Mohon tunggu...
Afif Gusti
Afif Gusti Mohon Tunggu... MAHASISWA

Sangat tertarik isu sosial politik luar negeri, dunia Internasional.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Islamophobia di Eropa: Antara Luka dan Narasi.

8 Juni 2025   19:00 Diperbarui: 14 Juni 2025   11:32 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Demonstran membawa spanduk bertuliskan "hentikan rasisme, hentikan islamofobia(Foto oleh Alain JOCARD / AFP)

Istilah Islamofobia mulai dikenal luas di Eropa sejak akhir 1990-an yang hingga kini masih menjadi perdebatan terbuka, Namun stereotipe, ketakutan dan diskriminasi terhadap umat Islam sudah jauh lebih lama berakar, terutama setelah peristiwa 11 September 2001 yang terjadi di Amerika serikat, Sebagian negara di Eropa isu Islamofobia tidak lagi hadir dalam bentuk kekerasan langsung terhadap muslim tetapi hidup dalam kebijakan, retorika politik, dan narasi media. Fenomena ini tampak jelas di eropa terutama seperti Belanda, Inggris, dan Prancis.

Politik dan Sosial Masyarakat

Di Belanda peristiwa pembunuhan sutradara Theo van Gogh pada tahun 2004 menjadi titik balik naiknya narasi anti-Islam, Tokoh politik seperti Geert Wilders dengan lantang menyebut Islam sebagai “ideologi kebencian” dan menyerukan larangan Al-Qur’an. Pernyataannya yang ekstrem justru menarik simpati sebagian warga yang merasa terancam oleh imigrasi dan perubahan budaya.

Prancis menjadi contoh ekstrem dari pendekatan sekuler yang ketat. Negara ini melarang pemakaian jilbab di sekolah umum sejak 2004 dan melarang cadar di ruang publik pada 2010. Tahun 2021, Undang-Undang Separatisme diresmikan untuk “melawan ekstremisme,” namun banyak pihak melihatnya sebagai pembatasan terhadap ekspresi keagamaan Muslim.

Inggris memiliki pendekatan yang relatif lebih multikultural. Namun, Islamofobia tetap hidup dalam bentuk yang lebih halus: diskriminasi dalam pekerjaan, pengawasan keamanan yang bias, serta retorika anti-imigran yang kerap disamakan dengan anti-Muslim.

Pandangan masyarakat Eropa terhadap Muslim tidak seragam. Survei menunjukkan adanya kecenderungan untuk mencurigai umat Islam sebagai kelompok yang sulit berintegrasi. Namun di sisi lain, banyak warga Eropa terutama generasi muda yang menolak Islamofobia dan mendukung masyarakat multikultural.

Di negara-negara seperti Inggris dan Belanda, komunitas Muslim telah menjadi bagian penting dari kota-kota besar. Mereka bekerja sebagai dokter, guru, pengacara, jurnalis, bahkan politisi. Namun, representasi ini sering tertutupi oleh sorotan media terhadap tindakan segelintir ekstremis yang seolah mencerminkan seluruh komunitas.

Umat yang Bertahan

Meskipun menjadi sasaran prasangka, umat Muslim di Eropa menunjukkan ketahanan luar biasa. Di Prancis, komunitas Muslim membentuk organisasi sosial dan pendidikan untuk memperjuangkan hak-haknya, meskipun banyak dari mereka dibubarkan oleh negara. Di Inggris, Muslim aktif di parlemen dan media. Di Belanda, mereka membangun partai politik dan jaringan media sendiri.

Namun tetap saja, hidup dalam bayang-bayang kecurigaan bukanlah hal mudah. Pemuda Muslim sering menghadapi dilema identitas: antara mempertahankan nilai keislaman dan menyesuaikan diri dengan norma sosial mayoritas yang kadang tidak ramah terhadap simbol-simbol keagamaan.

Respon Dunia Islam

Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) secara rutin mengangkat isu Islamofobia dalam forum internasional. Pada 15 Maret 2022, OKI berhasil mendorong PBB menetapkan Hari Internasional Melawan Islamofobia. Namun di luar deklarasi dan pernyataan resmi, respons dunia Islam masih dinilai lemah dan kurang terkoordinasi.

Beberapa negara seperti Turki dan Pakistan pernah bereaksi keras terhadap publikasi karikatur Nabi Muhammad di Prancis. Namun tindakan tersebut lebih bersifat simbolis daripada menjadi bagian dari strategi global yang terorganisir untuk melawan stereotipe anti-Islam.

Tariq Ramadan, intelektual Muslim Eropa, pernah menyatakan bahwa Islamofobia adalah bentuk baru rasisme. Menurutnya, diskriminasi ini tidak hanya menyerang praktik keagamaan, tapi eksistensi Muslim itu sendiri di ruang publik. Pandangan ini sejalan dengan pendapat Christopher Allen dari Inggris yang menyebut Islamofobia bukan soal ketakutan, tapi soal kekuasaan—kekuasaan untuk mengecualikan dan mengendalikan.

Ironisnya, Presiden Prancis Emmanuel Macron pernah menyatakan bahwa Islam sedang “dalam krisis.” Pernyataan itu menuai kecaman luas dari dunia Islam dan memperlihatkan bagaimana narasi Islamofobia bisa datang bahkan dari elite demokrasi.

Mengobati Luka Bersama

Islamofobia di Eropa bukan sekadar soal prasangka personal, tetapi persoalan sistemik. Ia hidup dalam kebijakan negara, kampanye politik, dan opini media. Belanda, Inggris, dan Prancis menunjukkan pola yang berbeda, namun hasil akhirnya sama: umat Muslim sering kali menjadi kelompok yang diposisikan sebagai “yang lain.”

Namun luka ini bukan hanya milik umat Islam. Ia adalah luka sosial yang mengancam pluralisme, kebebasan berekspresi, dan semangat demokrasi itu sendiri. Jika narasi Islamofobia terus dibiarkan tumbuh, maka yang hancur bukan hanya jembatan antarumat, tetapi juga kepercayaan terhadap keadilan dalam masyarakat.

Saatnya kita menyadari bahwa keberagaman bukanlah ancaman, tetapi kekuatan. Bahwa kritik terhadap ekstremisme tidak boleh menjadi dalih untuk membungkam ekspresi keagamaan. Dan bahwa Eropa, jika ingin tetap menjadi rumah demokrasi, harus menjadi rumah yang aman pula bagi mereka yang memilih untuk hidup sebagai Muslim.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun