Mohon tunggu...
Brader Yefta
Brader Yefta Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk berbagi

Just Sharing....Nomine Best in Specific Interest Kompasiana Award 2023

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Dilema Pemilik Kos di Tengah Pandemi

20 April 2021   16:37 Diperbarui: 21 April 2021   05:01 1201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi menunggak biaya kos (Dokumentasi pribadi)

''Mau diusir enggak enak, mau ditagih enggak enak juga....''

Quote di atas itu curhatan salah seorang nasabah yang kebetulan punya usaha kosan. Jauh sebelum pandemi melanda, bisnis jasa penginapan yang dikelola mereka hampir tak bermasalah dalam pembayaran. Kini saat pandemi kondisi berubah. 

Dari sebelas kamar yang dikelola, hanya tersisa 8 kamar yang ada penghuninya. Itu pun dari 8 kamar tersebut, hanya separo penyewa yang bayar. Sisanya meminta penundaan, meski nunggaknya panjang dari bulan ke bulan. 

Habis kesabaran sudah pasti dirasakan oleh si pemilik kos. Mau meminta yang tak bayar untuk meninggalkan bilik, rasanya kok tegaan banget. Apalagi ada di antara mereka yang sudah memiliki momongan. 

Tapi kalo enggak ditagih juga bakalan repot karena pengeluaran untuk biaya air PDAM, listrik, sumur bor, uang sampah yang notabene bahan buangan itu juga berasal dari sampah para penyewa kosan, semuanya harus dibayarkan setiap bulan. 

Ibarat uang masuk antara ada dan tiada, uang keluar dari kantong sendiri sudah pasti ada yang musti dianggarkan. 

Kalau sebulan dua bulan mungkin masih bisa ngambil dari pos dana lain, tapi kalo keterusan selama lebih dari 4 bulan, lha apa enggak bikin mumet. 

Dilema itulah yang dirasakan Bu Fatmi (sebut saja namanya begitu), wanita berusia 58 tahun yang sudah memulai bisnis kos-kosan sejak 12 tahun silam.

Modal untuk membangun usaha kosan yang dulu katanya dananya dipinjam dari salah satu Bank BUMN dan sudah lama lunasnya. 

Dengan begitu, pemasukan dari pembayaran bulanan para penyewa biasanya diputar lagi ke sejumlah usaha kecil lainnya. 

Namun pandemi yang berkepanjangan, berdampak pada pekerjaan dan usaha yang dikelola. Para penyewa yang menghuni kamar-kamar sewaannya terlalu lama menunggak sehingga mengakibatkan kesulitan membayar. 

"Lama-lama bosan juga dengar alasan ini alasan itu sehingga enggak bisa bayar. Mereka juga pasti bingung, mau ngomong apalagi sama ibu dan bapak," curhat sang majikan via telepon dengan saya. 

Kesulitan bertambah manakala beliau hendak mengajukan pinjaman agunan ke kantor. Hasilnya tak bisa disetujui karena sang anak menggunakan sertifikat rumah beliau untuk pinjaman ratusan juta di salah satu bank pemerintah, dan terdeteksi di sistem sebagai nasabah relaksasi pemerintah. 

Perlu diketahui, bagi bapak ibu yang sudah tercatat ikut program relaksasi dan keringanan kredit dari pemerintah, hampir pasti akan sulit mengajukan pembiayaan kredit baru  dengan kondisi kredit relaksasi tersebut masih jalan atau outstanding piutangnya masih besar. 

Seperti itulah yang dirasakan salah seorang nasabah saya ini. Sudah tak bisa mengajukan kredit baru, meski limitnya tak sampai dua digit, ditambah perkara anak kos yang telat pembayaran bulanannya membuat Bu Fatmi kesulitan.

"Apa yang bisa saya lakukan?" tanya beliau dengan nada hopeless. 

Saya terdiam beberapa saat. Membiarkannya berbicara dan mengungkapkan apa yang dirasakan, sembari berpikir apa solusi atau ide yang bisa disampaikan ke beliau. 

Sebenarnya kendala dalam pembayaran sewa tempat tinggal, tak hanya pada bisnis kos-kosan. Tapi juga pada mereka yang mungkin mengontrak rumah, ruko hingga cicilan hunian tempat tinggal baik KPR pemerintah maupun rumah non subsidi. 

Di satu sisi kondisi pandemi berdampak memangkas penghasilan masyarakat karena bidang usaha dan jenis pekerjaan yang dilakoni bisa jadi berhenti atau tetap berjalan tapi tersendat-sendat. 

Itu belum diitambah dampak pembatasan sosial berkaitan batasan aktivitas, yang meski tidak diberlakukan di semua kota atau propinsi, tapi secara mata rantai ikut mempengaruhi, secara nasional kan negara kita yang memang geografisnya kepulauan. 

Hampir sama yang dialami salah satu nasabah saya di Sumbawa NTB, di Bali kondisi serupa juga terjadi pada sejumlah pemilik kos. 

Seorang sahabat yang kebetulan masih ngekos dan bekerja di Denpasar, menginformasikan bahwa sejumlah kamar sewaan di tempatnya sudah berbulan-bulan kosong sejak pendemi bergulir. 

