Mohon tunggu...
Adrian MuhamadReza
Adrian MuhamadReza Mohon Tunggu... Peternak - Investor

JAYA,JAYA,JAYA

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perang Dingin dan Pengaruhnya di Asia Tenggara

21 Juni 2021   08:22 Diperbarui: 21 Juni 2021   08:33 5701
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pada masa lampau pernah terdapat dua negara adikuasa atau superpower, yakni Amerika Serikat (AS) dan Uni Soviet yang saling berlomba untuk menyebarkan ideologi mereka masing-masing pada masa Perang Dingin. AS mengusung paham liberalis, sedangkan Uni Soviet mengusung paham komunis. Awalnya Perang Dingin lebih banyak difokuskan di negara-negara Eropa. Akan tetapi, sejak tahun 1949 Perang Dingin lebih dikonsentrasikan di wilayah Asia. Terlebih lagi ketika rakyat komunis China dapat merebut kembali wilayahnya dari kekuasaan AS (Phillips, 2001: 58). 

Hal ini yang kemudian juga menyebabkan rasa khawatir AS semakin meningkat. Hingga AS memutuskan untuk menerapkan containment policy atau kebijakan penahanan guna membendung seluruh pengaruh komunisme, khususnya di kawasan Asia. Dengan kebijakan tersebut, AS  memusatkan kekuatannya, baik dari segi geografis maupun politik, di setiap titik yang sekiranya merupakan lokasi dimana Uni Soviet akan menyebarluaskan paham komunisnya. Dalam hal ini AS menggaet negara-negara lainnya, khususnya di kawasan Asia Tenggara, dengan menawarkan kerjasama dalam bidang ekonomi dan politik, serta mutual security sebagai bentuk perlawanan terhadap Uni Soviet

AS mampu mengubah cara pandang beberapa negara-negara kawasan Asia Tenggara terhadap AS yang tidak jarang dihindari oleh negara-negara lainnya. Hal ini dapat dilihat dari partisipasi delapan negara di dalam pembentukan Southeast Asia Treaty Organization (SEATO) pada tahun 1954, yakni AS, Inggris, Australia, Selandia Baru, Perancis, Pakistan, Filipina dan Thailand (Weatherbee, 2005: 59). 

Di sisi lain, negara-negara yang baru saja mengalami dekolonialisasi pasca Perang Dunia II, seperti Myanmar, Kamboja, Indonesia, dan Laos lebih cenderung bersikap netral dan memilih untuk menerapkan prinsip politik bebas aktif. Prinsip tersebut kemudian menjadi basis pembentukan Gerakan Non-Blok dimana gerakan ini mengedepankan nilai-nilai anti imperialisme, anti kolonialisme, dan hidup berdampingan secara damai. 

Namun, tidak dipungkiri bahwa gerakan ini memicu konflik-konflik internal di Asia Tenggara Dengan berbagai kekacauan yang hadir di Asia Tenggara berkat Perang Dingin, gerakan-gerakan ekstrimis pun bermunculan sebagai penolakan terhadap intervensi yang dilakukan oleh negara-negara besar tersebut. Gerakan anti-komunis dan anti-imperialis semakin meluas di negara-negara Asia Tenggara. 

Konflik antar negara di region tersebut juga tidak terhindarkan . Contoh, Ganyang Malaysia yang dikemukakan oleh Presiden Indonesia kala itu, Soekarno, terhadap Malaysia. Soekarno menilai bahwa kedudukan Inggris di Malaysia dapat menjadi malapetaka berikutnya bagi Asia Tenggara, terutama Indonesia

Keikutsertaan Asia Tenggara secara langsung ataupun tidak langsung dalam Perang Dingin tersebut, sedikit banyak mempengaruhi hubungan dan interaksi negara di Asia Tenggara dengan US, USSR maupun RRC. Seperti contoh, pembentukan SEATO sebagai salah satu strategi pertahanan AS di Asia Tenggara menstimulus keanggotaan negara-negara di Asia Tenggara yang pada akhirnya bertujuan untuk mempertahankan kepentingan AS. 

SEATO merupakan aliansi pertahanan yang tidak berbasis militer layaknya NATO, melainkan lebih mengarah pada aliansi politik yang memberikan kerangka politik multilateral sebagai startegi pertahanan dari ancaman komunis (Weatherbee, 2005). Ada pula negara-negara di Asia Tenggara yang memilih untuk tidak berpihak pada salah satu sisi great powers seperti Burma (Myanmar), Kamboja, Indonesia dan Laos. Negara tersebut lebih memilih untuk bersikap netral dan tidak ikut serta dalam pertarungan pertahanan kolektif negara hegemon. Hal inilah yang kemudian mendasari dibentuknya Gerakan Non-Blok dan Konferensi Bandung pada tahun 1955. Dalam komunik ini ditetapkan sepuluh prinsip yang mengatur bagaimana setiap negara dapat hidup damai berdampingan satu sama lain

Jika diperhatikan lebih lanjut, sejatinya pada mulanya Perang Dingin merupakan perang antarkekuasaan bipolar. Namun, lambat laun hal tersebut tidak lagi demikian ketika China semakin eksis di dunia Internasional. Memang China awalnya memihak pada Uni Soviet yang sama-sama menganut paham komunis. Akan tetapi ketika terjadi perebutan kekuasaan di antara keduanya, China pun beralih berpihak pada AS, khususnya melalui diplomasi ping-pong pada tahun 1971 (Yahuda, 2011: 64). 

Yang perlu digarisbawahi di sini adalah China memiliki ambisi yang sama besarnya dengan AS dan Uni Soviet untuk menguasai dunia. Akan tetapi, orientasi China lebih terpusat pada bidang ekonomi. Sehingga dapat dikatakan bahwa pada tahun 1971-1989 merupakan masa perang tripolar, yakni antara China, AS, dan Uni Soviet  

Dari pemaparan diatas bisa disimpulkan bahwa sejatinya kita sebagai Negara berbangsa dan berdaulat ini jangan sampai terpengaruh akan konflok yang terjadi di negara lain atau perang rivalitas antar negara, setiap bangsa harus mempunyai pendirian dan juga punya komitmen dengan negara sendiri, pengaruh yang diberikan akibat konflik dari negara lain bisa sangat berdampak besar apabila suatu negara terpengaruh dengan konflik tersebut maka dari itu setiap negara harus menjalani pendirian bangsanya

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun