Mohon tunggu...
afida
afida Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Seraya Tak Berani Berucap

6 Maret 2018   17:40 Diperbarui: 6 Maret 2018   17:44 333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

7 juli 2013, hari sudah terlampau sore, mentari juga akan tenggelam. Menghitung hari, jam, menit, detik dan setiap pergolakan waktu menuju penjara suci. Yah, penjara suci adalah tempat keduaku setelah rumah (sebutan buat tempat anak pesantren mondok). Rasa bimbang ini mulai menyerbu pikiran, akan tetapi ini sudah menjadi keputusanku, keputusan ibuku, maka aku harus mau berada di tempat ini.

Sampai di 8 juli 2013, af...! lekas kau rapikan baju-bajumu nak, terdengar seruan ibu. "Iya bu", segera aku bergegas melakukannya. Rasa sedih mulai menyelimuti hati "duh, nanti malam aku mulai berada di tempat yang berbeda, di tempat yang jauh dari kata nyaman, jauh dari orang tua,teman, keluarga". Kemudian ibu membangunkan lamunanku, "ayo nak segera bersiap, kita akan segera berangkat".

Mobil pun mulai melaju menuju PP. Karangasem, tiba di halaman pondok ibu berkata "kamu sudah siap nak? untuk menuju sekolah barumu, tempat tinggal barumu? Mantapkan hatimu nak, niatkan dengan ikhlas agar kamu betah dan memperoleh banyak ilmu". Aku hanya terdiam seraya tak berani berucap, bahkan hatiku belum yakin. Aku takut, takut tidak menemukan teman seperti teman-temanku dulu. Aku takut, tidak dapat bersosialisai dengan baik.

Kamar  khodijah 2 adalah tempatku, akan tetapi aku meminta untuk dipindahkan ke kamar khodijah 3 karena disitu ada teman SMP ku dulu. Segera, ibu menyelesaikan ruang pindahan dan administrasi-administrasi pondok. Alhamdulillah, aku boleh pindah sedikit lega aku disini. Kemudian, ibu segera membantuku merapikan baju-baju dan barang-barang lain milikku.

Tiba, adzan dzuhur mulai berkumandang. Segeralah aku menunaikan sholat dengan ibuku di masjid sebelah pondok. Rasa takut mulai bergelayutan, tetesan air mata mulai berderai, aku masih ingin bersama ibu. 

Tanpa sadar ibu juga ikut menangis, kembali ibu menasehatiku "nak, walaupun kamu anak ibu satu-satunya tapi ibu ingin kamu lebih menuai ilmu yang lebih tidak hanya di bangku sekolah saja tapi di pesantren juga buat bekal kamu kedepannya dunia maupun akhirat nanti. 

Pintar-pintarlah bersosialisasi, jangan pernah salah memilih teman, nurut sama ustadzah disini, dan jadilah kebanggaan ayah, ibu. Semoga kamu betah disini" aku hanya mengangguk, mendengar nasehat ibu. Kemudian aku berpamitan pada ibu. Langkah ibu mulai menjauh, laju mobil yang mulai jauh dari halaman pondok.

(Teng-teng-teng) suara bel pondok berbunyi, tanda seruan santri mulai melakukan kegiatan pondok. Menujulah ke mushola tempat kami berkumpul dan segera menunaikan sholat ashar berjamaah. Usailah sudah. Awal, aku tidak berani berucap sedikitpun kecuali kepada teman SMP ku bahkan mau mengambil jatah makan pondok pun aku tak berani. Menjelang malam tiba, ada anak kamar yang bertanya padaku "mbak namanya siapa? 

Orang mana?" kemudian aku menjawabnya. Bertambahnya hari aku disini aku mulai memberanikan diri, aku tidak bisa terus-terusan diam, aku harus berubah, aku harus bisa mandiri. Toh, aku hidup juga butuh mereka. Akhirnya, aku berhasil bersosialisasi aku bukan yang pendiam lagi, bukan yang takut lagi. kehidupan pesantren lainnya mulai bergelayutan di hidupku hingga usai.

"dan kita harus memahami bahwa keberanian bukanlah ketiadaan rasa takut melainkan kekuatan untuk terus maju meskipun ada rasa takut".- Paulo Coelho.

Semoga bermanfaat 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun