Mohon tunggu...
adhi nibras
adhi nibras Mohon Tunggu... -

saya orang kecil yang berusaha menjadi petani yang sukses

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Anak Jalanan Siapa Peduli

22 November 2014   17:13 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:07 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Budi, sebut saja begitu, bocah kecil berkepala gundul itu tengah sibuk menghitung kepingan rupiah hasil jerih payahnya mengamen. Profesi yang emang setiap harinya ia jalani. Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Hujan yang mengguyur kota Jakarta sudah mulai mereda. Menyisakan jalanan yang agak licin dan tanah basah. Di depan toko elektronik, Budi diam mematung sambil matanya tak berkedip melihat tayangan telenovela. Mungkin ia sedang mencoba memahami arti hidup ini. Sebab yang ia tahu dalam film, bahwa kehidupan itu serba mudah dan enak. Itu sebabnya, Budi sempat juga bermimpi ingin menjalani kisah hidup seperti dalam film itu.

Menjelang maghrib, Budi terlihat kembali memainkan gitar mungilnya sambil bernyanyi dengan suara yang super sumbang di sebuah bis kota. Ya, anak umur 11 tahun itu seperti nggak mengenal waktu. Sebab waktu baginya ibarat harapan, yang akan terus dikejar. Ia menyadari sepenuhnya, bahwa di jalanan adalah hidupnya. Ia nggak kenal siapa orangtuanya. Yang ia kenal hanya uang, petugas tramtib, dan teman sesama anak jalanan.

Dari hari ke hari hidup Budi adalah di jalanan. Langit jadi atapnya, dan angin menjadi selimutnya. Itu dilakoni bukan karena Budi betah dengan kehidupan seperti itu, justru ia pun pernah ingin untuk hidup seperti layaknya anak-anak lain yang punya orangtua. Di saat Budi harus bersusah payah mengumpulkan uang recehan di terik matahari dan guyuran hujan, anak-anak yang lain bisa sekolah, punya pakaian bersih, makanannya bergizi, dan bisa bercengkerama dengan ortunya di ruang keluarga dengan nyaman. Budi juga ingin merasakan kasih sayang seorang Ibu. Sebab, sejak kecil Budi belajar sendiri tentang kehidupan jalanan yang keras dan tak kenal kompromi.

Suatu ketika Budi pernah berdiri di depan sebuah Mal. Ia kebetulan melihat anak kecil dituntun ibunya menuju mobil. Mata Budi berkaca-kaca, sebab ia tak pernah merasakan hal itu. Dalam kamus hidupnya selama ini, Budi tak pernah merasakan sentuhan kasih sayang ibunya ketika ia pertama kali belajar bicara. Padahal yang ia tahu sekarang, ada orangtua yang ketika mengetahui anaknya pandai menirukan sesuatu, serta merta anaknya dipangku, dipeluk, diciumi, dan disapa dengan ucapan-ucapan yang lembut. Namun ia tidak merasakan kasih sayang seperti itu. Sebab, itu tadi, ia dibesarkan di jalanan, entah siapa orang tuanya, dan entah di mana mereka berada sekarang. Ia tidak tahu dan tidak peduli.

Inilah hidup, yang kita pun menyadari bahwa tak selamanya bisa memilih. Suka maupun duka, harus kita terima dengan lapang dada. Budi, dan juga ribuan anak-anak jalanan lainnya adalah potret buram kehidupan negeri ini. Entah mereka jadi pengamen seperti Budi, entah sebagai penjual koran, pengemis, preman, pencoleng, pemulung, dan beragam yang muncul akibat kebutuhan hidup yang makin mendesak dan mencekik leher.

Kawan, mereka ini bukan siapa-siapa. Mereka adalah sebagian dari kita yang kesulitan mencari sesuap nasi dengan cara normal sudah tak terkendalikan. Itulah mereka, pemulung yang mengais-ngais buangan apa saja yang tak terpakai lagi dan dijual sekadar buat beli makanan, pengamen di lampu-lampu merah, pengecer yang menjaja koran dan majalah, bahkan sampai pengemis yang merangkap preman dan pencoleng.

Inilah sepenggal cerita dari sudut remang-remang Jakarta, kota metropolitan di mana denyut kehidupan berlangsung terus menerus, sepanjang 24 jam sehari. Di ibukota ini, semua berhak hidup, termasuk anak-anak jalanan yang kini memenuhi jalan-jalan protokol di seluruh wilayah setiap harinya. Karenanya, meski hidup di sudut-sudut buram kota Jakarta, mereka adalah teman-teman kita juga. Yang kehilangan masa kanak-kanaknya direnggut kerasnya kehidupan jalanan. Sebagian besar hidupnya tak pernah mendapatkan kasih sayang dari ortu dan masyarakatnya.

Dengan kenyataan seperti ini, banyak kalangan yang peduli untuk mengurus mereka. Maka bermunculanlah rumah-rumah singgah untuk sekadar menampung mereka, kemudian membekali dan mendidik mereka dengan keterampilan khusus untuk bisa menatap masa depan dengan lebih jelas dan terarah. Namun anehnya, mereka seperti semut yang nggak habis ditangkapi, terus-menerus bermunculan. Hingga banyak LSM yang menangani kasus ini kewalahan. Akhirnya, anak-anak lebih memilih hidup dengan caranya masing-masing. Dan tentu dari mereka lebih banyak melakoninya kembali di jalanan.

Padahal dalam usia-usia seperti itu, setiap kehidupan amat berpengaruh pada pembentukan kepribadian mereka. Maka jangan heran bin kaget kalo kemudian mereka belajar dari kehidupan yang salah. Sebab, siapa yang mau mengajari mereka? Sebagai contoh, anak jalanan yang umumnya laki-laki secara naluriah membutuhkan figur wanita dewasa sebagai pengganti ibu. Mereka kelewat cepat matang, mengenal seks kelewat dini, dan akrab dengan zat adiktif, seks, omongan dan tindakan jorok adalah dunia keseharian anak jalanan.

Tentu ini berbeda dengan para konglomerat, dalam pikiran mereka yang muncul adalah pertanyaan berikut; “Hari ini makan apa ya? Siang nanti makan di resto mana ya? Malam nanti makan dengan siapa ya? Dan, pagi nanti makan siapa ya?� Walah?

Hal itu benar-benar sudah terjadi di negeri ini, kawan. Di mana harta kekayaan hanya beredar di kalangan orang-orang kaya saja. Coba, apa sekarang para pejabat di negeri ini peduli sama nasib anak jalanan dan kaum miskin lainnya; baik di kota maupun di desa?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun