Mohon tunggu...
Ryani
Ryani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di UNIKA St. Paulus Ruteng

Ryani, gadis kelahiran 2002. Penulis berasal dari Flores, Manggarai Barat. Sekarang berdomisili di Ruteng . Sangat menyukai sastra dan pecandu kopi. Penulis sekarang menempuh pendidikan di Universitas Katolik Indonsesia Santu Paulus Ruteng, Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pertentangan Kelas Sosial dalam Cerpen Jejak Tanah Karya Danarto (Kajian Sastra Marxis)

26 Mei 2022   00:07 Diperbarui: 31 Mei 2022   08:52 1448
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dari kutipan cerpen di atas, dapat simpulkan bahwa ada pertentangan pendapat dan juga pemahaman antara kedua belah pihak yaitu masyarakat kelas atas dan masyarakat kelas bawah. Di sini kelas bawah atau rakyat miskin menuntut ketidakadilan ini dengan menyatakan bahwa pelaku pembebasan tanah (ayah) ini sebagai pengembang yang haus darah. Mereka menuduh semua yang diperoleh oleh pembisnis Real Eastate ini dibangun atas dasar air mata rakyat. Namun, tokoh saya sebagai anak dari Ayah yang melakukan bisnis Real Eastate ini sedikit menolak dan tidak percaya atas apa yang sudah diklaim oleh rakyat dan para demonstran tersebut.

Ada bebrapa pertimbangan yang dipertahankan oleh tokoh Saya sebagai anak dari tokoh ayah yang berkategori sebagai masyarakat kelas atas atau pemilik modal. Seperti yang ada pada kutipan berikut “Sudah puluhan tahun penduduk dengan masing-masing keluarga mereka, pemukim tanah yang dibebaskan itu, tinggal di kawasan itu. Merasa tanah permukiman itu miliknya dengan memperlihatkan su rat-surat kepemilikan, mereka gigih mempertahan kannya meski ayah sudah memperlihatkan surat pem bebasan yang sah. Beberapa kali diadakan pertemuan dengan jumlah uang pembebasan yang dirasa pantas, mereka tetap menolak untuk pindah. Alasan mereka, di tanah itu, keluarga mereka berkembang, termasuk lahan pencarian nafkah dan lahan pendidikan anak-anak mereka”. (Jrjak Tanah, 2002)

Dari kutipan cerpen di atas, masyarakat kelas bawah mulai menyadari bahwa mereka sebenarnya telah ditindas oleh kaum kelas atas dengan tidak memberikan haknya secara benar. Kutipan tersebut di atas menunjukkan adanya kesadaran kelas sosial bawah yang kemudian memperjuangkannya, apalagi terkait persoalan ekonomi dan hak.

Tidak adanya kesepakatan antara penjual dan pembeli yang termuat di dalam Jejak Tanah terdeteksi di dalam bagian: “… merasa tanah pemukiman itu miliknya dengan memperlihatkan surat-surat kepemilikan, mereka gigih mempertahankannya meski ayah sudah memperlihatkan surat pembebasan yang sah. Beberapa kali diadakan pertemuan dengan jumlah uang pembebasan yang dirasa pantas, mereka tetap menolak untuk pindah. Alasan mereka, di tanah itu, keluarga mereka berkembang, termasuk lahan pencarian nafkah dan lahan pendidikan anak mereka. Kata mereka, memaksa pergi mereka sama dengan membunuh mereka … (Jejak Tanah, halaman 3).”

Fenomena di atas dapat dilihat sebagai tindak kejahatan perdata, dimana menurut KUHPerd, pasal 1457 dinyatakan bahwa jual beli adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar yang telah dijanjikan. Dalam suatu kegiatan jual-beli, harus terdapat kesepakatan antara penjual dan pembeli. Apabila tidak ada suatu kesepakatan dan salah satu pihak memaksakan kehendaknya maka akan terjadi pelanggaran perdata dan apabila pemaksaan tersebut mengakibatkan penderitaan maka pelanggaran perdata akan menjadi tindak kejahatan pidana.

“Ayah nakmas tidak membeli semua tanah yang di bebaskan, tapi menyengsarakan tanah.” (Jejak Tanah, halaman 5) yang mengungkapkan bagaimana tokoh pengembang baik secara sengaja maupun tidak sengaja telah melanggar KUHPerd pasal 570 yang secara hukum menjamin hak milik perseorangan pada suatu barang atau jasa, bahwa negara menjamin hak seseorang untuk memiliki dan menikmati suatu kebendaaan dan boleh dinikmati sepuasnya selama tidak melanggar Undang Undang, dan seseorang tidak boleh mengganggu hak milik orang lainnya. Hal ini berarti bahwa penggusuran merupakan suatu tindak kejahatan perdata yang mana telah melanggar KHUPerd tentang hak milik seseorang.


Pihak yang menjadi sasaran protes dan kritik rakyat/warga dalam hal ini yaitu anak dan keluarga juga tokoh Ayah sendiri yang pada akhirnya terbunuh. ”Para demonstrasi yang menentukan, ayah terbunuh. Bukan oleh senjata tajam, melainkan oleh peluru, musibah ini menyebabkan persoalan pembebasan tanah itu jadi melebar.”  (Jejak Tanah, 2002). Akibat dari persoalan ini  sang ayah pun terbunuh.

Setelah kejadian tersebut ada kejanggalan terjadi yang dijelaskan secara surealistis yaitu bersifat supernatural, seperti dalam kutipan berikut. “Ibu menjerit menghambur keluar sambil memeluk jenazah ayah yang mengapung itu, diikuti jeritan adik-adik yang tidak tahu apa yang sedang terjadi sambil menatap kosong jenazah berbalut kain kafan yang tidak menyentuh tanah itu, yang di tarik-tarik ibu sekenanya..”  dari kutipan tersebut kita dapat mengetahuiu bahwa jenazah ayah tidak dapat dikubur dan apabila dikubur, jenazah itu pun kembali datang ke rumah. "Bumi menolak jenazah ayah Nakmas," kata kiai itu penuh keyakinan. "Kenapa tanah menolak ayah yang telah jadi mayat, Kiai?" tanya saya. "Karena ayah Nakmas tidak bersahabat dengan tanah," jawab kiai."Tidak bersahabat bagaimana, Kiai?" "Ayah Nakmas memusuhi tanah."  (Jejak Tanah, 2002). Kutipan ini sangat sueralitas dan supernatural. Namun di sini kita dapat mengambil sisi sosial yang terjadi yaitu tokoh ayah sebagai pengembang bisnis Real Eastate ini pada saat hidupnya tidak bersahabat dengan tanah. Dia menggusur tanah dengan bebas tanpa surat keputusan pembelian yang jelas. Sehingga di sini sangat jelas sekali akibatnya ketika seseorang merampas hak orang lain.

PENUTUP

Cerpen “Jejak Tanah” Karya Danarto, memotret sekaligus menyindir terkait persoalan hak kepemilikan tanah sebagaimana diindikasikan terjadi pada realitas sosial sesungguhnya. Sekalipun cerpen atau fiksi, pengarang mampu menghadirkan tokohtokoh dan menyuguhkan konflik yang representatif. Tokoh-tokoh dalam cerpen bisa diidentifkasi menjadi dua kelas, kelas bawah dan atas. Kelas bawah yang secara umum bisa disebut rakyat, dan kelas atas sebagai pemilik modal atau pembisnis Real Eastate.

Relasi sosial dua kelas tersebut yang awalnya harmoni menjadi keruh (konflik) karena faktor ekonomi (Jejak Tanah). Faktor ekonomi (alat-alat produksi, status sosial, dan jabatan) ini pula yang menjadi indikator penentuan kelas sosial. Kelas bawah yang dimobilisasi tokoh rakyat miskin. Yang dimana mereka dirampas hak kepemilikan tanahya dengan pembebasan tanah tanpa surat izin pembelian yang jelas. Kelas atas di sini sebagai pemilik modal dengan bebas dia berkuasa untuk membebaskan tanah rakyat miskin dengan  tidak memikirkan keberadaan dan ekonominya. Hingga pada akhirnya rakyat miskin pun menyadari bahwa adanya praktik ketidakadilan yang terjadi dalm proses pembebasan tanah milik mereka. Para kelas bawah ini pun mampu untuk mengkritisi kepada pemerintah terkait ketidakadilan tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun