Mohon tunggu...
Adm Azizi
Adm Azizi Mohon Tunggu... Sejarawan - Adam Azizi yudhistyana

Mahasiswa sejarah peradaban Islam IAIN jember

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pengaruh Agama dalam Stratifikasi Sosial

10 Maret 2020   15:42 Diperbarui: 10 Maret 2020   16:23 5423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Agama memberi perananan penting dalam kehidupan masyarakat, karena agama memberikan sebuah sistem nilai yang memiliki nilai terapan pada norma-norma masyarakat untuk memberikan keabsahan dan pembenaran dalam mengatur pola perilaku manusia, baik level individu dan masyarakat. Agama menjadi sebuah pedoman hidup pada umumnya, agama merupakan sistem sosial yang dipercayai oleh para penganutnya yang berproses pada kekuatan non empiris yang dipercayai dan didayagunakan untuk keselamatan diri sendiri dan masyarakat (Puspito, 1983:34). Dari pernyataan tersebut dapat diartikan bahwa agama merupakan suatu fenomena sosial sebagai dorongan jiwa dalam seseorang yang berasal dari fitrah dan telah ada sejak manusia berada dalam alam ruh untuk hidup berketuhanan. Pendayagunaan sarana-sarana supra empiris ditujukan untuk kepentingan supra empiris saja. Orang-orang yang beragama hanya akan mementingkan kebahagiaan akhirat dan lupa akan kebutuhan dunia, tetapi hal tersebut , sesuai dengan kenyataan pada saat ini. Banyak orang berdoa kepada Tuhan dalam menjalankan kehidupan sehari-harinya yang manusia rasa bahwa kebutuhan tersebut tidak dapat tercapai hanya dengan kekuatan manusia.

Agama dalam pandangan sosiologi merupakan pandangan hidup yang harus diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat, keduanya memiliki hubungan saling memengaruhi dan saling bergantung satu bagian dengan bagian yang lainnya. Disamping itu agama turut pula membuat struktur sosial dalam masyarakat. Dadang Kahmat menjelaskan bahwa; Adapun agama  dalam pandangan sosiologi adalah gejala sosial yang umum dan dimiliki oleh masyarakat yang ada di dunia ini tanpa kecuali. Hal ini merupakan salah satu aspek dalam kehidupan sosial dan bagian dari sistem sosial dalam suatu masyarakat. Agama juga bisa bagian dari unsur kebudayaan suatu masyarakat disamping dari unsur-unsur yang lain.Agama sesuatu yang bersifat pribadi, karena penghayatan yang bersifat pribadi itu, kadang-kadang agama sulit dianalisa dengan menggunakan perspektif sosiologi yang
Durkheim memandang bahwa "agama merupakan sistem kepercayaan dan praktek yang bersatu menjadi suatu komunitas moral tunggal yang berkaitan dengan hal-hal yang kudus". ada dua unsur penting yang dapat menjadi syarat sesuatu dapat disebut agama yaitu sifat kudus dari suatu agama dan praktek-praktek ritualnya. Agama tidak harus melibatkan konsep tentang suatu makhluk supranatural, melainkan agama tidak terlepas dari kedua unsur tersebut. Sesuatu dapat disebut agama bukan dilihat dari substansi isinya, melainkan dari bentuk yang melibatkan dua ciri tersebut. Agama (religi) dipandang sebagai instansi yang mengatur pernyataan iman dalam forum masyarakat (terbuka) dan manifestasinya dapat disaksikan dalam bentuk kaidah, ritual, doa, lambang keagamaan, dll. Tanpa adanya suatu agama yang mengatur serta membina maka keseluruhan kebudayaan (religious) tersebut akan susah untuk diwariskan kepada umat beriman berikutnya kekuatan tersebut dianggap sebagai sesuatu yang sakral maupun angker yang memiliki kekuasaan lebih tinggi maupun yang memberikan pengaruh baik terhadap manusia.

Oleh karena itu manusia melakukan hubungan dengan yang baik. Langkah yang paling jauh dilakukan oleh manusia adalah penyerahan diri secara keseluruhan kepada yang ghaib itu. Iman yang dalam hanya dapat ditemukan pada agama yang mengajarkan bahwa sesuatu yang bersifat ghaib adalah suatu pribadi tertinggi, Tuhan pencipta alam dan yang memanggil manusia hanya untuk mengabdi kepada-Nya. Kepercayaan tertinggi yang ditemukan dalam agama wahyu seperti agama islam, yahudi dan kristen. Iman yang demikian bersifat pribadi (strict personal) dan pihak manapun tidak berhak campur tangan baik negara maupun golongan.

Pengaruh Agama terhadap Stratifikasi Sosial
Golongan petani
Pengaruh situasi dan kondisi golongan petani dapat mempengaruhi sikap mental mereka. Situasi dan kondisi tersebut antara lain faktor klimatologis dan hidrologis seperti musim dingin (penghujan) dan musim panas (kering), faktoe flora dan fauna seperti tanaman jagung, padi sayuran, palawija yang penggarapannya dibantu dengan hewan ternak yang dipelihara. Weber berpendapat bahwa "kaum petani lebih terlibat dalam proses organik dan peristiwa alam yang tak terhitung jumlahnya dari siklus satu ke siklus berikutnya dalam ritme yang berjalan secara alami". Hukum bercocok tanam tersebut tidak dapat diperhitungkan secara cermat pada ekonomi pemasaran, sehingga kaum petani cenderung lebih memilih mendayagunakan kekuatan magis untuk mempengaruhi kekuatan kosmos yang irrasional.

Oleh sebab itu kaum petani pada umumnya memiliki kecenderungan religious lebih besar dibandingkan dengan kelompok manusia dari kelas sosial lain. Misalnya kaum petani mengadakan upacara selamatan pada saat penanaman benih padi dan pada saat panen padi. Orang jawa biasa menyebut upacara ini sebagai upacara "wiwit" (mulai pemotongan padi) ditujukan untuk menghormati Dewi Sri atau Dewi Padi yang dipercayai oleh masyarakat petani sebagai pelindung kesuburan padi. Perilaku religius petani ini tampak pada aktivitas pertanian yang diwarnai, gotong-royong, kekeluargaan, dan memakai nilai agama dan nilai budaya setempat, dengan shalat hajat, pembacaan ayat al-Quran dan shalawat serta doa-doa selamat yang mengawali aktivitas pertanian dalam praktik menentukan kesepakatan waktu, tanggal hari dan bulan mulai pertanian, yakni mulai memilih paung padi, memalai, atau menaradak, melacak, membalur, menanjang, mengatam padi, dan menyimpan padi, selalu dibarengi dengan adat-istiadat dan ritual agama, simbol dan benda yang bermakna.

Implikasi dari perilaku religius berupa kepedulian beragama yang berbasis lingkungan, berupa pengeluaran zakat, infaq, shadaqah, membangun fasilitas sosial, berupa mesjid, langgar, madrasah, jalan, jembatan, serta kepedulian sosial berupa kas wakaf untuk membantu fakir miskin, dan anak yatim, honor guru Madrasah serta pengobatan orang sakit yang tak mampu.Sedangkan etos kerja petani meliputi kerja keras, sedang, dan malas serta perilaku tekun, cermat, disiplin, hemat, rasional dan penuh perhitungan, dan tipologi kerja termasuk subsistem konsumtif dan produktif konsumtif.Kata Kunci: Perilaku, religius, aktifitas dan ekonomi

Golongan Pengrajin dan Pedagang Kecil
Golongan ini hidup dalam situasi dan kondisi yang berbeda dengan golongan petani. Golongan ini tidak terlalu tertarik dengan hukum alam (pertanian). Hidup yang mereka jalani berlandaskan ekonomi yang menggunakan perhitungan rasional. Dalam menghadapi tuntutan hidupnya, masyarakat golongan pengrajin dan pedagang kecil tidak menyandarkan hidupnya pada alam melainkan melakukan perencanaan yang pasti. Mereka percaya bahwa pekerjaan yang baik jika dilakukan dengan teliti dan tekun akan membawa keberkahan. Namun akhirnya, agama yang mereka pilih agama etis yang rasional (unsur emosi tidak memainkan peranan penting).

Golongan Pedagang Besar
Masyarakat yang ada dalam golongan ini memiliki jiwa yang jauh dari konsep tentang compensation (imbalan) moral. Golongan ini berorientasi pada keduniawian yang menutup kecenderungan pada agama yang profetis dan etis. Semakin besar kemewahan yang mereka miliki maka semakin kecil hasrat mereka terhadap agama yang mengarah pada dunia lain. Apabila mereka masuk salah satu agama, maka perhatian mereka pada pendalaman iman melalui ajaran agama dan ibadah kehadirannya agak langka, tetapi mereka tidak akan keberatan memberikan bantuan uang atau barang demi kemajuan agama yang dianutnya. Sedangkan kegiatan yang mengarah kedalam pengembangan agama yang dianutnya akan mereka serahkan pada oranglain.

Golongan Kelas yang Beruntung.
Sebaiknya kelas yang beruntung --golongan elite dan hartawan- memiliki sikap mental yang lain lagi terhadap agama. Menurut Weber golongan ini sejajar dengan golongan pegawai negeri (birokrat), tidak menaruh gagasan tentang keselamatan, dosa, dan kerendahan hati, namun mereka haus akan kehormatan. Pada mereka tidak ada keinginan untuk mengembangkan gagasan keselamatan, dan agama mereka anggap sebagai suatu fungsi pembenaran bagi pola kehidupan dan situasi mereka di dunia.[1][15]Kalau kita pertanyakan motivasi mana yang melatarbelakangi sikap mental mereka itu, maka jawabannya harus kita kembalikan kepada sikap kelas ini terhadap tiga "titik putus" (the breaking points) yang telah kita lihat pada uraian sebelumnya, yaitu kelangkaan, ketedakpastian, dan ketidakmampuan manusia.Terhadap dua "titik putus" yang pertama (yaitu kelangkaan dan ketidakpastian) pada golongan ini tidak terdapat masalah yang menakutkan.Kedudukan dan kekayaan yang mereka miliki cukup memberikan jaminan yang aman.Mengenai "titik putus" yang ketiga (ketidakmampuan), itu pun untuk sementara tidak perlu mutlak dipermasalahkan.Hal yang azasi (Tuhan, hidup kekal, dan lain-lain) dapat ditunda sampai hari tua, karena sekarang belum diperlukan.

Jasa terbesar agama adalah mengarahkan perhatian umat manusia kepada masalah maha penting yang selalu menggoda yaitu masalah "arti dan makna" (the problem of meaning). Manusia bukan hanya membutuhkan kontrol emosional melainkan juga kepastian kognitif tentang masalah yang tidak dapat dihilangkan dari pikirannya seperti kesusilaan, disiplin, penderitaan, kematian, nasib terakhir. Kontribusi agama dalam menunjukan jalan keluar dan arah kemana manusia akan mencari jawaban atas persoalan yang sedang dihadapi. Jawaban tersebut hanya dapat diperoleh dengan memuaskan kalau manusia perorangan beserta masyarakatnya mau menerima suatu tempat yang ditunjuk sebagai sumber dan terminal terakhir dari segala kejadian di dunia ini. Terminal terakhir itu berada dalam dunia supra-empiris yang tidak dapat dijangkau tenaga inderawi maupun otak manusia sehingga tidak dapat dibuktikan secara rasional melainkan harus diterima sebagai kebenaran yang tidak dapat disingkirkan tanpa menyingkirkan arti dan makna eksistensinya sendiri dan dunia seluruhnya. Agama telah meningkatkan kesadaran yang hidup dalam diri manusia akan kondisi eksistensinya yang berupa ketidakpastian dan ketidakmampuan untuk menjawab problem hidup yang mahaberat itu agama menunjukkan penyelesaiannya secara memuaskan kalau manusia mau menerima nilai-nilai terakhir dan tertinggi.

Dalam abad sekular ini banyak pemeluk agama diliputi rasa cemas mendengar pernyataan-pernyataan seperti "matinya Tuhan Allah", dan "agama akan punah", atau "agama akan masuk museum". Lalu akan lahir suatu masyarakat sekular yang bersih dari segala unsure keagamaan. Ramalan senada diucapkan oleh Comte, Bapak dari sosiologi modern ini melihat agama dengan sudut pandang yang baru yakni Positivisme, sebagai konstruksi pemikiran manusia mengenai perlunya menghubungkan dunia yang mengatasi alam dengan dunia empiris ini untuk memuaskan kebutuhan manusia yang hidup dalam tahap pemikiran tertentu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun