I. Pemicu Utama: Dampak dan Konsekuensi Perjanjian Renville
Perjanjian Renville, yang ditandatangani pada 17 Januari 1948, menjadi titik balik krusial dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Perjanjian ini difasilitasi oleh Komisi Tiga Negara (KTN) di atas kapal perang Amerika Serikat, USS Renville, sangat merugikan pihak Republik Indonesia. Penetapan Garis Demarkasi Van Mook secara sepihak memaksakan pengakuan wilayah kedaulatan Indonesia menjadi sangat sempit, hanya meliputi sebagian kecil Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Sumatera. Akibatnya, Kabinet Amir Sjarifuddin, yang dianggap bertanggung jawab, dipaksa turun. Situasi ini memicu munculnya oposisi kuat, yang dimotori oleh Amir Sjarifuddin dan kelompoknya. Kekecewaan yang mendalam terhadap hasil perjanjian ini menjadi lahan subur bagi propaganda anti-pemerintah.
Dampak langsung Perjanjian Renville adalah perintah hijrah bagi seluruh pasukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dari wilayah-wilayah yang dikuasai Belanda menuju wilayah Republik. Perintah ini diimplementasikan secara masif, termasuk penarikan Divisi Siliwangi dari Jawa Barat. Proses hijrah ini menimbulkan ketidakpuasan dan penderitaan di kalangan prajurit, yang merasa dikorbankan. Di sisi lain, pemerintah Indonesia di bawah Kabinet Hatta juga meluncurkan program Rasionalisasi Angkatan Perang (RERA) untuk mengurangi jumlah personel. Kombinasi dari kekecewaan akibat perjanjian yang merugikan, ketidakpuasan prajurit pasca-hijrah, dan program RERA dimanfaatkan oleh kelompok oposisi berhaluan kiri, terutama PKI, untuk menggalang kekuatan. Kondisi internal yang semakin tidak stabil ini kemudian menjadi dasar bagi pecahnya Pemberontakan PKI Madiun pada September 1948.
Secara sinkronik, penetapan Garis Demarkasi Van Mook sebagai hasil Perjanjian Renville pada 17 Januari 1948 secara faktual dan instan memecah wilayah kekuasaan Republik Indonesia, yang sebelumnya diakui mencakup Jawa, Sumatera, dan Madura, menjadi wilayah yang jauh lebih sempit. Pada saat itu, garis ini bukan hanya sebuah batas geografis di atas peta, melainkan juga simbol dari kerugian politik dan militer yang dialami Indonesia. Garis demarkasi ini secara langsung dan bersamaan mengisolasi pusat-pusat ekonomi dan militer Republik Indonesia, memotong jalur logistik, dan memblokade aktivitas ekonomi dari wilayah yang dikuasai Belanda. Keberadaan garis ini menciptakan realitas politik yang terpecah, di mana Belanda berhasil mendirikan "negara-negara boneka" di wilayah yang mereka kuasai, melemahkan legitimasi Republik Indonesia, dan memperburuk kondisi sosial-ekonomi rakyat. Oleh karena itu, pada momen tersebut, garis ini secara serentak menjadi alat politik Belanda untuk memecah belah dan menekan Republik Indonesia.
Perintah penarikan pasukan TNI (hijrah) dari wilayah-wilayah yang diduduki Belanda, terutama Jawa Barat, ke wilayah Republik Indonesia yang tersisa, adalah peristiwa yang terjadi bersamaan dengan kekecewaan mendalam di kalangan militer dan rakyat. Pada saat itu, ribuan prajurit Divisi Siliwangi secara serentak harus meninggalkan kampung halaman mereka, basis perlawanan, serta dukungan rakyat di belakang mereka. Proses hijrah ini bukan sekadar perpindahan fisik, melainkan juga sebuah realitas pahit yang menciptakan kerentanan politik dan militer. Sementara Divisi Siliwangi bergerak, kekosongan kekuatan di Jawa Barat langsung dimanfaatkan oleh kelompok lain, termasuk Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang kemudian muncul. Di saat yang sama, pemusatan pasukan di Jawa Tengah juga menimbulkan masalah baru, seperti tekanan logistik dan politik yang kemudian dieksploitasi oleh kelompok oposisi, seperti Front Demokrasi Rakyat (FDR) dan Partai Komunis Indonesia (PKI), untuk mengobarkan semangat anti-pemerintah. Dengan demikian, hijrah ini secara serentak menjadi manifestasi dari ketidakberdayaan politik Indonesia dan pada saat yang sama, menjadi faktor utama yang melemahkan pertahanan internal dan memicu konflik domestik.
Jatuhnya Kabinet Amir Sjarifuddin merupakan puncak dari serangkaian peristiwa politik yang dimulai dari kegagalan perundingan Linggarjati dan berlanjut ke Perjanjian Renville pada awal tahun 1948. Perjanjian Renville dianggap sebagai kekalahan diplomatik yang signifikan, karena secara resmi mempersempit wilayah Republik Indonesia. Kekecewaan publik dan elite politik memuncak, menimbulkan mosi tidak percaya terhadap Amir Sjarifuddin sebagai Perdana Menteri. Meskipun telah berusaha sekuat tenaga, Amir tidak mampu mempertahankan posisinya, dan pada Januari 1948 ia menyerahkan mandatnya kepada Presiden Soekarno. Peristiwa ini menjadi titik balik penting karena menandai berakhirnya dominasi kelompok sosialis di pemerintahan dan dimulainya era Kabinet Hatta, yang memiliki pendekatan politik dan militer yang berbeda.
Setelah Amir Sjarifuddin lengser, secara diakronis kita dapat melihat evolusi perpolitikan yang semakin memanas. Amir dan para pendukungnya yang tidak lagi berada di pemerintahan membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR). FDR menjadi wadah bagi kekuatan-kekuatan berhaluan kiri yang menolak kebijakan-kebijakan Kabinet Hatta. Seiring berjalannya waktu, kelompok ini semakin radikal, menentang program Rasionalisasi Angkatan Perang (RERA) yang digagas Hatta. Penolakan terhadap program RERA ini menjadi benih konflik yang terus berkembang, karena banyak tentara yang merasa tidak adil dengan kebijakan tersebut. Ketidakpuasan ini terus menumpuk, dan dengan masuknya tokoh komunis Musso ke Indonesia, FDR-PKI semakin menguat. Puncaknya adalah ketika FDR-PKI memobilisasi kekuatan mereka untuk melancarkan pemberontakan di Madiun pada September 1948, sebagai klimaks dari kekecewaan politik yang telah terakumulasi sejak kegagalan Perjanjian Renville.
Kekalahan diplomatik Indonesia dalam Perjanjian Renville pada 17 Januari 1948 secara langsung memicu gejolak politik dalam negeri yang fatal. Setelah dipaksa mundur dari jabatannya sebagai Perdana Menteri, Amir Sjarifuddin, yang merasa dikhianati  tidak tinggal diam. Bersama kelompoknya, ia segera membentuk sebuah front oposisi yang kuat, yaitu Front Demokrasi Rakyat (FDR). FDR menjadi wadah bagi kekuatan-kekuatan berhaluan kiri yang menolak hasil Renville dan mengkritik kebijakan Kabinet Hatta yang dianggap terlalu moderat. FDR kemudian dengan gencar melancarkan propaganda anti-pemerintah dan menolak program Rasionalisasi Angkatan Perang (RERA) yang digagas Hatta. Penolakan terhadap RERA, yang dianggap merugikan tentara, menjadi lahan subur bagi FDR-PKI untuk mengumpulkan kekuatan dan dukungan dari kalangan militer yang tidak puas, yang pada akhirnya memuncak menjadi Pemberontakan PKI Madiun pada September 1948.
II. Pelaksanaan Perjanjian: Hijrah Divisi Siliwangi
Gerakan hijrah Tentara Nasional Indonesia (TNI) dari Jawa Barat ke Jawa Tengah merupakan konsekuensi langsung dari ditandatanganinya Perjanjian Renville pada 17 Januari 1948. Perjanjian ini, yang secara sepihak sangat merugikan Indonesia, memaksa TNI untuk menarik seluruh pasukannya dari wilayah-wilayah yang diduduki Belanda, terutama Jawa Barat. Perintah hijrah ini diterima dengan berat hati, karena para prajurit harus meninggalkan markas, keluarga, dan rakyat yang telah mereka lindungi. Peristiwa ini bukan hanya sekadar pergerakan pasukan, melainkan juga sebuah simbol kekalahan diplomatik yang pahit, di mana wilayah yang telah diperjuangkan kini harus diserahkan kepada Belanda. Hijrah tersebut menguji kesetiaan dan disiplin para prajurit, yang meskipun kecewa, tetap patuh pada komando pimpinan untuk menjaga kesatuan bangsa.
 Gerakan hijrah ini secara strategis menciptakan dua dampak besar. Pertama, perpindahan pasukan secara besar-besaran, terutama Divisi Siliwangi, menyebabkan konsolidasi kekuatan militer yang terkonsentrasi di Jawa Tengah, namun secara psikologis dan politik, semangat para prajurit melemah. Kedua, dan yang lebih krusial, hijrah ini meninggalkan kekosongan kekuasaan yang signifikan di Jawa Barat. Kekosongan ini menjadi kesempatan bagi kelompok-kelompok yang tidak setuju dengan kebijakan pemerintah pusat untuk menggalang kekuatan, seperti Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Selain itu, ketidakpuasan akibat hijrah, ditambah dengan program rasionalisasi tentara, dieksploitasi oleh kelompok Front Demokrasi Rakyat (FDR) dan Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk memobilisasi pemberontakan. Dengan demikian, hijrah tidak hanya menjadi implementasi perjanjian yang merugikan, tetapi juga menjadi salah satu faktor utama yang memicu timbulnya konflik internal, khususnya Pemberontakan PKI Madiun pada September 1948.
Sebagai konsekuensi dari Perjanjian Renville, Divisi Siliwangi, yang merupakan pasukan inti TNI dan salah satu yang terkuat, diperintahkan untuk melakukan hijrah dari Jawa Barat ke Jawa Tengah. Perintah ini merupakan sebuah keputusan militer yang sulit, karena Divisi Siliwangi harus meninggalkan wilayah yang telah mereka perjuangkan. Meskipun menimbulkan kerugian moral dan kekecewaan di kalangan prajurit, loyalitas mereka terhadap komando pusat tetap menjadi prioritas utama. Proses hijrah ini melibatkan puluhan ribu prajurit dan menempuh perjalanan panjang serta berat, menunjukkan kedisiplinan dan ketaatan yang luar biasa dari pasukan ini terhadap keputusan politik pemerintah yang saat itu dipimpin oleh Kabinet Hatta.
Dampak dari gerakan hijrah Divisi Siliwangi adalah serangkaian peristiwa yang saling terkait. Sebagai akibat dari Perjanjian Renville, yang memaksa pasukan untuk ditarik dari Jawa Barat, prajurit dan rakyat di wilayah tersebut merasa ditinggalkan dan dikorbankan, sehingga menimbulkan kerugian moral yang mendalam. Di saat yang sama, perpindahan puluhan ribu pasukan ini secara efektif menciptakan kekosongan kekuasaan di Jawa Barat. Kekosongan ini menyebabkan munculnya kesempatan bagi kelompok-kelompok yang tidak puas, seperti yang dipimpin oleh Kartosuwiryo, untuk mengkonsolidasikan kekuatan dan pada akhirnya memulai pemberontakan. Sementara itu, di Jawa Tengah, konsolidasi kekuatan militer yang terjadi berdampak pada semakin memanasnya ketegangan politik. Kekecewaan akibat Perjanjian Renville dan program Rasionalisasi Angkatan Perang (RERA) membuat kelompok berhaluan kiri yang dipimpin oleh Amir Sjarifuddin dan Musso melihat celah untuk menentang pemerintahan Hatta. Pada akhirnya, serangkaian sebab-akibat ini mencapai puncaknya dengan pecahnya Pemberontakan PKI Madiun pada September 1948, membuktikan bahwa hijrah tidak hanya berdampak pada aspek militer, tetapi juga menjadi pemicu utama bagi ketidakstabilan politik dan konflik internal.
III. Klimaks Konflik: Pemberontakan PKI Madiun
Faktor utama yang melatarbelakangi Pemberontakan PKI Madiun adalah kegagalan politik dan ketidakpuasan yang terakumulasi pasca-Perjanjian Renville. Kelompok Front Demokrasi Rakyat (FDR), yang dipimpin oleh Amir Sjarifuddin, tidak berhasil menjatuhkan Kabinet Hatta melalui jalur parlemen. Kegagalan ini membuat mereka beralih ke strategi yang lebih radikal, yaitu propaganda dan agitasi. Kekecewaan terhadap pemerintah yang dianggap menyerah pada tuntutan Belanda dalam Perjanjian Renville menjadi bahan bakar utama bagi narasi mereka. Ketidakpuasan ini semakin diperparah dengan kembalinya tokoh komunis militan, Musso, dari Uni Soviet. Dengan ambisi untuk mendirikan "Republik Indonesia Soviet," Musso memberikan dorongan ideologis dan kepemimpinan yang kuat untuk memulai pemberontakan bersenjata, menjadikannya sebagai klimaks dari kekecewaan politik yang telah lama terpendam.
Selain faktor politik, program Rasionalisasi Angkatan Perang (RERA) yang dicanangkan oleh Kabinet Hatta juga menjadi pemicu penting. Program ini bertujuan untuk mengurangi jumlah pasukan TNI demi efisiensi anggaran, namun hal ini justru menimbulkan ketidakpuasan di kalangan banyak prajurit yang terpaksa dirumahkan. Situasi ini dimanfaatkan oleh kelompok FDR-PKI untuk merekrut mereka yang tidak puas ke dalam barisan pemberontak. Kondisi ini diperparah oleh dampak hijrah Divisi Siliwangi yang menyisakan kekosongan kekuasaan dan kerentanan di Jawa Barat. Kekecewaan para prajurit dan rakyat pasca-hijrah menjadi lahan subur bagi propaganda PKI, yang menyebarkan janji-janji kesejahteraan dan anti-kapitalisme. Gabungan dari kegagalan politik FDR, ketidakpuasan militer terhadap RERA, dan kondisi pasca-hijrah inilah yang secara fatal memicu pecahnya pemberontakan di Madiun pada bulan September 1948, menjadi ancaman serius bagi kelangsungan hidup Republik Indonesia yang baru merdeka.
Pemberontakan yang dilancarkan oleh Front Demokrasi Rakyat (FDR)-PKI di Madiun pada bulan September 1948 dengan cepat berhasil menguasai kota tersebut dan beberapa wilayah di sekitarnya. Hal ini menjadi ancaman serius bagi kelangsungan hidup Republik Indonesia yang sedang berjuang mempertahankan kedaulatannya dari Belanda. Dalam menghadapi situasi darurat ini, pemerintah yang dipimpin oleh Kabinet Hatta mengambil tindakan tegas dengan mengerahkan pasukan TNI untuk menumpas pemberontakan. Dengan adanya ancaman dari dalam negeri ini, Presiden Soekarno bahkan menyampaikan ultimatum kepada rakyat untuk memilih antara Soekarno-Hatta atau Musso-Amir.
Pemerintah Hatta kemudian mengambil keputusan strategis untuk mengerahkan kembali pasukan-pasukan terbaik TNI, termasuk Divisi Siliwangi, yang baru saja kembali dari Jawa Barat. Meskipun Divisi Siliwangi masih dalam kondisi kelelahan akibat hijrah, mereka diperintahkan untuk menumpas pemberontakan PKI. Dengan kekuatan yang terkonsolidasi dan tekad yang kuat, TNI berhasil memulihkan Madiun dan wilayah sekitarnya. Pemberontakan berhasil ditumpas dalam waktu singkat, dan para pemimpinnya, termasuk Musso, tewas dalam pertempuran atau ditangkap. Keberhasilan pemerintah dalam menumpas pemberontakan komunis ini tidak hanya menyelamatkan Republik Indonesia dari ancaman internal, tetapi juga mendapat simpati dari dunia internasional, terutama Amerika Serikat, yang melihat Indonesia sebagai benteng anti-komunis di Asia Tenggara. Perjanjian Renville secara fatal menciptakan kondisi politik yang tidak stabil di Indonesia, yang kemudian menjadi faktor utama pemicu Pemberontakan PKI Madiun. Sebagai akibat langsung dari perjanjian tersebut, wilayah Republik Indonesia menyempit secara drastis, menyebabkan kekecewaan meluas di kalangan politisi dan militer. Kekecewaan ini dieksploitasi oleh kelompok oposisi berhaluan kiri, yaitu Front Demokrasi Rakyat (FDR) pimpinan Amir Sjarifuddin dan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dipimpin oleh Musso, yang tidak berhasil menjatuhkan Kabinet Hatta melalui jalur parlemen. Mereka memanfaatkan rasa ketidakpuasan prajurit terhadap program Rasionalisasi Angkatan Perang (RERA) dan kekosongan kekuasaan pasca-hijrahnya Divisi Siliwangi untuk menggalang kekuatan dan melancarkan pemberontakan, yang pada akhirnya memuncak menjadi peristiwa Madiun 1948. Dengan demikian, Perjanjian Renville tidak hanya menjadi kekalahan diplomatik, tetapi juga benih konflik internal yang hampir membahayakan kelangsungan hidup Republik Indonesia.
IV Simpulan
Perjanjian Renville merupakan titik awal yang krusial yang secara langsung memicu ketidakstabilan politik di Indonesia. Sebagai akibat dari perjanjian yang merugikan tersebut, pemerintah terpaksa menerapkan kebijakan pahit, seperti hijrahnya Divisi Siliwangi dari Jawa Barat. Gerakan hijrah ini bukan sekadar perpindahan pasukan, melainkan simbol ketidakberdayaan Indonesia yang telah melemahkan pertahanan dan wibawa pemerintah. Kondisi politik yang rapuh dan ketidakpuasan yang meluas ini kemudian secara cerdik dieksploitasi oleh kelompok FDR-PKI yang berhaluan kiri. Dengan memanfaatkan kekecewaan di kalangan prajurit dan masyarakat, kelompok ini berhasil menggalang kekuatan dan pada akhirnya melancarkan Pemberontakan PKI Madiun pada September 1948, menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan Republik Indonesia.
Rekomendasi bagi siswa kelas XII adalah untuk melihat sejarah secara holistik, tidak hanya menghafal fakta, melainkan juga memahami keterkaitan (kausalitas), konteks waktu (sinkronik dan diakronik), dan sudut pandang berbeda (multiperspektif) antarperistiwa. Dengan demikian, siswa dapat menyimpulkan bahwa Perjanjian Renville, sebagai kekalahan diplomatik, tidak berdiri sendiri, melainkan menjadi pemicu utama yang melahirkan ketidakstabilan politik, yang kemudian dieksploitasi oleh kelompok oposisi seperti FDR-PKI hingga akhirnya memicu Pemberontakan Madiun, serta melemahkan posisi Indonesia di hadapan Belanda yang kemudian melancarkan Agresi Militer II. Pendekatan ini akan membantu siswa tidak hanya memahami "apa yang terjadi," tetapi juga "mengapa dan bagaimana" hal itu bisa terjadi, sehingga pembelajaran sejarah menjadi lebih mendalam dan bermakna.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI