Mohon tunggu...
Afifah Zahrotul Hasanah
Afifah Zahrotul Hasanah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Surabaya,Jawa Timur

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Konsep Kekuasaan-Foucault

7 Januari 2024   23:00 Diperbarui: 7 Januari 2024   23:07 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Foucault dan Konsep Kekuasaan Untuk memahami kekuasaan, Foucault tidak menyarankan  untuk mengajukan pertanyaan “Apa itu kekuasaan? dan “Siapa yang memilikinya?” ”, melainkan menanyakan “Bagaimana cara kerja listrik? " Dan bagaimana ". Apakah kekuasaan disalahgunakan?Pandangan Foucault tentang kekuasaan berbeda dengan tradisi Marxis dan Weberian yang memandang kekuasaan sebagai hak istimewa dan “properti” yang hanya dimiliki  segelintir orang  untuk mendominasi melalui manipulasi ideologi. Baginya, kekuasaan  tidak selalu berjalan negatif melalui tindakan  koersif dan represif dari lembaga pemegang kekuasaan, termasuk Negara. Uniknya, Foucault berpendapat bahwa kekuasaan sebenarnya  bisa  tidak stabil, aktif, efektif, dan ada di mana-mana seperti jaringan signifikan yang  strategis  dalam hubungan sosial apa pun, misalnya hubungan antara orang tua dan anak, suami dan istri, guru dan siswa, persahabatan, pekerjaan. hubungan, dll. Hubungan sosial tersebut selalu timpang, misalnya orang tua sering melarang anaknya  keluar rumah pada malam hari,  guru  meminta siswanya menulis soal ujian, dan  atasan  meminta karyawannya menulis laporan. Namun kita tidak bisa  terburu-buru mengatakan bahwa kekuasaan selalu bersifat negatif, karena seorang ayah yang melarang putrinya keluar malam untuk menghindari kejahatan tidak bisa dianggap sebagai perilaku yang buruk atau memaksa. Demikian juga seorang guru yang meminta anak didiknya mengerjakan soal supaya lulus ujian dan mendapatkan nilai dapat dimaknai sebagai bentuk relasi kuasa yang bersifat positif, artinya kekuasaan itu bersifat relatif, bisa ‘baik’ dan ‘buruk’. Baca juga: Kaum Intelektual, Kekuasaan dan Harapan Perubahan Foucault juga berargumen bahwa kekuasaan secara evolutif mengalami transformasi, artinya jika dulu seorang raja melakukan kontrol sosial dan menghukum warganya yang dianggap bersalah dengan cara-cara kekerasan dan represi (sovereign power) melalui kepatuhan hukum, sedangkan dalam konteks masyarakat modern hal tersebut sudah mulai ditinggalkan secara perlahan di banyak negara. Cara tersebut digantikan dengan moda disciplinary power atau normalisasi tindakan yang dirancang diinternalisasi dengan memanfaatkan kemampuan produktif dan reproduktif tubuh serta menempatkan subjek sebagai efek dan kendaraan bagi kekuasaan (vehicle of power). Misalnya, dalam konsep panopticon Foucault, masyarakat modern akan mengenakan helm pada saat berkendara karena aturan tersebut dibuat negara, berjalannya kekuasaan tanpa tekanan adalah ketika pengendara merasa bersalah karena tidak memakai helm dan orang lain membantu negara menegakkan aturan dengan cara menegur pengendara yang tidak menggunakan helm. Kekuasaan dan pengetahuan Salah satu pemikiran penting Foucault terletak pada bagaimana ia mencurigai pengetahuan sebagai bentuk atau wujud kekuasaan, kekuasaan selalu ditopang oleh pengetahuan yang menjelma menjadi formasi wacana.

Kemudian, wacana tersebutlah yang diklaim Foucault sebagai wajah kekuasaan, contohnya wacana ilmiah tentang psikiatri melahirkan yang ‘normal’ dan ‘gila’, wacana kecantikan melahirkan salon-salon kecantikan yang mengidealisasi bentuk tubuh tertentu, dan wacana seksualitas melahirkan heteroseksualitas versus homoseksualtas. Mirisnya, dampak vital dari formasi wacana melahirkan apa yang disebut sebagai ‘benar’ dan ‘salah’, ‘normal’ dan ‘abnormal’, pusat dan marginalitas yang kesemuanya itu padahal adalah efek atau kemungkinan-kemungkinan dari suatu wacana tertentu yang bersifat temporer. Menurutnya, apa yang selama ini diklaim sebagai ‘kebenaran’ ilmiah yang objektif perlu dikoreksi kembali secara kritis karena boleh jadi, apa yang dianggap sebagai keilmiahan tersebut justru malah tidak bebas nilai (Haryatmoko, 2020). Hal ini pernah terjadi di abad pertengahan ketika seorang ahli ilmu astronomi asal Italia, Galileo Galilei, dimusuhi oleh otoritas Gereja Katolik selama dua dekade karena temuan ilmiahnya yang dianggap bertentangan dan mengancam dominasi gereja, meskipun berabad-abad kemudian gereja akhirnya mengakui kebenaran dari pemikiran Galileo. Singkatnya, rezim penguasa memerlukan ‘klaim’ kebenaran ilmiah untuk melanggengkan kekuasaannya, sehingga ‘kebenaran’ tertentu secara mati-matian dipertahankan hingga dinormalisasi sementara ‘kebenaran-kebenaran’ lainnya yang dianggap mengancam rezim kekuasaan ditiadakan hingga dimusnahkan. Hal ini  terjadi pada masa rezim Orde Baru, yang mempertahankan kekuasaan melalui kekuasaan militer, dan siapa pun yang menentang rezim  atau  mengancam kekuasaannya akan menjadi abu. Singkatnya, melalui pemikirannya, Foucault  ingin mengatakan bahwa tidak ada penegasan kebenaran hakiki dan  universal, ia menekankan pada relativitas kebenaran yang berversi. 

Kita dapat menggunakan gagasan Foucault untuk menganalisis bagaimana  kekuasaan bekerja dan dengan cara apa kekuasaan dapat dipertahankan, karena kekuasaan berada dalam zona ketidakstabilan dan oleh karena itu harus dipertahankan dengan berbagai cara, bahkan “baik” atau “buruk”. Karena kepribadian mereka yang tidak stabil, beberapa orang dengan ceroboh mempertahankan kekuasaan atas nama hak istimewa dan keuntungan, bahkan dengan memanipulasi dan mengabaikan “kebenaran” lainnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun