Afriska Sri Puji L 231510601042., Farrel Satyatma W Y 231510601067, Rani Aufa Afsanti 231510601107,
Moch. Syafril Wahyu S 231510601109.
Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Jember
Sektor pertanian menjadi salah satu sektor yang mengendalikan lapangan pekerjaan masyarakat Indonesia. Berdasarkan data dari Badan Statistik Nasional tahun 2023, jumlah rumah tangga pertanian di Indonesia sebanyak 28,42 juta yang berarti naik 8,74 persen dari tahun 2013 yang hanya sebanyak 26,13 juta dalam kurun waktu 10 tahun (BPS, 2023). Kenaikan ini tidak terlepas dari adanya peningkatan Nilai Tukar Petani (NTP), yang mulanya di tahun 2013 sebanyak 102,97 naik menjadi 117,76 hingga Desember 2023 yang berarti sektor pertanian membuka peluang cukup besar.
Salah satunya subsektor tanaman pangan yang masih menempati posisi tertinggi sebagai jenis usaha pertanian skala Usaha Pertanian Perorangan (UTP) yang memiliki peminat sebanyak 15.77 juta unit. Jumlah tersebut terbagi lagi yaitu 9.41 juta unit bergerak diusaha pertanian perorangan yang mengusahakan padi sawah inbrida atau sekitar 59.67 persen dari seluruh usaha pertanian perorangan yang bergerak di subsektor tanaman pangan (BPS, 2023). Tanaman pangan yang menggenggam peranan penting sebagai bahan makanan pokok dan sumber pendapatan mayoritas penduduk di Indonesia adalah beras yang berasal dari padi. Ketidakberhasilan dalam pemenuhan bahan pokok dapat mengancam ketahanan Indonesia (Maesaroh, 2000 dalam Yurdianti & Ukrita, 2019). Meningkatnya produksi beras usai swasembada menunjukkan adanya gejala pelandaian, demikian juga halnya dengan produktivitas faktor produksi (Adnyana et al.,1997 dalam Utama & Nursan 2023). Maka, untuk pemenuhan kebutuhan pangan beras di Indonesia, harus diimbangi melalui peningkatan produk beras secara nasional yaitu dengan laju produksi dan produktivitas yang salah satu upayanya dengan fokus pada pengembangan benih unggul (Syamsiah, 2015 dalam Utama & Nursan, 2023).
Salah satu cara peningkatan produktivitas padi adalah melalui penggunaan benih unggul dan bersertifikat yang nantinya dapat mewujudkan ketahanan pangan nasional. Benih sebagai pembawa sifat/karakteristik dari pertanaman produksi adalah salah satu unsur produksi yang berperan penting karena mempunyai kemampuan yang dalam peningkatan mutu dan jumlah produksi pertanian. Benih yang terkontrol mutunya dapat meningkatkan produksi dan meminimalisir resiko kegagalan dari budidaya tanaman. Menurut Dewi (2008) dalam Yurdianti & Ukrita (2019), benih tersebut harus melalui proses sertifikasi guna menjaga kemurnian dan mutu benih.
Saat ini pemerintah Indonesia hanya dapat menyediakan 62% benih bermutu dari total kebutuhan benih padi di Indonesia (PT. Sang Hyang Seri, 2016 dalam Utama dan Nursan, 2023). Penggunaan benih unggul dan bermutu dapat memaksimalkan daya hasil hingga 15% dibandingkan penggunaan benih tidak bermutu. Keunggulan lainnya yaitu pemakaian jumlah benih per satuan luas areal tanaman lebih hemat yakni dari 30-40 kg per hektar menjadi 20-25 kg per hektar dengan pertumbuhan dua tanaman dan tingkat kematangan yang merata serta seragam sehingga panen dapat serentak. Mutu benih meliputi mutu genetik, fisik maupun fisiologi dengan jaminan yaitu sertifikasi. Sertifikat pada benih bermutu mencantumkan jaminan mutu benih di dalamnya sesuai aturan minimal/maksimal setiap kelas benihnya (Departemen Pertanian, 1998). Berangkat dari adanya keuntungan tersebut maka benih unggul padi bersertifikat diharapkan dapat digunakan oleh petani secara keseluruhan. Upaya yang dapat dilakukan pemerintah guna meningkatkan produktivitas benih padi bersertifikat dengan kualitas baik yaitu adalah melakukan jalinan kemitraan antara petani dengan perusahaan.
Kemitraan adalah sebuah strategi bisnis yang dijalankan oleh dua pihak atau lebih dalam jangka waktu tertentu guna meraih keuntungan bersama dengan prinsip saling membutuhkan dan saling membesarkan (Siti Nadliroh, 2017 dalam Utama dan Nursan, 2023). Kemitraan (contract farming) adalah sebuah institusi ekonomi baru yang muncul untuk mengatasi masalah kegagalan pasar akibat informasi yang tidak simetris dan faktor-faktor lain yang mempengaruhi biaya transaksi. Jika dilihat dari letaknya di dalam sistem ekonomi Kirsten dan Sartorius (2002) dalam Utama & Nursan (2023) menyebutkan bahwa contract farming ini adalah sebuah bentuk organisasi industri pada pertanian yang terletak antara transaksi pasar bebas yang dikoordinasikan oleh suatu perusahaan yang mengontrol keseluruhan tahapan dari keterkaitan pasar. Motivasi pelaku contract farming terutama perusahaan dan petani pada dasarnya meminimalisir resiko atau memaksimalkan keuntungan. Bagi perusahaan, motivasinya bergabung dalam sistem kontrak adalah melepaskan diri dari kesibukan produksi primer yang selanjutnya diserahkan kepada petani melalui sistem kontrak, sehingga dapat mengakses beberapa keuntungan sekaligus. Komponen kemitraan itu sangat beragam tetapi merupakan representasi dari pelaku ekonomi seperti produsen, pedagang, eksportir, pengolah, pemerintah daerah/pusat, perguruan tinggi, lembaga riset lain, lembaga swadaya masyarakat dan sebagainya (Fadia, 2019). Pelaksanaan kemitraan antara petani penangkar benih padi dengan perusahaan mitra didasarkan dari kesepakatan yang berhubungan dengan ketentuan kemitraan yang dijalankan oleh kedua belah pihak yang mana akan berdampak pada petani penangkar dalam penggunaan input produksi. Artikel ini menjelaskan terkait kemitraan kontrak perusahaan benih dengan petani penangkar padi, terjadinya proses adverse selection dalam kontrak kemitraan benih padi, serta manfaat kemitraan kontrak yang dilakukan antara perusahaan benih dengan petani penangkar padi.
Â
Model kerjasama yang dilakukan oleh perusahaan mitra dengan para petani penangkar benih yaitu melalui pemberian pelayanan kepada petani mitra dengan mengacu pada  perjanjian kerjasama pertanian. Salah satu contoh pola kemitraan yang terjalin yaitu antara CV FBM dengan petani penangkar yang menunjukkan pola kemitraan sub-kontrak. Pola subkontrak merupakan pola kemitraan antara perusahaan mitra usaha dengan kelompok mitra usaha yang memproduksi komponen yang diperlukan perusahaan mitra sebagai bagian dari produksinya.
CV FBM menampung dan membeli semua gabah hasil panen petani penangkar, dalam hal ini CV FBM sebagai perusahaan mitra telah memberikan jaminan pasar dan harga kepada petani. Kemitraan akan dapat berlangsung lama ketika pihak yang melakukan kemitraan yang terlibat merasa diuntungkan dengan adanya kerjasama tersebut (Arifin & Hapsari, 2019). Pada pola kemitraan ini, perusahaan mitra harus selalu meningkatkan dan mengevaluasi pelayanan yang diberikan kepada petani mitra agar produksi  petani mitra mencapai hasil yang optimal sesuai dengan yang diharapkan (Muhamad, 2021). Berikut gambar ilustrasi dari pola bentuk kerjasama sub-kontrak.
Dalam perspektif teori "principal-agent", hubungan antara pihak-pihak dalam kontrak kemitraan dapat dianalisis berdasarkan peran masing-masing pihak sebagai principal (pemilik atau pemberi kontrak) dan agent (penerima kontrak). Teori ini umumnya digunakan untuk menggambarkan hubungan antara pihak yang memiliki kepentingan atau informasi lebih banyak (principal) dan pihak yang melakukan tindakan atau keputusan di lapangan (agent).
Pelaku Kontrak Beserta Perannya Dalam Perspektif Principal Agent
- Petani Penangkar Benih
Petani penangkar benih adalah pihak yang bertanggung jawab untuk menanam, merawat, dan menghasilkan benih padi sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh perusahaan mitra atau penyedia benih. Mereka berperan langsung dalam produksi benih padi, yang nantinya akan didistribusikan untuk ditanam oleh petani lain. Petani ini biasanya memiliki keterampilan dan pengetahuan dalam bidang pertanian, tetapi terkadang membutuhkan dukungan teknologi dan informasi dalam proses produksinya.
Sebagai penerima kontrak dan pelaksana produksi benih, petani penangkar benih berperan sebagai agent dalam hubungan ini. Petani memiliki informasi terbatas terkait teknologi atau pengetahuan pasar, tetapi mereka yang bertanggung jawab langsung atas implementasi teknis dalam usaha tani. Petani penangkar berfokus pada pengelolaan sumber daya pertanian di lapangan, seperti tanah, tenaga kerja, dan input produksi (misalnya benih, pupuk, dan pestisida).
Berikut hak petani penangkar benih yang berperan sebagai agent :
Menerima dukungan input dan teknologi: Petani memiliki hak untuk menerima input pertanian dan pelatihan dari perusahaan mitra, termasuk benih unggul, pupuk, dan teknologi terbaru dalam produksi benih padi.
Mendapatkan kompensasi atau pembayaran sesuai perjanjian: Petani berhak menerima pembayaran sesuai dengan kuota produksi atau hasil yang disepakati dalam kontrak.
Meminta bantuan dalam hal kesulitan teknis atau finansial: Petani berhak meminta bantuan atau nasihat teknis jika menghadapi masalah dalam proses produksi atau penanaman benih padi.
Berikut kewajiban petani penangkar benih yang berperan sebagai agent :
- Memenuhi standar kualitas dan kuota produksi: Petani wajib memproduksi benih padi sesuai dengan spesifikasi kualitas dan jumlah yang disyaratkan oleh perusahaan mitra.
- Menjaga keberlanjutan produksi: Petani harus menjalankan praktik pertanian yang baik dan memastikan produksi yang efisien serta ramah lingkungan.
- Mengelola dan memelihara produksi: Petani bertanggung jawab dalam pengelolaan harian usaha tani, termasuk pemupukan, pengendalian hama, dan pemeliharaan tanaman benih padi.
- Perusahaan Mitra :
Perusahaan mitra atau penyedia benih merupakan pihak yang memiliki peran sebagai penyedia benih unggul, teknologi, serta akses pasar. Mereka biasanya menawarkan kontrak kepada petani penangkar benih untuk memproduksi benih dalam jumlah tertentu, dengan kualitas yang sesuai dengan standar yang ditentukan. Perusahaan mitra juga seringkali memberikan pelatihan teknis, pengawasan, dan bantuan dalam hal input produksi, seperti pupuk, pestisida, dan alat pertanian.
Sebagai pihak yang memberikan kontrak kepada petani penangkar benih, perusahaan mitra berperan sebagai principal dalam hubungan kemitraan ini. Perusahaan ini adalah pihak yang memiliki kepentingan utama untuk memastikan produksi benih padi yang efisien dan berkualitas tinggi. Mereka bertindak sebagai pihak yang memiliki informasi pasar dan kendali atas standar kualitas benih padi yang dihasilkan.
Berikut hak perusahaan mitra yang berperan sebagai principal :
- Mengatur standar produksi: Perusahaan mitra menetapkan standar kualitas benih yang harus dipenuhi oleh petani penangkar benih.
- Menentukan harga dan jumlah produksi: Perusahaan mengatur harga jual dan kuota produksi benih yang harus dihasilkan oleh petani.
- Mengawasi dan mengevaluasi kinerja: Perusahaan memiliki hak untuk melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap kinerja petani penangkar benih, baik dari segi kualitas maupun kuantitas produksi.
Berikut kewajiban perusahaan mitra yang berperan sebagai principal :
- Memberikan dukungan teknis dan pelatihan: Perusahaan mitra bertanggung jawab untuk memberikan pelatihan, teknologi, dan informasi terkait praktik pertanian yang baik, sehingga petani dapat menghasilkan benih dengan kualitas yang sesuai standar.
- Menjamin pasar untuk hasil produksi: Perusahaan harus memberikan jaminan pembelian atas hasil produksi benih dari petani penangkar.
- Menangani masalah perjanjian: Jika ada masalah atau perselisihan mengenai kualitas atau kuantitas hasil produksi, perusahaan mitra wajib menangani hal tersebut sesuai dengan perjanjian kontrak yang ada.
Proses Adverse Selection pada Kemitraan Penangkar Benih
Adverse selection merupakan jenis asimetri sebuah informasi atau juga bisa disebut dengan ketidakseimbangan informasi antara satu pihak dengan pihak lain, berpotensi dimana terdapat salah satu pihak yang memiliki informasi lebih dibandingkan pihak -- lainnya (Suprapty, B., dkk. 2024). Adverse selection yang terjadi dikarenakan terdapat ketidaksempurnaan dalam pola kemitraan antara CV. Fiona Benih Mandiri (FBM) dengan petani padi yang melakukan kemitraan, terutama pengelolaan input benih padi, pupuk, dan pestisida. CV FBM memproduksi benih padi berlabel sertifikasi. Dalam memproduksi benih padi bersertifikat, CV FBM melakukan kemitraan dengan petani penangkar benih padi di daerah sekitar, karena kurang nya pengetahuan petani dalam pembenihan, hasil produksi padi menjadi tidak maksimal. Disebabkan CV FBM tidak memberikan tata cara pembenihan menggunakan produk benih yang dihasilkan oleh CV FBM sendiri dengan benar. Hal tersebut menyebabkan penangkar benih melakukan kecurangan dalam pola kemitraan ini untuk mendapatkan keuntungan lebih.
Moral Hazard pada Kemitraan Penangkar Benih
Moral hazard merupakan jenis asimetri informasi yang mana ada pihak yang dapat mengamati langsung manajemen suatu perusahaan dan ada pula pihak yang mempunyai kepentingan yang sama namun tidak dapat mengamati secara langsung. Hal ini biasanya disebabkan oleh pemisahan kendali. Dapat kita simpulkan bahwa moral hazard adalah suatu aktivitas yang terjadi ketika salah satu pihak mempunyai informasi lebih banyak dan melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan apa yang telah disepakati dalam kontrak (Paramata, A. M., dkk. 2024).
Moral Hazard biasa terjadi karena pelaku tidak lagi menanggung semua resiko dari tindakannya yang melakukan kecurangan, seperti pada perusahaan mitra yang melaksanakan kemitraan dengan petani padi yang tidak sesuai perjanjian sehingga kemitraan yang terjalin tidak optimal. Selain itu perusahaan mitra yaitu CV FBM tidak menyediakan pelatihan dan pendampingan terhadap petani secara intensif. CV FBM juga Transfer knowledge yang hanya bersifat informal dan juga hanya sekedar sharing pengalaman. Penggunaan Input yang tidak tepat pada Petani, baik yang bermitra maupun yang tidak, cenderung menggunakan input seperti pupuk atau pestisida tidak sesuai dosis anjuran (sebagian melebihi, sebagian kurang). Hal ini menyebabkan perusahaan mitra lebih diuntungkan karena tidak mengeluarkan biaya tambahan untuk memberi ilmu kepada petani yang bersangkutan.
Manfaat kemitraan kontrak
Bagi petani, hubungan kemitraan bermanfaat besar keuntungan yang relatif stabil dengan adanya kepastian pasar. Sedangkan manfaat bagi pihak mitra adalah adanya kepastian memperoleh bahan baku sesuai dengan spesifikasi yang dibutuhkan (Elizabeth, R., dkk., 2021). Menurut Restiyana, R. 2022 bahwa sasaran kemitraan agribisnis adalah terlaksananya kemitraan usaha dengan baik dan benar bagi pelaku-pelaku agribisnis terkait di lapangan sesuai dengan hukum dan peraturan yang berlaku di Indonesia. Manfaat yang dapat dicapai dari usaha kemitraan (Restiyana, R., 2022) antara lain produktivitas bagi perusahaan yang lebih besar, dengan model kemitraan, perusahaan besar dapat mengoperasionalkan kapasitas pabriknya secara full capacity tanpa perlu memiliki lahan dan pekerja lapangan sendiri, karena biaya untuk keperluan tersebut ditanggung oleh petani, melalui model kemitraan petani dapat memperoleh tambahan input, kredit dan penyuluhan yang disediakan oleh perusahaan inti, efisiensi erat kaitannya dengan sistem kemitraan, perusahaan dapat mencapai efisiensi dengan menghemat tenaga dalam mencapai target tertentu dengan menggunakan tenaga kerja yang dimiliki oleh petani. Sebaliknya bagi petani yang umumnya relatif lemah dalam hal kemampuan teknologi dan sarana produksi, dengan bermitra akan dapat menghemat waktu produksi melalui teknologi dan sarana produksi yang disediakan oleh perusahaan, sosial kemitraan dapat memberikan dampak sosial (social benefit) yang cukup tinggi. Ini berarti negara terhindar dari kecemburuan social, ketahanan ekonomi nasional usaha kemitraan berarti suatu upaya pemberdayaan yang lemah (petani/usaha kecil). Peningkatan pendapatan yang diikuti tingkat kesejahteraan dan sekaligus terciptanya pemerataan yang lebih baik, otomatis akan mengurangi timbulnya kesenjangan ekonomi.
Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa petani penangkar benih adalah pihak yang bertanggung jawab untuk menanam, merawat, dan menghasilkan benih padi sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh perusahaan mitra atau penyedia benih sedangkan perusahaan mitra atau penyedia benih (CV FBM) merupakan pihak yang memiliki peran sebagai penyedia benih unggul, teknologi, serta akses pasar.
Sebagai pihak yang memberikan kontrak kepada petani penangkar benih, perusahaan mitra berperan sebagai principal dalam hubungan kemitraan ini. Sedangkan Sebagai penerima kontrak dan pelaksana produksi benih, petani penangkar benih berperan sebagai agent dalam hubungan ini.
Kemitraan yang terjalin antara CV FBM dengan petani penangkar lebih cenderung menunjukkan pola kemitraan sub-kontrak. Kemitraan yang ideal membutuhkan mekanisme seleksi yang tepat untuk memastikan bahwa petani yang bermitra benar-benar mampu memenuhi standar yang ditetapkan oleh perusahaan mitra.
Adverse selection terjadi dalam kemitraan antara CV Fiona Benih Mandiri (FBM) dan petani padi, terutama terkait pengelolaan input seperti benih, pupuk, dan pestisida. CV FBM memproduksi benih padi bersertifikasi, namun tidak memberikan panduan yang memadai kepada petani mengenai cara pembenihan yang benar. Kurangnya pengetahuan petani mengakibatkan hasil produksi padi tidak optimal. Kondisi ini mendorong beberapa penangkar benih melakukan kecurangan dalam pola kemitraan untuk memperoleh keuntungan lebih, sehingga pola kemitraan menjadi tidak efisien dan tidak berjalan sesuai tujuan.
Moral hazard terjadi ketika pelaku tidak menanggung sepenuhnya risiko tindakannya, seperti dalam kasus kemitraan antara CV FBM dan petani padi. CV FBM tidak menjalankan kewajiban sesuai perjanjian, termasuk tidak memberikan pelatihan dan pendampingan intensif kepada petani. Transfer pengetahuan hanya dilakukan secara informal dan terbatas pada berbagi pengalaman. Selain itu, penggunaan input seperti pupuk dan pestisida oleh petani, baik mitra maupun non-mitra, sering tidak sesuai dosis yang dianjurkan. Akibatnya, CV FBM mendapatkan keuntungan lebih karena tidak mengeluarkan biaya tambahan untuk edukasi petani, tetapi kemitraan menjadi tidak optimal.
Hubungan kemitraan bermanfaat besar keuntungan yang relatif stabil dengan adanya kepastian pasar. Sedangkan manfaat bagi pihak mitra adalah adanya kepastian memperoleh bahan baku sesuai dengan spesifikasi yang dibutuhkan.
Â
DAFTAR PUSTAKA
Â
Arifin, F. I., & Hapsari, T. D. (2019). Pola Kemitraan Petani Padi Beras Merah Organik dengan PT. Sirtanio Organik Indonesia di Kabupaten Banyuwangi. UNEJ e-Proceeding.
Elizabeth, R., Em, G. I., & Ivan, G. S. (2021). Akselerasi Pengembangan Agribisnis, Kelembagaan Kemitraan Implementasi Mewujudkan Pensejahteraan Petani Hortikultura. Jurnal Pemikiran Masyarakat Ilmiah Berwawasan Agribisnis, 7(2), 1726-1739.
FR, A. F. U., & Nursan, M. (2023). Analisis Pola Kemitraan Petani Penangkar Terhadap Penggunaan Input Produksi Usahatani Benih Padi Bersertifikat Di Kabupaten Lombok Tengah. jurnal Agrimansion, 24(3), 691-701.
Muhamad Adigoena, F. (2021). Hubungan Kualitas Pelayanan Dalam Kemitraan Penangkaran Benih Padi Dengan Produksi Benih Lulus Uji di Desa Pudak Kecamatan Kumpeh Ulu Kabupaten Muaro Jambi (Doctoral dissertation, Agribisnis).
Paramata, A. M., Amiruddin, K., & Abdullah, M. W. (2024). Four Characteristics of the Prophets: a Way to Reduce Moral Hazard's Problem. JAMBURA: Jurnal Ilmiah Manajemen dan Bisnis, 7(1), 505-511.
Restiyana, R. (2022). Ta: Pola Kemitraan Koperasi Produksi Ternak Maju Sejahtera Dengan Cv Joe Cipir (Doctoral dissertation, Politeknik Negeri Lampung).
Suprapty, B., Malani, R., & Gaffar, A. F. O. (2024). Seleksi Benih Padi Unggul Dengan Penerapan Metode Fuzzy dan K-Means Clustering. J-Icon: Jurnal Komputer dan Informatika, 12(2), 193-200.
Suprayogi, D., & Pertiwi, P. R. (2024). Studi Pola Kemitraan Petani Padi Dharma Nina Ayu (DNA) pada CV Re Agro Lestari Kabupaten Indramayu. Jurnal SainTek, 1(1), 57-66.
Yurdianti, R., & Ukrita, I. (2019). Sistem Kemitraan Dengan Kelompok Tani Penangkar Benih Padi Di Pt. Pertani (Persero) Unit Produksi Benih Solok. Journal Of Agribusiness, 2(2).
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI