Mohon tunggu...
Afif Auliya Nurani
Afif Auliya Nurani Mohon Tunggu... Pengajar

Semakin kita merasa harus bisa, kita harus semakin bisa merasa

Selanjutnya

Tutup

Love Pilihan

Mengapa Orang yang Sudah Menikah Justru Tidak Menyarankan untuk Segera Menikah?

29 Desember 2022   20:32 Diperbarui: 29 Desember 2022   20:43 855
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pertanyaan "Kapan nikah?" bagi yang berada dalam rentang usia 20-30 tahun bisa jadi terasa menyebalkan untuk didengar. Apalagi disertai nasihat yang sama-sekali-tidak-kita-minta seperti, "nanti keburu jadi perawan tua, lho!" "jangan terlalu fokus mengejar karir, kejar jodoh aja biar ada yang nafkahin" "awas nanti makin tua makin nggak ada yang mau, ih". Hhhhh... Please, deh!

Di samping itu, banyak pula yang justru menyarankan untuk tidak buru-buru menikah. Ada yang mengatakan, "puasin aja dulu jomblo-nya, nanti pas udah nikah nggak bisa bebas, tau!" "minimal cari yang punya rumah, mobil, dan gajinya di atas 25 juta dulu, kalau enggak, jangan mau!" "menikah itu berat, biar aku saja". Nah, lho?

Pertanyaan dan nasihat yang demikian secara tidak langsung menjadi tekanan bagi yang dikenai. Terlebih di negara kita, rentang usia tersebut dianggap usia yang paling ideal untuk memulai berumah tangga. Namun seiring berjalannya waktu, "aturan tak tertulis" itu mulai terbantahkan oleh generasi kelahiran 1990-an.

Sekitar satu minggu yang lalu juga sempat ramai cuitan dari akun @sintakayaknyaa di twitter yang menuai banyak pro dan kontra seputar menyegerakan pernikahan. Sebagian warga Twitter turut menceritakan kisah yang serupa seperti dalam cuitan di bawah ini:

Sumber: Twitter @sintakayaknyaa
Sumber: Twitter @sintakayaknyaa

Hmmm... Kira-kira kenapa, ya?

Dari hasil pantauan saya di cuitan tersebut, banyak yang tidak menyarankan untuk segera menikah dengan alasan yang bermacam-macam. Ada yang merasa bahwa semenjak menikah justru tidak merasa "bebas", tidak membahagiakan, menambah masalah kehidupan, menambah pengeluaran, daaan masih banyak lagi. Selengkapnya bisa dibaca di sini.

Mayoritas warga Twitter yang telah berumah tangga juga mengeluh kehilangan banyak waktu "me time" karena harus mencari nafkah, mengurus anak, urusan bertetangga, dan ina-inu. Hal tersebut tentu memicu stres yang barangkali tidak kita rasakan ketika masih jomblo. Tidak heran bahwa angka perceraian di Indonesia semakin tahun semakin meningkat. Sebab, pengambilan keputusan seringkali dipengaruhi oleh rasa tertekan.

Berdasarkan grafik dari Katadata, kasus perceraian di Indonesia pada tahun 2021 melonjak dari 291.677 menjadi 447.743 kasus. Pertengkaran dalam rumah tangga menjadi faktor tertinggi penyebab perceraian, yaitu sebanyak 279.205 kasus. Artinya, sebanyak 62% dari total kasus perceraian dikarenakan cekcok dan kesalahpahaman antara suami-istri. Dan yang lebih memprihatinkan lagi, pasangan yang bercerai mayoritas berada pada rentang usia 20-35 tahun.

Adapun yang menjadi faktor kedua terbesar penyebab perceraian yakni kesulitan ekonomi. Disusul dengan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), salah satu pihak yang meninggalkan rumah tanpa alasan yang jelas, hingga poligami yang tidak disepakati. Dari berbagai kasus tersebut, dapat disimpulkan bahwa muara dari berbagai permasalahan yang terjadi adalah: ketidakselarasan dan misinformasi.

Ketidakselarasan tidak hanya soal visi, misi, dan tujuan menikah. Akan tetapi juga mengenai pola pikir, gaya hidup, dan kesediaan untuk memantaskan diri masing-masing bagi pasangannya. Itulah mengapa dalam agama Islam, Rasulullah SAW menganjurkan untuk menikah apabila telah menemukan calon pasangan yang sekufu (kafa'ah).

Dilansir dari NU Online, sekufu merupakan persamaan derajat atau kesepadanan antara calon suami dan istri yang berniat untuk membina rumah tangga. Harapannya, dengan adanya konsep sekufu tersebut rumah tangga akan lebih harmonis dan ideal hingga akhir hayat. Imam Nawawi juga turut menjelaskan tolak ukur pasangan yang dianggap sekufu, yakni berdasarkan nasab (keturunan), keilmuan, ke-shalih-an, kredibilitas, dan juga status merdeka ---maksudnya, bukan budak. Tidak relevan di zaman sekarang.

Adapun menyoal misinformasi dalam rumah tangga, hal tersebut tentu erat kaitannya dengan seni berkomunikasi dengan pasangan. Saya pribadi kebetulan sudah menikah di usia 24 tahun, tidak tergolong muda banget, sih, untuk menikah. Dalam usia pernikahan yang baru menginjak 2 tahun (dan semoga hingga maut memisahkan, aamiin) terkadang kami mengalami pertengkaran kecil akibat dari kesalahpahaman.

Kesalahpahaman seringkali dipicu oleh gaya bahasa, suku budaya (saya Jawa tulen, beliau Banjar tulen), adat istiadat, dan juga tingkat kelelahan. Oleh sebab itu, tidak heran banyak yang mengatakan bahwa salah satu pilar dalam rumah tangga adalah komunikasi yang baik. Disusul oleh keadaan finansial yang settle, mental yang stable, dan juga seksual yang wleowleowleo (ini, sih, nggak perlu dijelasi juga pada ngerti).

Lantas, bagaimana sebaiknya? Keputusan untuk menikah tentu kembali pada individu masing-masing. Tak perlu takut berlebihan, pun jangan asal memutuskan dalam menjalin hubungan sakral tersebut.  Pilihan kapan, bagaimana, dan dengan siapa tentu sangat bisa dipertimbangkan dengan matang tanpa harus mendapat intervensi dari orang lain. Apalagi dari stigma yang kita dengar dari masyarakat sekitar. Sebagai bantuan pertimbangan, Kompasianer bisa membaca artikel selengkapnya mengenai keputusan menikah atau tidak pada tulisan berikut.

Akhir kata, menikah memang tidak senikmat itu, tapi juga tidak seburuk "itu", kok. Bagi yang belum menikah, selamat menyelami pilihan masing-masing dengan sebaik mungkin. Semangat!

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun