Mohon tunggu...
Farid Muadz Basakran
Farid Muadz Basakran Mohon Tunggu... Administrasi - Advokat

#Advokat #Mediator #Medikolegal I Pendiri BASAKRAN dan GINTING MANIK Law Office sejak 1996 I Sentra Advokasi Masyarakat I Hotline : +62816 793 313

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Gejala Pengkerdilan Kasus Ahok

18 November 2016   09:11 Diperbarui: 18 November 2016   09:27 448
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Selasa, 16-11-16,  kemarin berlangsung Gelar Perkara kasus penistaan agama dan penistaan agama didalam informasi elektronik di Mabes Polri. Gelar perkara yang tidak lazim dan tidak berdasarkan ketentuan hukum acara pidana dan ketentuan hukum positif yang berlaku.  Bayangkan saja bahwa dalam Peraturan Kapolri No. 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana tidak diatur mengenai Gelar Perkara dalam tingkat penyidikan. Perkap No. 12 tahun 2014 itu sendiri berpedoman pada UU No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Gelar Perkara hanya dikenal dalam tingkat penyidikan suatu perkara pidana. 

Dalam Perkap No. 14 tahun 2012 tersebut, Gelar Perkara itu merupakan bagian integral dari penyidikan itu sendiri dan salah satu cara untuk melakukan penyidikan, hal demikian dapat dilihat dalam Pasal 4 dan Pasal 5 KUHAP. Bila ada pejabat Polri yang menyatakan bahwa hal demikian adalah merupakan diskresi kepolisian, menurut penulis diskresi kepolisian yang diambil tersebut merupakan diskresi kepolisian yang keliru.

Karena diskresi kepolisian tidak boleh bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan tentunya tidak boleh melanggar hak asasi manusia itu sendiri. Bisa dibayangkan apa jadinya apabila Polri yang saah satunya adalah menjadi penegak hukum di negeri ini, dalam menjalankan fungsinya sebagai penegak hukum itu melanggar hukum dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Yang sangat menggelikan adalah setelah gelar perkara itu dilangsungkan pada Selasa lalu, sehari kemudian yakni pada Rabu 17-11-16, baru diumumkanlah hasil kesimpulan gelar perkara yang dibacakan oleh Kabareskrim Mabes Polri Komjen (Pol) Ari Dono Sukmanto, yang mengesankan bahwa seolah Polri pun bisa menjadi lembaga peradilan dan dalam kesimpulan tersebut menurut Kabareskrim terdapat perbedaan pendapat seperti halnya dissenting opinion suatu putusan badan peradilan, hanya untuk menetapkan Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok sebagai tersangka dan dimulainya penyidikan kasus penistaan agama yang didasarkan pada ketentuan Pasal 156a KUHP dan Pasal 28 ayat (2) UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Kasus penistaan agama yang dilakukan oleh tersangka Ahok ini sebenarnya sangat sederhana dan mudah dalam hal pembuktiannya. Namun sejak awal terlihat dibuat rumit oleh pihak Polri, karena adanya dugaan intervensi kekuasaaan yang kuat (baca : Presiden dan partai politik) terhadap pelakunya yang merupakan Gubernur DKI Jakarta non aktif dan Cagub DKI Jakarta petahana yang diusung oleh PDI Perjuangan, Partai Nasdem, Partai Golkar dan Partai Hanura ini.

Penulis melihat bahwa kasus penistaan agama yang dilakukan Ahok merupakan pengetahuan yang diketahui umum secara luas, sehingga tidak perlu dibuktikan lagi berdasarkan ketentuan Pasal 184 ayat (2). Namun demikian, bila kita alat bukti yang sah menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP, kasus penistaan agama ini sudah memenuhi alat bukti keterangan saksi yang cukup, keterangan ahli yang cukup, petunjuk berupa video rekaman ucapan penistaan agama oleh Ahok di kepulauan Seribu, dan keterangan pelakunya itu sendiri. Bahkan Majelis Ulama Indonesia, sebagai otoritas pemegang kekuasaan mengeluarkan fakta agama Islam telah mengeluarkan Pernyataan dan Sikap Keagamaan MUI pada 11 November 2016 yang sebagai sikap bahwa pernyataan Ahok telah menista agama Islam dan menista al-Qur'an sebagai kitab yang menjadi pegangan ummat Islam diseluruh dunia.

*******

Sehari setelah penetapan tersangka Ahok dan dimuainya proses penyidikan perkara penistaan agama ini, pada Kamis kemarin mulai diperiksa para saksi pelapor dan ahl-ahli yang telah dibuatkan Berita Acara Interogasi pada tingkat penyelidikan, hal yang tidak lazim menurut hukum acara pidana, kemarin baru dibuatkan Berita Acara Pemeriksaan dalam tingkat penyidikan (pro justitia). Hal yang sangat terlambat menurut penulis dilakukan oleh Bareskrim Polri dan tindakan Polri ini sungguh sangat tidak profesional. 

Ada hal yang cukup menarik dalam pemeriksaan saksi-saksi pelapor tersebut, penulis melihat penyidik menambahkan Pasal 156 KUHP setelah itu dan/atau Pasal 156a KUHP dan menghapus Pasal 28 ayat (2) UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. 

Pasal 156 KUHP mengatur tindak pidana permusuhan atau penghinaan terhadap sesuatu atau beberapa golongan penduduk Negara Indonesia. Selengkapnya bunyi rumusan Pasal 156     KUHP tersebut adalah sebagai berikut :

"Pasal 156 : Barangsiapa dimuka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap sesuatu atau beberapa golongan penduduk Negara Indonesia, dihukum penjara selama-lamanya empat tahun atau Denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500,-

Yang dikatakan golongan dalam pasal ini dan pasal yang berikut, ialah tiap-tiap bahagian dari penduduk Negara Indonesia, yang berbedaan dengan sesuatu atau beberapa bahagian dari penduduk itu lantaran bangsanya (ras), agamanya, tempat asalnya, keturunannya, kebangsaannya atau keadaan hukum negaranya".

Rumusan Pasal 156 KUHP terlampau bersifat umum dan tidak mengena, oleh karenanya melalui PNPS No. 1 tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, ditambahkanlah dalam KUHP Pasal 156a yang rumusannya lengkapnya adalah sebagai berikut :

"Pasal 156a : Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja dimuka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan :

a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;

b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Menurut Prof. Dr. Indriyanto Seno Aji, S.H., M.H., bahwa Blasphemy (penghinaan terhadap agama) terkait erat dengan Libel yaitu penghinaan yang berakibat pada hak dan kehormatan dan nama baik pihak yang dirugikan sebagai akibat perbuatan pelakunya.  Blasphemy menurut Black’s Law Dictionary mengartikannya: “the offence of speaking matter relating to God, Jesus Christ, or the book of common prayer, intended to wound the feelings of mankind or to excite contempt and hatred against the church by law established or to promote immorality”.

Dalam rumusan yang hampir sama, Simester dan Sullivan menyatakan pula “blasphemy words are punishable for their manner, their violance or ribaldry or more fully stated dor their tendency to endanger the peace then and there, to deprave public morality generally, to shake the fabric of society and to be a cause of civil strife”.

Sedangkan menurut Prof. DR. Wirjono Prodjodikoro menyatakan bahwa tindak pidana dalam Pasal 156a KUHP mirip dengan apa yang dinamakan Blasphemy atau Godlatering yang berarti penghinaan terhadap Allah.  Sementara menurut Prof. Oemar Seno Adji, agama perlu dilindungi dari kemungkinan-kemungkinan perbuatan orang yang bisa merendahkan dan menistakan simbol-simbol agama, seperti Tuhan, Nabi, Kitab Suci, dan sebagainya. Meski ditujukan untuk melindungi kesucian agama, akan tetapi karena agama “tidak bisa bicara” , maka sebenarnya pasal ini juga ditujukan untuk melindungi para penganut agama.

Penerapan Pasal 156a KUHP ini sangat cocok untuk diterapkan dalam kasus penistaan agama yang dilakukan oleh Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok, dan Pasal 156a ini sudah teruji dalam Yurisprudensi seperti halnya dalam kasus Tabloid Monitor yang menyeret Pemred nya yakni Arswendo Atmowiloto sebagai terpidana 4 tahun 6 bulan pada tahun 1990, dan kasus Cerpen Langit Makin Mendung karya Ki Panji Kusmin yang juga menyeret H.B. Jassin sebagai Pemred Majalah Sastra Horizon dan menghukumnya dengan hukuman penjara 1 tahun dengan masa percobaan selama 2 tahun.. 

Dengan menambahkan Pasal 156 KUHP, menurut penulis Penyidik Bareskrim Mabes Polri telah melakukan pengkerdilan terhadap peristiwa pidana penistaan agama yang dilakukan Ahok ini, padahal sudah jauh hari pakar hukum pidana semisal DR. Chairul Huda, S.H. dan Prof. DR. Mudzakir telah menyatakan bahwa kasus Ahok ini telah memenuhi unsur Pasal 156a KUHP.

Dengan menerapkan Pasal 156a KUHP dengan ancaman hukuman 5 (lima) tahun, maka Penyidik Polri berwenang untuk penahanan terhadap BTP alias Ahok, yang mempunyai kecenderungan mengulangi tindak pidana yang lain, seperti sudah adanya Laporan Polisi perbuatan pidana fitnah sebagai pernyataan Ahok di ABC News bahwa para pengunjuk rasa pada 4 November 2016 yang lalu dibayar Rp. 500.000,- per orang, yang mulai dilaporkan lemarin.

Lain halnya bila ditambahkan Pasal 156 KUHP sebelum Pasal 156a KUHP, maka kemungkinan ada skenario lain Penyidik untuk "menyelamatkan" Ahok dari tindakan penahanan karena ancaman Pasal 156 hanya 4 (empat) tahun. Oleh karenanya alangkah profesionalnya Penyidik Bareksrim Mabes Polri apabila konsisten menerapkan Pasal 156a KUHP dalam kasus penistaan agama oleh Ahok ini. Disamping itu, Pasal 28 ayat (2) UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik perlu diterapkan sebagai pasal berlapis untuk melakukan penyidikan kasus ini, bukan menambahkan Pasal 156 KUHP tersebut.

Bahan Bacaan :

Dari berbagai sumber

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun