggahi jembatan akar yang sangat terkenal di Baduy.

[caption caption="Jembatan akar khas Baduy"]

[/caption]Jembatan akar ini letaknya agak dibawah. Sehingga untuk ke jembatan akar, harus turun dulu dari rute kami. Setelah selesai berfoto, dan mengaguminya, kami harus naik kembali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun