Mohon tunggu...
Afin Maula Habib
Afin Maula Habib Mohon Tunggu... Mahasiswa Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga NIM 24107030067

Ga begitu suka dengan dunia menulis namun pernah menggeluti reporter di Majalah Madani PPHM Ngunut selama tiga tahun. Ikuti saya dan dapatkan berita-berita dan pembahasan menarik n tops.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Lebaran Minimalis: Kisah Kesederhanaan yang Sarat Makna

31 Maret 2025   23:52 Diperbarui: 1 April 2025   00:06 382
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto keluarga penulis dan Nenek penulis dari jalur ibu (Hijab Kuning Tengah) | Sumber : Dokumen Pribadi

Lebaran tahun ini terasa berbeda, penuh kesederhanaan yang begitu dekat dengan hati. Tidak ada baju baru yang biasanya menjadi "atribut wajib", namun tetap saja, saya merasa cukup dengan baju yang menurut saya sudah bagus. Tanpa persiapan yang berlebihan, Lebaran kali ini tetap meninggalkan kesan mendalam, bukan karena kemewahan, tetapi karena kehangatan keluarga dan tradisi yang tetap terjaga.

Sebagai mahasiswa semester 2 di program studi Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga, saya menjalani keseharian di kontrakan sederhana yang berada di Jalan Pedak, Desa Jaranan, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul. Meskipun gaya hidup saya di bulan Ramadan tahun ini cukup minimalis, saya tetap bersyukur bisa menjalani hari-hari dengan penuh kebersamaan. Ternyata ramadhan minimalis saya terbawa sampai lebaran, saya dan keluarga benar-benar merayakan lebaran dengan cara yang sederhana namun sarat akan makna.

Pagi yang Menenangkan di Musholla Al-Ikhlas

Lebaran tahun ini saya mulai dengan pagi yang damai tanpa fomo tren mengawasi daun gerak. Saya bersama keluarga melaksanakan sholat Idul Fitri di musholla dekat rumah almarhumah nenek saya dari jalur bapak, tepatnya di desa Senden. Musholla kecil itu begitu akrab, mengingatkan saya pada kenangan masa kecil saat sering berkunjung ke sana. Suasana sederhana tanpa keramaian berlebihan membuat saya merasa lebih khusyuk dalam menjalankan sholat ied.

Seperti umumnya pemuda daerah Jawa, apalagi Jawa Timur, setelah sholat ied saya juga ikut menyalakan mercon atau kembang api. Hal ini merupakan sebuah penggambaran atau ungkapan dari kegembiraan atas kemenangan kita umat muslim yang telah berhasil memerangi hawa nafsu selama satu bulan penuh di bulan Ramadhan.

Setelah selesai, kami kembali ulang ke rumah dan memulai tradisi sungkeman. Sungkeman di rumah adalah momen yang paling kami nantikan karena menjadi kesempatan untuk saling memohon maaf dan mengungkapkan rasa hormat kepada orang tua. Dengan hati yang tulus, kami saling mendoakan, berharap tahun depan bisa menjalani kehidupan dengan lebih baik.

Tradisi Lebaran yang Unik di Rumah Nenek dari Jalur Ibu

Tidak lama setelah sungkeman, kami segera bertolak ke rumah nenek saya dari jalur ibu, di Ngantru, Trenggalek. Kami bergegas karena di sana terdapat tradisi Lebaran yang unik dan tetap sederhana. Di sepanjang jalan depan rumah nenek, warga dari 6-7 RT berkumpul untuk melakukan salam-salaman. Tradisi ini diawali dengan para sesepuh lingkungan duduk di kursi yang telah disediakan. Generasi muda kemudian berjalan berbaris untuk bergantian melakukan sungkeman kepada sesepuh.

Sungkeman di Ngantru, Trenggalek | Sumber : Dokumen Pribadi Penulis
Sungkeman di Ngantru, Trenggalek | Sumber : Dokumen Pribadi Penulis
Setelah sungkem, giliran para pemuda dan warga lainnya lanjut untuk saling bersalaman satu sama lain, berbaris dalam urutan yang terorganisir. Suasana ini begitu hangat, penuh rasa senang dan keakraban. Saya merasa terharu melihat bagaimana tradisi ini tetap hidup di tengah arus modernisasi yang sering kali membuat kita lupa akan nilai-nilai kebersamaan.

Warga dan pemuda berbaris untuk melakukan sungkeman dan saling berjabat tangan di sepanjang jalan | Sumber : Dokumen Pribadi Penulis
Warga dan pemuda berbaris untuk melakukan sungkeman dan saling berjabat tangan di sepanjang jalan | Sumber : Dokumen Pribadi Penulis
Saya sempat berbincang dengan salah satu sesepuh yang ikut dalam tradisi tersebut, yaitu Bu Saroh, nenek saya. "Tradisi ini sudah ada sejak lama. Tujuannya adalah untuk mempererat silaturahmi antar warga, terutama generasi muda yang sering sibuk dengan urusan masing-masing. Semoga tradisi ini tetap hidup untuk anak cucu kita," ujar Bu Saroh dengan senyum penuh harapan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun