Mohon tunggu...
Afif Auliya Nurani
Afif Auliya Nurani Mohon Tunggu... Pengajar

Semakin kita merasa harus bisa, kita harus semakin bisa merasa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tuhanku Seperti Matahari dan Gula

14 Desember 2015   09:34 Diperbarui: 14 Desember 2015   09:34 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Setiap manusia pasti memiliki keyakinan masing-masing untuk mengetahui mengapa ada penciptaan makhluk hidup beserta alam semesta, tujuan adanya kehidupan di muka bumi, dan untuk apa kewajiban beribadah. Sehingga pendidikan agama harus dilakukan sejak dini agar jiwa religious sudah tertanam dengan baik sampai anak tersebut tumbuh dewasa. Salah satu cabang pendidikan agama yakni dengan mengenalkan Keesaan Tuhan –atau yang sering disebut dengan ilmu Tauhid- kepada anak, dalam hal ini terutama kepada anak muslim.

Untuk mengajarkan tauhid kepada anak tentunya tidak bisa secara teoritis sekalipun melalui dalil-dalil. Karena di usia yang masih golden age, yakni periode dimana anak berada dalam masa sensitive yang mudah menerima berbagai stimulus, kemampuan anak untuk menerima hal-hal yang tidak konkrit masih sulit. Selain itu, berbagai teori dan dalil memiliki bahasa yang belum bisa diterima oleh anak usia dini, bahkan terkadang orang dewasa saja sulit untuk memahaminya. Untuk itu diperlukan adanya metode yang tepat untuk mengajarkan ketauhidan. Dalam suatu ayat Al-Qur’an, terdapat kalam Allah yang menganjurkan untuk mengajarkan suatu hal kepada anak melalui perumpamaan. Bagaimana sih penerapannya? 

Misalkan begini, guru menyiapkan segelas air bening dan satu sendok makan gula. Lalu guru bertanya kepada murid-muridnya, “anak-anak, bagaimana rasanya air bening?”. Maka murid-murid akan menjawab “tawar, bu”. Kemudian guru memasukkan satu sendok makan gula ke dalam gelas yang berisi air tersebut dan mengaduknya . Guru pun kembali bertanya, “setelah dimasukkan gula, apa yang terjadi dengan rasa air tersebut?” dan murid-murid menyahut, “manis, bu”. Dilanjutkan dengan pertanyaan guru, “lantas apakah gulanya terlihat?”. Disini anak akan mulai berpikir, bagaimana gula tersebut tidak terlihat di dalam air namun dapat menyebabkan rasa air tersebut berubah menjadi manis. Pada kesimpulannya guru dapat memberi pengertian seperti berikut, “nah begitulah Allah-nya anak-anak, Allah itu seperti gula, Dia ada, terasa (nikmat dan rezeki yang Ia berikan), namun tak terlihat”. Atau dengan cara begini, di sewaktu-waktu guru mengajak murid-murid untuk keluar kelas dan melihat matahari. kemudian guru bertanya mengenai jumlah matahari. Kemudian guru mengarahkan murid-murid untuk melihat kembali matahari dari dalam kelas memberikan pertanyaan kembali, “ada berapakah matahari?”, dan murid-murid menjawab “satu, bu”. Pada akhirnya guru memberi kesimpulan, “begitulah Tuhan kita, Allah SWT, Ia hanya ada satu, tapi dimana-mana”. Dengan begitu, keimanan anak usia dini terhadap Allah akan bertambah. Jadi, guru harus dapat memberikan pengertian dan pemikiran yang sederhana bagi anak usia dini karena keterbatasan kemampuannya untuk mencerna sesuatu yang tidak dapat ia lihat secara langsung. Guru juga harus bisa membuat perumpamaan yang semenarik mungkin untuk dapat dipahami dengan baik oleh anak usia dini.  

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun