Mohon tunggu...
Adlan Daie
Adlan Daie Mohon Tunggu... Analis Politik Sosial Keagamaan

Analis Politik Sosial Keagamaan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Hari Santri dan Ironi Framing Jahat Media Terhadap Pesantren NU

14 Oktober 2025   17:07 Diperbarui: 14 Oktober 2025   17:07 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pesantren NU dalam Disertasi Doktoral Dr. Zamahsyari Dhofir yang diterbitkan dalam buku berjudul "Tradisi Pesantren" (1982) berdiri di atas lima "elemen dasar" pesantren, yaitu kiai, santri, masjid, pondok dan kitab kuning. Itulah lima elemen dasar pesantren dalam konteks tradisi pesantren NU.

Relasi kiai dan santri bukan sekedar relasi guru dan murid seperti di sekolah umum, tidak pula dibatasi oleh ruang belajar melainkan hingga mereka para santri menjadi alumni dan berkiprah di berbagai bidang di tengah tengah masyarakat - relasi santri dan kiai tetap "built in".

Itulah tradisi pesantren NU di mana relasi kiai dan santri tidak sekedar dalam konteks "belajar mengajar" melainkan relasi spritual suasana kebatinan yang dibentuk oleh ekosistem pesantren dan jaringan sanad keilmuan pesantren, sulit dimengerti oleh "orang luar" pesantren.

Konteks itu yang menjelaskan Fatwa "Resolusi jihad" KH Hasyim Asy'ari, Rois Akbar NU tanggal 22 Oktober 1945, yang kelak menjadi spirit ditetaokannya Hari Santri Nasional (HSN) setiap tanggal 22 Oktober, kekuatannya justru terletak pada kedudukan spritual "kiai" Hasyim Asy'ary dalam ekosistem pesantren NU 

Sehingga fatwa "Resolusi jihad" di atas menembus batas area, memantik magnik para santri berdatangan dari berbagai daerah rela berkorban jiwa raga melakukan perlawanan atas agresor militer Belanda dan tentara sekutu di Surabaya. Itulah amal jariyah kebangsaan NU terhadap eksistensi "negara kebangsaan" Indonesia.

Sayangnya, perlakukan negara terhadap eksistensi pesantren meskipun telah disahkan Undang Undang tentang Pesantren, terus terang hingga saat ini masih meletakkan pesantren sebagai pendidikan "alternatif", belum menjadi lembaga pendidikan "arus utama".

Bahkan, menteri Agama, Prof. Nazarudin Umar, menyebut mindset negara terhadap pesantren masih mewarisi cara pandang kolonialisme. Kebijakan politik anggaran negara terhadap pesantren dan madrasah dibanding pendidikan umum hingga saat ini - masih sangat diskriminatif.

Pesantren sebagai "subkultur" dengan kekuatan swadaya masyarakat sejak dulu tidak terlalu menuntut atas kebijakan diskriminasi anggaran negara terhadap pesantren. Pesantren memahami betul keterbatasan ruang fiskal negara.

Tetapi negara tidak boleh membiarkan pesantren dibully, diframing jahat oleh media manapun dan atas nama pun. Jika hal ini terus dibiarkan potensial menimbulkan turbulensi dan goncangan politik yang dahsyat, sesuatu yang tidak boleh terjadi.

Biarkanlah pesantren berdiri kokoh sebagai subkultur dengan kekuatan tradisinya . Kiai pengasuh "tidak usah" diajari tentang Hak asasi manusia (HAM), Para kiai begitu fasih mana aspek aspek pesantren yang wajib "dimuhafadhah", dipertahankan dan mana yang harus mengikuti inovasi baru ("Al jadi Al aslah").

Para kiai memahami betul mana yang maslahat dan mana yang mafsadat (buruk) bagi santri dan kelangsungan hidup pesantren, selanjutnya negara membantunya bukan atas dasar belas kasihan tetapi kewajiban negara terhadap institusi pendidikan pesantren yang tak memiliki cacat historis sedikitpun terhadap negara dan bangsa. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun