Mohon tunggu...
Adrian Chandra Faradhipta
Adrian Chandra Faradhipta Mohon Tunggu... Lainnya - Menggelitik cakrawala berpikir, menyentuh nurani yang berdesir

Praktisi rantai suplai dan pengadaan industri hulu migas Indonesia_______________________________________ One of Best Perwira Ksatriya (Agent of Change) Subholding Gas 2023____________________________________________ Praktisi Mengajar Kemendikbudristek 2022____________________________________________ Juara 3 Lomba Karya Jurnalistik Kategori Umum Tingkat Nasional SKK Migas 2021___________________________________________ Pembicara pengembangan diri, karier, rantai suplai hulu migas, TKDN, di berbagai forum dan kampus_________________________________________ *semua tulisan adalah pendapat pribadi terlepas dari pendapat perusahaan atau organisasi. Dilarang memuat ulang artikel untuk tujuan komersial tanpa persetujuan penulis.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Patgulipat Kasus Djoko Tjandra, Cermin Bobroknya Penegakan Hukum di Indonesia

13 Agustus 2020   10:01 Diperbarui: 13 Agustus 2020   09:50 759
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Sumber; kompastv

Kasus Djoko Tjandra kembali menyeret nama aparatur penegak hukum di Indonesia. Terakhir adalah Jaksa Pinangki Sirna Malasari yang resmi ditetapkan sebagai tersangka karena telah ditemukan bukti permulaan yang cukup terlibat dalam pelarian taipan Djoko Tjandra. Tidak tanggung-tanggung dia diduga menerima uang sekitar 7 miliar rupiah dari Djoko Tjandra.

Ini adalah rangkaian ketiga setelah tiga jenderal polisi dicopot dari jabatannya dan disusul dengan ditahannya pengacara Djoko Tjandra, Anita Kolopaking. Diyakini semakin banyak aparatur penegak hukum di Indonesia yang akan terseret dalam lingkaran kasus pelarian Djoko Tjandra.

Terungkapnya keterlibatan aparatur penegak hukum ini juga seolah makin mempertegas wajah muram dan bobroknya penegakan hukum di Indonesia. Bayangkan tiga jenderal di kepolisian diduga kuat terlibat dalam pelarian Djoko Tjandra selama 11 tahun ditambah pengacaranya sendiri dan seorang jaksa.

Ini sejatinya hanya contoh kecil seperti fenomena gunung es dari banyaknya kongkalikong para aparatur penegak hukum di Indonesia dengan para pelaku tindak pidana korupsi dan kasus-kasus lainnya.

Motif finansial dengan jaminan sejumlah besar uang dan juga fasilitas lain yang diberikan membuat mereka mudah tergoda dan menggadaikan integritasnya kepada negara.

Contoh kasus yang mencerminkan bobroknya penegakan hukum di Indonesia adalah baru-baru ini ketika korban pemerkosaan Bintaro yang mengungkapan ceritanya di Instagram bersama dengan unggahan foto pelaku pemerkosaannya yang tertangkap CCTV. 

Dia menyampaikan bahwa hal ini terpaksa dia lakukan, karena kepolisian terkesan memendam kasus ini bahkan sempat mengatakan bahwa kasusnya tidak dapat diproses karena kurangnya bukti. 

Sebagai aparat penegak hukum apakah mereka setidaknya berusaha optimal untuk mengusut ini? Hanya karena viral di media sosial barulah mereka bertindak untuk kembali mengejar pelaku pemerkosaan?

Cerita lain seperti kasus Novel Baswedan yang bertahun-tahun diusut tanpa kejelasan dan akhirnya menangkap terduga "pelaku" walau masih banyak dilingkupi misteri tentang dugaan keterlibatan pejabat di kepolisian otak penyiraman air keras Novel Baswedan. 

Logika yang aneh ketika untuk kasus terorisme ataupun kasus-kasus lainnya kepolisian bisa dengan cepat mencari informasi bahkan menangkap pelakunya, namun untuk kasus Novel ini terkesan lamban dan banyak yang ditutup-tutupi.

Paling memalukan tentu kita ingat kasus Hakim Akil Mochtar, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi yang merupakan lembaga peradilan konstitusi di negeri ini akhirnya dijatuhi hukuman seumur hidup atas kasus menerima suap atas pengurusan sengketa pemilihan kepala daerah. 

Dia yang merupakan seorang hakim sekaligus ketua MK dengan semena-mena menggadaikan tanggungjawab, integritas dan kesetiaannya pada negara.

Dari kepolisian, kejaksaan, dan bahkan lembaga peradilan sekarang sudah banyak digrogoti para mafia kasus. Dengan kekuasaan dan akses yang mereka miliki mereka memutarbalikkan fakta, menutupi informasi bahkan melindungi para tersangka, ini adalah bukti kuat bobroknya aparatur penegakan hukum di Indonesia.

Selain itu juga "hukum yang pilih kasih" masih sering merajalela di negeri ini. Kita sering dipertontonkan bagaimana para tersangka kasus korupsi hanya dihukum beberapa tahun dengan ganti rugi yang tidak sepadan bagi negara, sedangkan nenek-nenek yang mencuri kayu ataupun kakao yang nilainya tidak seberapa harus dijebloskan ke penjara. Hukum layaknya tajam ke atas dan tumpul ke bawah.

indeks penegakan hukum
indeks penegakan hukum
Buruknya kasus penegakan hukum di Indonesia tercermin juga dari penilaian World Justice Project pada 2020 yang memberikan skor 0,53 dari kisaran nilai 0 sampai dengan 1 sebagai skor paling tinggi dan menempatkan Indonesia pada peringkat 59 dari 128 negara yang di survei. 

Namun untuk skor keadilan di bidang kriminal hanya mendapatkan skor 0,39 peringkat 92 dari 128, keadilan di bidang sipil 0,46 peringkat 95 dari 128 bahkan yang paling mengkhawatirkan adalah ketiadaan korupsi yang mendapatkan skor hanya 0,39 yang berarti masih banyak sekali terjadi kasus korupsi di Indonesia  dan skor itu berhasil menempatkan Indonesia pada peringkat 92 dari 128 negara.

Penangkapan Djoko Tjandra dan pengungkapan keterlibatan aparat penegak hukum Indonesia ini harusnya menjadi momentum kita untuk membenahi bobroknya penegakan hukum di Indonesia secara umum.

Kita perlu mencari akar permasalahannya dan solusinya.

Apakah karena kurangnya tunjangan dan pendapatan untuk para aparat penegak hukum? Solusinya apakah dimungkinkan mekanisme reward and punishment yang lebih ketat untuk mengatasinya sehingga mereka terpacu untuk lebih berintegritas dan jika melanggar akan dihukum seberat-beratnya tanpa pilih kasih?

Apakah juga mungkin karena memang adanya corruption by greed karena gaya hidup dan lingkungan yang memaksanya berbuat demikian? Solusinya apakah dimungkinkan pembekalan hidup sederhana serta pengkondisian hidup sederhana di dalma institusi penegakan hukum?

Apakah karena kurangnya pengawasan? Solusinya apakah dimungkinkan untuk membuat system whistleblower yang lebih terbuka dan mudah diakses serta adanya jaminan perlindungan terhadap whistleblower? Pemanfaatan media sosial juga bisa jadi solusi lainnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun