Mohon tunggu...
Brader Yefta
Brader Yefta Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk berbagi

Just Sharing....Nomine Best in Specific Interest Kompasiana Award 2023

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Antara Mama dan Kisah 2 Guru yang "Menerbangkan" Saya

27 November 2020   00:26 Diperbarui: 28 November 2020   07:40 794
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi | (KOMPAS.COM/KRISTIANTO PURNOMO)

Perkataan yang diucapkan tepat pada waktunya, adalah seperti buah apel di pinggan perak....(Proverb)

Selamanya saya akan ingat pada guru. Bukan karena tanggal 25 November kemarin  diperingati sebagai Hari Guru. Namun, saya punya kenangan pribadi terhadap 2 guru yang merubah jalan hidup saya.  

Kedua pendidik ini dihadirkan Tuhan untuk 'menerbangkan' saya dari kotak tempurung.

Guru pertama seorang wanita berdarah Batak. Berasal dari Sumatra Utara. Punya suami seorang PNS eselon di kantor gubernur (sekarang biasa disebut kantor pemprov). Saat saya SMP, usianya mungkin sudah 40an.

Perawakan sedang, rambut lurus dipotong pendek dan berkulit putih. Bentuk wajah kotak dengan aksen suara khas batak kala mengajar. 

Keras dan tegas. Selain menjabat sebagai kepala sekolah, Ibu satu putri ini juga mengajar mata pelajaran Matematika. 

Saat kelas 3 (sekarang kelas 9 namanya), beliau memanggil saya ke ruangannya. Di ruang kerja dimana dia diserahi tanggung jawab oleh kedinasan memimpin sebuah SMP negeri di ibu kota propinsi itu, saya duduk di depannya. Layaknya anak remaja tanggung usia belasan. 

"Kamu yang namanya Adolf?" tanya nya sembari membetulkan kaca mata ples yang menutupi bola matanya

"ya Bu," jawab saya , sambil main - main kuku jari

"Orang tua kerja dimana?" tanya nya lagi

"Papa PNS tapi sudah almarhum. Kami tinggal dengan Mama,' jawab saya, polos -polos aja

Waktu itu tak tahu mengapa beliau bertanya lebih dalam soal diri saya. Ada banyak pertanyaan lain lagi yang diajukan. 

Ujung dari pertemuan pertama di ruangan beliau kala itu, adalah sebuah saran agar mengikuti seleksi calon siswa SMA Taruna Nusantara di daerah. 

Saya tak tahu seperti apa sekarang proses seleksi dan rekrutan di SMA unggulan itu, yang dulunya putra Pak SBY, Mas AHY,juga sekolah di sana. 

Tapi saat SMP dulu, atas dasar usulan dari kepala sekolah tersebut,saya mendaftarkan diri ke Kantor Kodim setempat. 

Om-om berbaju loreng di kesatuan tersebut menerima berkas dan pendaftaran para siswa. Ternyata banyak teman-teman dari berlainan sekolah yang mendaftar. 

Berseragam putih biru, semua kami para cowok -cowok abg plus ababil,berbaris di halamannya. Dari pagi hingga siang jam 2 an selama 1 hari.

Kemudian dipanggil masuk. Sekali panggil 4 orang secara acak. 

Setelah diukur tinggi badan dan berat tubuh, kemudian diminta berbaris di depan bapak -bapak TNI. Menariknya tak ada satupun tante -tante Kowad. 

"Jongkok, berdiri, balik belakang. Buka celananya (menyisakan CD)," demikian instruksi yang terdengar

Ternyata ini adalah semacam tes awal atau pratest untuk melihat kondisi fisik calon. Pantasan laki -laki semua di ruangan ini...hehe. 

Dari cari tau sana sini, ternyata yang diamati adalah apakah ada varises, kelainan atau pembengkokkan tulang belakang (seperti skoliosis, lardosis atau kifosis) dan pengamatan awal organ lain secara kasat mata.

Saya sadar sepertinya tak lulus. Selain postur yang sedikit bungkuk, keinginan tuk menjadi seorang TNI atau Polri, juga tak sebegitu menggelora sejak kecil. 

Lebih tertarik jadi pegawai kantoran, yang menjelajah negeri . Namun karena ngga enak dan juga menghormati arahan dari Sang Kepala Sekolah,saya ikut aja prosesnya. 

Hasilnya keluar sesuai prediksi. Saya tak lulus, tapi ada satu dua teman, yang melangkah ke tahap selanjutnya. Perihal ketidaklulusan itu saya sampaikan ke beliau. Dan luar biasanya...beliau tetap peduli hingga pengumuman ujian akhir nasional. 

"Mau lanjut kemana?" tanyanya

"Belum tau Bu. Kalo kuliah, harus ke SMA. Tapi masih ada tanggungan adik, kayanya ngga cukup pensiunan papa.Bisa sih tapi...palingan D1 atau D2," jawab saya

"Nem kamu bagus, masuk SMA Negeri aja. Di sana biasanya ada tawaran beasiswa dari pemerintah dan yayasan untuk siswa terpilih. Ibu percaya kamu bisa dapat agar bisa kuliah ke luar daerah. ," saran beliau. 

Saya iya kan saja,meski sadar orang tua saya,dalam hal ini Mama, tak punya angan dan mimpi sejauh itu buat anaknya. Menjadi single parent ditinggal suami meninggal dengan 3 anak yang masih kecil,sudah merupakan beban yang dirasakan bagi beliau.

Memang ada sih jaminan pensiun Papa yang bisa menanggung saya dan kakak juga adik hingga berumur 25 tahun, sesuai peraturan kepegawaian negeri sipil untuk tanggungan 3 anak dan istri. 

Dan memang seperti itu yang kami rasakan hingga saya kuliah, meski jumlahnya akan berkurang setelah masing-masing anak mencapai usia yang disyaratkan karena dianggap sudah bisa mandiri.

Namun bagi Mama saya, yang kini sudah berpulang 5 tahun lalu, sampai anak-anaknya tamat SMA, sudah luar biasa. Perjuangan seorang Ibu single parents.

Mungkin karena itu,terkenang dalam memori. Setiap bulan saat terima gaji pensiun, entah lewat PT Taspen atau kadang dialihkan ke Bank Pembangunan Daerah, kami diajarkan untuk berdoa agar dana yang diterima, digunakan untuk tujuan baik,salah satunya untuk biaya sekolah.

"Kalo tidak sekolah, ko mau jadi apa." nasihat Mama yang selalu didengungkan.

Nasihat orang tua dan dorongan semangat dari guru di balik kalimat: 'Ibu percaya kamu bisa'

Guru saya yang dikisahkan di atas, bukanlah orang lokal. Tidak berambut keriting dan berkulit coklat sedikit hitam sama seperti saya. Dia mungkin sudah merantau jauh lintas propinsi lintas pulau, demi sebuah visi dan misi untuk menjadi pengajar.

Mengabdikan ilmu dan menginvestasikan hidup tuk melihat anak -anak didiknya bertumbuh dengan potensi yang dititipkan Sang Kuasa. Kepedulian yang berasal dari hati.Berakar dari kebhinekaan. Melintasi suku, agama dan ras. 

Kalimat penyemangat dari beliau membuat saya memutuskan tuk lanjut sesuai arahannya. Menginjak SMA,yang ada dalam kepala saya adalah bagaimana lulus dari SMA dapat beasiswa tuk bisa kuliah di universitas. Entah dari mana asal beasiswa itu. 

Saya juga ingin meringankan beban orang tua agar kelak bila mimpi itu terwujud,paling tidak ada tambahan sumber finansial lain tuk biaya pendidikan.

Apakah kebetulan, atau sudah jalannya, saat kelas 1 SMA, saya dipanggil lagi sama wali kelas. Ini adalah guru kedua yang berpengaruh dalam hidup saya,setelah guru di SMP dulu. 

Beliau juga bukan orang asli daerah. Seorang wanita Jawa dari Jogja,yang memutuskan jadi PNS Guru dan mengajar mata pelajaran Sejarah di sekolah. Suaminya seorang dosen.

"Kalo kamu bisa pertahankan nilai, Ibu percaya kamu bisa ketrima di universitas negeri di luar propinsi," demikian teringat perkataan beliau

Dalam hati, waktu itu, saya hanya berpikir, mengapa dua orang guru, yang sama -sama perempuan dan tak saling kenal, bisa mengatakan hal yang sama. 

Yang pasti perkataan mereka melecut semangat untuk menggenapi mimpi dan visi. Toh seandainya itu tergenapi, bisa megurangi beban finansial orang tua juga. Waktu itu mikirnya seperti itu..hehe. 

Seperti rangkaian yang menyambung. Saat di kelas 3 sebelum UAN, wali kelas memanggil saya ke ruangannya. Beliau menyampaikan bahwa nama saya diikutkan oleh pihak sekolah, sebagai calon mahasiswa penerima beasiswa ke luar propinsi. 

"Masih calon ya.....syaratnya mesti lulus PMDK atau lulus PTN,baru dapat," ujar Pak Bagus, sebut saja begitu namanya, seorang guru yang mengajar mata pelajaran Kimia.

Beberapa bulan setelah dia mengatakan itu, puji Tuhan, alhamduliah, lulus dan ketrima. Beasiswa itu seperti anugerah.

Satu hari sebelum keberangkatan ke daerah tujuan studi,saya pamitan dan mengunjungi kedua guru ini di rumahnya masing -masing. 

"Banyak terima kasih Ibu. Jika bukan Ibu yang membuka mata saya untuk melihat bahwa saya bisa sampai ke situ, mungkin saya tak akan sampai di titik ini, " demikian ucapan saya, sembari memeluk dan memberi hormat. 

Meski itu sudah terjadi sekian tahun silam,insight nya yang saya dapat adalah guru saya,dan juga guru -guru di luar sana, adalah orang -orang yang melihat potensi pada diri anak didiknya. Tentu ada banyak kisah yang jauh lebih dashyat.

Bisa jadi,benih kemampuan alias 'mutiara terpendam' di dalam diri siswa itu tak dilihat oleh orang tua murid dan keluarganya, bahkan mungkin oleh siswa itu sendiri, namun Sang Guru dengan pengalaman dan intuisinya,bisa melihat ' yang tak terlihat'.

Guru adalah orang yang berangkat dari kepedulian yang tulus. Mereka bahkan menguatkan rasa percaya sewaktu anak didiknya tak percaya pada kemampuannya. 

Sama seperti kedua guru saya, mereka 'menerbangkan' saya, di saat saya sendiri tak yakin bisa terbang. 

I believe i can not fly....but they believe i can fly

Tentu ada banyak guru seperti itu di luar sana. Para siswa terberkati tak hanya oleh ilmu, tapi juga oleh kepedulian dan dorongan tulus. Mereka tau bagaimana mengucapkan perkataan yang tepat,menyemangati dan dampaknya merubah jalan hidup anak didiknya.

Salam untuk Guru Indonesia. 

Sumbawa NTB, 26 November 2020

23.59 Wita

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun