Sebagai konsekuensi dari Perjanjian Renville, Divisi Siliwangi, yang merupakan pasukan inti TNI dan salah satu yang terkuat, diperintahkan untuk melakukan hijrah dari Jawa Barat ke Jawa Tengah. Perintah ini merupakan sebuah keputusan militer yang sulit, karena Divisi Siliwangi harus meninggalkan wilayah yang telah mereka perjuangkan. Meskipun menimbulkan kerugian moral dan kekecewaan di kalangan prajurit, loyalitas mereka terhadap komando pusat tetap menjadi prioritas utama. Proses hijrah ini melibatkan puluhan ribu prajurit dan menempuh perjalanan panjang serta berat, menunjukkan kedisiplinan dan ketaatan yang luar biasa dari pasukan ini terhadap keputusan politik pemerintah yang saat itu dipimpin oleh Kabinet Hatta.
Dampak dari gerakan hijrah Divisi Siliwangi adalah serangkaian peristiwa yang saling terkait. Sebagai akibat dari Perjanjian Renville, yang memaksa pasukan untuk ditarik dari Jawa Barat, prajurit dan rakyat di wilayah tersebut merasa ditinggalkan dan dikorbankan, sehingga menimbulkan kerugian moral yang mendalam. Di saat yang sama, perpindahan puluhan ribu pasukan ini secara efektif menciptakan kekosongan kekuasaan di Jawa Barat. Kekosongan ini menyebabkan munculnya kesempatan bagi kelompok-kelompok yang tidak puas, seperti yang dipimpin oleh Kartosuwiryo, untuk mengkonsolidasikan kekuatan dan pada akhirnya memulai pemberontakan. Sementara itu, di Jawa Tengah, konsolidasi kekuatan militer yang terjadi berdampak pada semakin memanasnya ketegangan politik. Kekecewaan akibat Perjanjian Renville dan program Rasionalisasi Angkatan Perang (RERA) membuat kelompok berhaluan kiri yang dipimpin oleh Amir Sjarifuddin dan Musso melihat celah untuk menentang pemerintahan Hatta. Pada akhirnya, serangkaian sebab-akibat ini mencapai puncaknya dengan pecahnya Pemberontakan PKI Madiun pada September 1948, membuktikan bahwa hijrah tidak hanya berdampak pada aspek militer, tetapi juga menjadi pemicu utama bagi ketidakstabilan politik dan konflik internal.
III. Klimaks Konflik: Pemberontakan PKI Madiun
Faktor utama yang melatarbelakangi Pemberontakan PKI Madiun adalah kegagalan politik dan ketidakpuasan yang terakumulasi pasca-Perjanjian Renville. Kelompok Front Demokrasi Rakyat (FDR), yang dipimpin oleh Amir Sjarifuddin, tidak berhasil menjatuhkan Kabinet Hatta melalui jalur parlemen. Kegagalan ini membuat mereka beralih ke strategi yang lebih radikal, yaitu propaganda dan agitasi. Kekecewaan terhadap pemerintah yang dianggap menyerah pada tuntutan Belanda dalam Perjanjian Renville menjadi bahan bakar utama bagi narasi mereka. Ketidakpuasan ini semakin diperparah dengan kembalinya tokoh komunis militan, Musso, dari Uni Soviet. Dengan ambisi untuk mendirikan "Republik Indonesia Soviet," Musso memberikan dorongan ideologis dan kepemimpinan yang kuat untuk memulai pemberontakan bersenjata, menjadikannya sebagai klimaks dari kekecewaan politik yang telah lama terpendam.
Selain faktor politik, program Rasionalisasi Angkatan Perang (RERA) yang dicanangkan oleh Kabinet Hatta juga menjadi pemicu penting. Program ini bertujuan untuk mengurangi jumlah pasukan TNI demi efisiensi anggaran, namun hal ini justru menimbulkan ketidakpuasan di kalangan banyak prajurit yang terpaksa dirumahkan. Situasi ini dimanfaatkan oleh kelompok FDR-PKI untuk merekrut mereka yang tidak puas ke dalam barisan pemberontak. Kondisi ini diperparah oleh dampak hijrah Divisi Siliwangi yang menyisakan kekosongan kekuasaan dan kerentanan di Jawa Barat. Kekecewaan para prajurit dan rakyat pasca-hijrah menjadi lahan subur bagi propaganda PKI, yang menyebarkan janji-janji kesejahteraan dan anti-kapitalisme. Gabungan dari kegagalan politik FDR, ketidakpuasan militer terhadap RERA, dan kondisi pasca-hijrah inilah yang secara fatal memicu pecahnya pemberontakan di Madiun pada bulan September 1948, menjadi ancaman serius bagi kelangsungan hidup Republik Indonesia yang baru merdeka.
Pemberontakan yang dilancarkan oleh Front Demokrasi Rakyat (FDR)-PKI di Madiun pada bulan September 1948 dengan cepat berhasil menguasai kota tersebut dan beberapa wilayah di sekitarnya. Hal ini menjadi ancaman serius bagi kelangsungan hidup Republik Indonesia yang sedang berjuang mempertahankan kedaulatannya dari Belanda. Dalam menghadapi situasi darurat ini, pemerintah yang dipimpin oleh Kabinet Hatta mengambil tindakan tegas dengan mengerahkan pasukan TNI untuk menumpas pemberontakan. Dengan adanya ancaman dari dalam negeri ini, Presiden Soekarno bahkan menyampaikan ultimatum kepada rakyat untuk memilih antara Soekarno-Hatta atau Musso-Amir.
Pemerintah Hatta kemudian mengambil keputusan strategis untuk mengerahkan kembali pasukan-pasukan terbaik TNI, termasuk Divisi Siliwangi, yang baru saja kembali dari Jawa Barat. Meskipun Divisi Siliwangi masih dalam kondisi kelelahan akibat hijrah, mereka diperintahkan untuk menumpas pemberontakan PKI. Dengan kekuatan yang terkonsolidasi dan tekad yang kuat, TNI berhasil memulihkan Madiun dan wilayah sekitarnya. Pemberontakan berhasil ditumpas dalam waktu singkat, dan para pemimpinnya, termasuk Musso, tewas dalam pertempuran atau ditangkap. Keberhasilan pemerintah dalam menumpas pemberontakan komunis ini tidak hanya menyelamatkan Republik Indonesia dari ancaman internal, tetapi juga mendapat simpati dari dunia internasional, terutama Amerika Serikat, yang melihat Indonesia sebagai benteng anti-komunis di Asia Tenggara. Perjanjian Renville secara fatal menciptakan kondisi politik yang tidak stabil di Indonesia, yang kemudian menjadi faktor utama pemicu Pemberontakan PKI Madiun. Sebagai akibat langsung dari perjanjian tersebut, wilayah Republik Indonesia menyempit secara drastis, menyebabkan kekecewaan meluas di kalangan politisi dan militer. Kekecewaan ini dieksploitasi oleh kelompok oposisi berhaluan kiri, yaitu Front Demokrasi Rakyat (FDR) pimpinan Amir Sjarifuddin dan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dipimpin oleh Musso, yang tidak berhasil menjatuhkan Kabinet Hatta melalui jalur parlemen. Mereka memanfaatkan rasa ketidakpuasan prajurit terhadap program Rasionalisasi Angkatan Perang (RERA) dan kekosongan kekuasaan pasca-hijrahnya Divisi Siliwangi untuk menggalang kekuatan dan melancarkan pemberontakan, yang pada akhirnya memuncak menjadi peristiwa Madiun 1948. Dengan demikian, Perjanjian Renville tidak hanya menjadi kekalahan diplomatik, tetapi juga benih konflik internal yang hampir membahayakan kelangsungan hidup Republik Indonesia.
IV Simpulan
Perjanjian Renville merupakan titik awal yang krusial yang secara langsung memicu ketidakstabilan politik di Indonesia. Sebagai akibat dari perjanjian yang merugikan tersebut, pemerintah terpaksa menerapkan kebijakan pahit, seperti hijrahnya Divisi Siliwangi dari Jawa Barat. Gerakan hijrah ini bukan sekadar perpindahan pasukan, melainkan simbol ketidakberdayaan Indonesia yang telah melemahkan pertahanan dan wibawa pemerintah. Kondisi politik yang rapuh dan ketidakpuasan yang meluas ini kemudian secara cerdik dieksploitasi oleh kelompok FDR-PKI yang berhaluan kiri. Dengan memanfaatkan kekecewaan di kalangan prajurit dan masyarakat, kelompok ini berhasil menggalang kekuatan dan pada akhirnya melancarkan Pemberontakan PKI Madiun pada September 1948, menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan Republik Indonesia.
Rekomendasi bagi siswa kelas XII adalah untuk melihat sejarah secara holistik, tidak hanya menghafal fakta, melainkan juga memahami keterkaitan (kausalitas), konteks waktu (sinkronik dan diakronik), dan sudut pandang berbeda (multiperspektif) antarperistiwa. Dengan demikian, siswa dapat menyimpulkan bahwa Perjanjian Renville, sebagai kekalahan diplomatik, tidak berdiri sendiri, melainkan menjadi pemicu utama yang melahirkan ketidakstabilan politik, yang kemudian dieksploitasi oleh kelompok oposisi seperti FDR-PKI hingga akhirnya memicu Pemberontakan Madiun, serta melemahkan posisi Indonesia di hadapan Belanda yang kemudian melancarkan Agresi Militer II. Pendekatan ini akan membantu siswa tidak hanya memahami "apa yang terjadi," tetapi juga "mengapa dan bagaimana" hal itu bisa terjadi, sehingga pembelajaran sejarah menjadi lebih mendalam dan bermakna.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI