Di tengah arus informasi yang begitu deras di era media sosial, banyak orang merasakan kegelisahan yang sulit dijelaskan. Salah satu bentuk kegelisahan tersebut dikenal dengan istilah Fear of Missing Out atau FoMO. Dikutip dari Gupta & Sharma (2021), istilah ini pertama kali diperkenalkan pada tahun 2004 untuk menggambarkan fenomena psikologis yang semakin sering terjadi seiring dengan meningkatnya aktivitas di situs jejaring sosial.FoMO merupakan suatu kondisi di mana seseorang merasa seolah-olah sedang tertinggal dari berbagai pengalaman penting atau menyenangkan yang dialami oleh orang lain. Perasaan ini biasanya muncul ketika melihat unggahan di media sosial, seperti foto liburan, pencapaian akademik, atau momen kebersamaan yang dibagikan teman-teman. Namun lebih dari sekadar rasa iri, FoMO juga mencakup dua proses psikologis yang saling berhubungan, yaitu persepsi bahwa seseorang sedang kehilangan sesuatu yang berarti, diikuti dengan dorongan kompulsif untuk terus menjalin dan mempertahankan hubungan sosial, khususnya melalui media digital.Fenomena ini ternyata memiliki dampak yang cukup kompleks dalam kehidupan individu. FoMO sering dikaitkan dengan perasaan negatif seperti kecemasan, stres, hingga gejala depresi ringan. Tidak hanya itu, beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa FoMO dapat memengaruhi kualitas tidur, menurunkan produktivitas akademik dan kerja, serta berkontribusi terhadap masalah kesehatan fisik. Bahkan, pada beberapa kasus, FoMO menjadi salah satu faktor yang memengaruhi perkembangan sosial remaja dan individu dengan kondisi neurodevelopmental tertentu.
FoMO muncul karena dorongan alami manusia untuk merasa terhubung dan diterima dalam suatu kelompok sosial. Media sosial, meskipun memberikan kemudahan dalam berkomunikasi, sering kali menciptakan ilusi kebahagiaan dan kesempurnaan dari kehidupan orang lain, sehingga menimbulkan tekanan tersendiri. Seseorang yang terus-menerus membandingkan kehidupannya dengan kehidupan yang terlihat di layar ponsel cenderung merasa kurang, meskipun pada kenyataannya tidak demikian.
Untuk menghadapi kondisi ini, pendekatan psikologis seperti terapi perilaku kognitif (Cognitive Behavioral Therapy) mulai digunakan (Afdilah etval., 2020). Terapi ini membantu seseorang untuk mengenali pola pikir yang tidak sehat, lalu mengubahnya menjadi pola pikir yang lebih realistis dan adaptif. Selain terapi profesional, penting juga untuk mulai membangun kesadaran diri dalam menggunakan media sosial secara bijak dan sehat.
Penting bagi kita untuk memahami dan mengenali dampak FoMO secara serius. Hal ini bukan hanya untuk mencegah gangguan psikologis yang lebih berat, tetapi juga karena FoMO dapat menjadi faktor pengganggu dalam proses penyembuhan pada individu yang sedang menjalani terapi psikologis. Penelitian lebih lanjut dan diseminasi informasi yang tepat sangat diperlukan agar masyarakat dapat mengenali tanda-tanda FoMO lebih dini serta menemukan cara-cara yang efektif untuk mengatasinya.
FoMO adalah bagian dari tantangan hidup modern yang muncul bersamaan dengan perkembangan teknologi. Namun dengan pemahaman yang tepat, kesadaran yang meningkat, dan dukungan yang cukup, fenomena ini dapat dihadapi dan dikelola secara sehat, sehingga tidak lagi menjadi bayang-bayang yang mengganggu kualitas hidup seseorang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI