Jumat, 4 April 2025, Mahkamah Konstitusi Republik Korea (Korea Selatan) resmi mengabulkan mosi pemakzulan yang diajukan Majelis Nasional terhadap Presiden Yoon Suk Yeol. Pemakzulan ini dimulai akibat status darurat militer yang diumumkannya pada 3 Desember 2024 lalu. Presiden Yoon mengumumkan status darurat militer dan memberlakukan larangan terhadap kegiatan politik.
Ketua Majelis Nasional Korea Woo Won Shik dari Partai Demokratik Korea menyerukan pemungutan suara anggota majelis untuk membatalkan status darurat militer yang diumumkan oleh Presiden Yoon. Presiden Yoon kemudian mengerahkan sejumlah pasukan militer untuk menghalangi anggota majelis yang akan bersidang malam itu.
Pada 4 Desember dini hari, berhasil dilakukan sidang anggota majelis dengan pemungutan suara yang menghasilkan pembatalan status darurat militer. Yoon akhirnya mencabut status tersebut pada hari yang sama.
Darurat militer ini kemudian membawa sebuah gelombang politik besar yang mengarah kepada pemakzulannya.
Sebelum status darurat militer, memang presiden Yoon sudah diterpa banyak isu. Mulai dari isu suap terhadap istrinya, Kim Geon Hee hingga ketegangan hubungan Yoon dengan ketua Partai Kekuatan Rakyat (PPP), Han Dong Hoon yang menaungi karir politiknya. Sederet kontroversi ini menjadi sasaran empuk partai oposisi untuk terus menyerang dan mengkritik kebijakan presiden Yoon.
Darurat Militer dan Pemakzulan: Pola yang Berulang
Pemakzulan dan pertarungan politik bukan hal baru dalam sejarah politik Korea Selatan. Sejarah mencatat, tidak banyak presiden Korea Selatan yang berhasil turun dengan baik dan beristirahat dengan tenang di masa pensiunnya.
Presiden pertama, Syngman Rhee diduga memanipulasi hasil pemilu tahun 1960 dan didemo besar-besaran. Revolusi April 1960 membawa Presiden Rhee harus kabur menumpang pesawat Amerika Serikat sampai ke Hawai.
Pemerintahannya kemudian diambil alih oleh Presiden Yun Po Sun yang hanya berusia dua tahun. Presiden dengan jangka waktu memerintah terpendek ini kemudian dikudeta oleh militer yang dipimpin oleh Mayor Jenderal Park Chung Hee.
Park Chung Hee berhasil mengambil alih pemerintahan Korea Selatan dalam sebuah kudeta militer. Ia berjanji melakukan rekonstruksi nasional dan melakukan pemilihan umum. Walau nyatanya, dirinya juga yang terpilih menjadi presiden pada pemilu tahun 1963.
Kepemimpinan Park membawa Korea pada kemajuan ekonomi yang pesat. Pemerintahan berjalan secara militeristik. Partai politik hanya penghias panggung politik yang disutradarai olehnya.
Park dibunuh oleh direktur badan intelijennya sendiri, Kim Jae Gyu. Alhasil tampuk kepemimpinan beralih lagi dalam sebuah kudeta militer oleh Chun Doo Hwan. Chun pertama kali menggunakan darurat militer pada tahun 1979. Ia menutup parlemen dan universitas serta menahan semua pemimpin politik sipil yang menentangnya. Massa turun ke jalan untuk memprotes Chun, namun dibalas dengan senjata oleh militer. Peristiwa ini dikenal dengan Gerakan Demokratisasi Gwangju 1980.
Pola yang dilakukan oleh Yoon meniru apa yang pernah dilakukan oleh Chun. Namun kali ini dalam kondisi rakyat yang sudah sangat demokratis. Gagalnya Yoon dipengaruhi banyak faktor. Mulai dari dirinya yang tidak berasal dari kelompok militer, hingga persiapan politik yang tidak matang. Yoon setengah hati dalam melangkah. Secara politik ia tidak didukung penuh oleh partainya, secara militer dia tidak punya akar yang kuat.