Para penyewa sebelumnya yang kebetulan para pendatang di Pulau Dewata, memilih lebih baik pulang ke daerah asalnya daripada bertahan tapi tidak mampu membayar. 

"Mereka tak ingin memberatkan majikan kos," katanya dia yang sudah ngekos 5 tahunan di situ dan masih bekerja di sebuah perusahaan kontraktor. 

Jadi bagi pemilik kos atau kontrakan, berikut beberapa cara di bawah ini bisa dilakukan untuk menjembatani dilema yang dirasakan para pemilik kos dengan situasi dan kondisi terkait mandegnya pembayaran dari penghuni kos, antara lain: 

1. Bicaralah secara terbuka
Tak ada salahnya berbicara secara langsung dan personal tanpa diketahui penyewa kamar lain. Rasanya lebih menyentuh nurani si penyewa dan membangkitkan kesadaran akan tanggung jawab. 

Biasanya penyewa yang menunggak merasa malu dan takut, namun dengan pemilik kos yang mendatangi langsung secara baik-baik, rasanya bisa memotivasi mereka untuk berinisiatif mencari usaha dan tidak pasrah dengan keadaan. 

2. Berikan batas toleransi
Toleransi pembayaran sudah biasa dilakukan pemberi kredit, seperti perbankan dan perusahaan pembiayaan. Manfaatnya di satu sisi memberi tambahan jangka waktu untuk konsumen berupaya maksimal. 

Di satu sisi dengan adanya batasan waktu, penyewa tidak bisa berpangku tangan dan berleha-leha karena waktunya akan terus berjalan hingga mendekati batas akhir dengan konsekuensi tertentu. 

3. Bila perlu pecahkan rincian pengeluaran dan bebankan pada penyewa
Sebenarnya ini alternatif saja, bila tidak tega hati meminta keluar. Andai pemberian toleransi dalam bentuk boleh tidak membayar selama sekian bulan karena pandemi, tapi bebankan biaya-biaya lain yang rutin dikeluarkan.

Misal sewa per bulan 500 ribu, tapi penyewa tidak mampu dibayar, bisa dibebankan cukup bayar uang sampah saja yang 100 ribu per bulan. 

Rasanya itu cukup membantu meringankan total biaya operasional di samping membangun rasa memiliki dan rasa berterima kasih. 

4. Alih tenaga, tawarkan bekerja di bidang usaha milik pemilik kos
Beberapa teman di  kota lain menuturkan bahwa tidak  sedikit penyewa yang tidak mampu membayar, saking enggak enaknya pada pemilik kos dikasih dispensasi sebulan dua bulan karena pandemi, tawarkan mereka jadi pembersih kos, semisal dengan bersih-bersih atau ngurusin taman. Atau bisa saja alih tenaga, dengan membantu dalam bidang usaha lain yang dimiliki pemilik kos (seandainya ada). 

Misalnya kalo pemilik kos, membutuhkan jasa sopir dalam bidang antar jemput atau punya usaha rumah makan, bisa saja anak kos yang nganggur lantaran pandemi, diajak bekerja di sana dan gajinya dipotong sebesar nominal sewa. 

Rasanya ini cukup sama-sama menguntungkan juga, di samping nilai kebaikan dan amal. 

5. Bila boleh mengizinkan anak kos memulai usaha di tempat kos
Kadang ada pemilik kos yang membatasi dan tidak mengizinkan anak kos memulai usaha tertentu dengan sejumlah alasan. Misalnya usaha laundry karena sudah pasti banyak pemakaian air dan listrik dan beberapa usaha lain. 

Di samping itu pemberian awal sewa bilik bukan buat usaha, kecuali mungkin kontrakkan rumah atau ruko. Tapi dengan kondisi yang menjepit, tidak ada salahnya melempar ide tersebut demi memaksimalkan usaha penyewa terhadap tanggung jawabnya. 

Namun kerap ditemui ada pemilik kos tak masalah bila penyewa menggunakan bilik sewaan untuk menjalankan usaha lain sekalian tinggal di situ, asal tak mengganggu penghuni lain dan memberatkan. 

6. Opsi terakhir, bila terasa berat banget, minta untuk keluar tanpa perasaan bersalah
Ada pepatah, bisnis ya bisnis. Empati dalam bisnis penting, tapi jangan porsi empati lebih banyak dibanding untung ruginya. Mengapa? Karena ada biaya operasional yang mesti dikeluarkan terus menerus, apalagi setelah batas masa toleransi. 

Pemilik kos bukan dinas sosial yang punya tanggung jawab sosial terhadap warganya, juga tak bisa memberi bantuan sosial A,B, C dan D secara berkepanjangan karena masih ada pos pengeluaran lain yang penting juga dan nantinya akan berdampak juga. 

Jadi bila memang sudah terasa berat pake banget, dan setelah lewat masa dispensasi tanpa ada realisasi tanggung jawab, tidak ada salahnya minta baik-baik untuk meninggalkan. 

Enggak enak memang apalagi bila pemiliknya tipikal enggak tegaan, suka kasihan sama orang tapi ya ini lah bisnis, dan selalu ada konsekuensi. 

Salam

Baca juga:Dilema Rumah Berpagar Tinggi dan Tertutup di Komplek Perumahan Warga Biasa 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun