Mohon tunggu...
Prijadji
Prijadji Mohon Tunggu... Penulis

Humaniora: mengedepankan berpikir kritis dan sikap keterbukaan diri, serta tidak melihat perbedaan dalam satu sudut pandang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Dinamika Setelah Renville: Hijrah Devisi Siliwangi dan Pemberontakan PKI

12 Agustus 2025   11:02 Diperbarui: 12 Agustus 2025   11:28 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ChatGPT Image Aug 12, 2025, 11_13_49 AM

I. Pemicu Utama: Dampak dan Konsekuensi Perjanjian Renville

Perjanjian Renville, yang ditandatangani pada 17 Januari 1948, menjadi titik balik krusial dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Perjanjian ini difasilitasi oleh Komisi Tiga Negara (KTN) di atas kapal perang Amerika Serikat, USS Renville, sangat merugikan pihak Republik Indonesia. Penetapan Garis Demarkasi Van Mook secara sepihak memaksakan pengakuan wilayah kedaulatan Indonesia menjadi sangat sempit, hanya meliputi sebagian kecil Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Sumatera. Akibatnya, Kabinet Amir Sjarifuddin, yang dianggap bertanggung jawab, dipaksa turun. Situasi ini memicu munculnya oposisi kuat, yang dimotori oleh Amir Sjarifuddin dan kelompoknya. Kekecewaan yang mendalam terhadap hasil perjanjian ini menjadi lahan subur bagi propaganda anti-pemerintah.

Dampak langsung Perjanjian Renville adalah perintah hijrah bagi seluruh pasukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dari wilayah-wilayah yang dikuasai Belanda menuju wilayah Republik. Perintah ini diimplementasikan secara masif, termasuk penarikan Divisi Siliwangi dari Jawa Barat. Proses hijrah ini menimbulkan ketidakpuasan dan penderitaan di kalangan prajurit, yang merasa dikorbankan. Di sisi lain, pemerintah Indonesia di bawah Kabinet Hatta juga meluncurkan program Rasionalisasi Angkatan Perang (RERA) untuk mengurangi jumlah personel. Kombinasi dari kekecewaan akibat perjanjian yang merugikan, ketidakpuasan prajurit pasca-hijrah, dan program RERA dimanfaatkan oleh kelompok oposisi berhaluan kiri, terutama PKI, untuk menggalang kekuatan. Kondisi internal yang semakin tidak stabil ini kemudian menjadi dasar bagi pecahnya Pemberontakan PKI Madiun pada September 1948.

Secara sinkronik, penetapan Garis Demarkasi Van Mook sebagai hasil Perjanjian Renville pada 17 Januari 1948 secara faktual dan instan memecah wilayah kekuasaan Republik Indonesia, yang sebelumnya diakui mencakup Jawa, Sumatera, dan Madura, menjadi wilayah yang jauh lebih sempit. Pada saat itu, garis ini bukan hanya sebuah batas geografis di atas peta, melainkan juga simbol dari kerugian politik dan militer yang dialami Indonesia. Garis demarkasi ini secara langsung dan bersamaan mengisolasi pusat-pusat ekonomi dan militer Republik Indonesia, memotong jalur logistik, dan memblokade aktivitas ekonomi dari wilayah yang dikuasai Belanda. Keberadaan garis ini menciptakan realitas politik yang terpecah, di mana Belanda berhasil mendirikan "negara-negara boneka" di wilayah yang mereka kuasai, melemahkan legitimasi Republik Indonesia, dan memperburuk kondisi sosial-ekonomi rakyat. Oleh karena itu, pada momen tersebut, garis ini secara serentak menjadi alat politik Belanda untuk memecah belah dan menekan Republik Indonesia.

Perintah penarikan pasukan TNI (hijrah) dari wilayah-wilayah yang diduduki Belanda, terutama Jawa Barat, ke wilayah Republik Indonesia yang tersisa, adalah peristiwa yang terjadi bersamaan dengan kekecewaan mendalam di kalangan militer dan rakyat. Pada saat itu, ribuan prajurit Divisi Siliwangi secara serentak harus meninggalkan kampung halaman mereka, basis perlawanan, serta dukungan rakyat di belakang mereka. Proses hijrah ini bukan sekadar perpindahan fisik, melainkan juga sebuah realitas pahit yang menciptakan kerentanan politik dan militer. Sementara Divisi Siliwangi bergerak, kekosongan kekuatan di Jawa Barat langsung dimanfaatkan oleh kelompok lain, termasuk Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang kemudian muncul. Di saat yang sama, pemusatan pasukan di Jawa Tengah juga menimbulkan masalah baru, seperti tekanan logistik dan politik yang kemudian dieksploitasi oleh kelompok oposisi, seperti Front Demokrasi Rakyat (FDR) dan Partai Komunis Indonesia (PKI), untuk mengobarkan semangat anti-pemerintah. Dengan demikian, hijrah ini secara serentak menjadi manifestasi dari ketidakberdayaan politik Indonesia dan pada saat yang sama, menjadi faktor utama yang melemahkan pertahanan internal dan memicu konflik domestik.

Jatuhnya Kabinet Amir Sjarifuddin merupakan puncak dari serangkaian peristiwa politik yang dimulai dari kegagalan perundingan Linggarjati dan berlanjut ke Perjanjian Renville pada awal tahun 1948. Perjanjian Renville dianggap sebagai kekalahan diplomatik yang signifikan, karena secara resmi mempersempit wilayah Republik Indonesia. Kekecewaan publik dan elite politik memuncak, menimbulkan mosi tidak percaya terhadap Amir Sjarifuddin sebagai Perdana Menteri. Meskipun telah berusaha sekuat tenaga, Amir tidak mampu mempertahankan posisinya, dan pada Januari 1948 ia menyerahkan mandatnya kepada Presiden Soekarno. Peristiwa ini menjadi titik balik penting karena menandai berakhirnya dominasi kelompok sosialis di pemerintahan dan dimulainya era Kabinet Hatta, yang memiliki pendekatan politik dan militer yang berbeda.

Setelah Amir Sjarifuddin lengser, secara diakronis kita dapat melihat evolusi perpolitikan yang semakin memanas. Amir dan para pendukungnya yang tidak lagi berada di pemerintahan membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR). FDR menjadi wadah bagi kekuatan-kekuatan berhaluan kiri yang menolak kebijakan-kebijakan Kabinet Hatta. Seiring berjalannya waktu, kelompok ini semakin radikal, menentang program Rasionalisasi Angkatan Perang (RERA) yang digagas Hatta. Penolakan terhadap program RERA ini menjadi benih konflik yang terus berkembang, karena banyak tentara yang merasa tidak adil dengan kebijakan tersebut. Ketidakpuasan ini terus menumpuk, dan dengan masuknya tokoh komunis Musso ke Indonesia, FDR-PKI semakin menguat. Puncaknya adalah ketika FDR-PKI memobilisasi kekuatan mereka untuk melancarkan pemberontakan di Madiun pada September 1948, sebagai klimaks dari kekecewaan politik yang telah terakumulasi sejak kegagalan Perjanjian Renville.

Kekalahan diplomatik Indonesia dalam Perjanjian Renville pada 17 Januari 1948 secara langsung memicu gejolak politik dalam negeri yang fatal. Setelah dipaksa mundur dari jabatannya sebagai Perdana Menteri, Amir Sjarifuddin, yang merasa dikhianati  tidak tinggal diam. Bersama kelompoknya, ia segera membentuk sebuah front oposisi yang kuat, yaitu Front Demokrasi Rakyat (FDR). FDR menjadi wadah bagi kekuatan-kekuatan berhaluan kiri yang menolak hasil Renville dan mengkritik kebijakan Kabinet Hatta yang dianggap terlalu moderat. FDR kemudian dengan gencar melancarkan propaganda anti-pemerintah dan menolak program Rasionalisasi Angkatan Perang (RERA) yang digagas Hatta. Penolakan terhadap RERA, yang dianggap merugikan tentara, menjadi lahan subur bagi FDR-PKI untuk mengumpulkan kekuatan dan dukungan dari kalangan militer yang tidak puas, yang pada akhirnya memuncak menjadi Pemberontakan PKI Madiun pada September 1948.

II. Pelaksanaan Perjanjian: Hijrah Divisi Siliwangi

Gerakan hijrah Tentara Nasional Indonesia (TNI) dari Jawa Barat ke Jawa Tengah merupakan konsekuensi langsung dari ditandatanganinya Perjanjian Renville pada 17 Januari 1948. Perjanjian ini, yang secara sepihak sangat merugikan Indonesia, memaksa TNI untuk menarik seluruh pasukannya dari wilayah-wilayah yang diduduki Belanda, terutama Jawa Barat. Perintah hijrah ini diterima dengan berat hati, karena para prajurit harus meninggalkan markas, keluarga, dan rakyat yang telah mereka lindungi. Peristiwa ini bukan hanya sekadar pergerakan pasukan, melainkan juga sebuah simbol kekalahan diplomatik yang pahit, di mana wilayah yang telah diperjuangkan kini harus diserahkan kepada Belanda. Hijrah tersebut menguji kesetiaan dan disiplin para prajurit, yang meskipun kecewa, tetap patuh pada komando pimpinan untuk menjaga kesatuan bangsa.

 Gerakan hijrah ini secara strategis menciptakan dua dampak besar. Pertama, perpindahan pasukan secara besar-besaran, terutama Divisi Siliwangi, menyebabkan konsolidasi kekuatan militer yang terkonsentrasi di Jawa Tengah, namun secara psikologis dan politik, semangat para prajurit melemah. Kedua, dan yang lebih krusial, hijrah ini meninggalkan kekosongan kekuasaan yang signifikan di Jawa Barat. Kekosongan ini menjadi kesempatan bagi kelompok-kelompok yang tidak setuju dengan kebijakan pemerintah pusat untuk menggalang kekuatan, seperti Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Selain itu, ketidakpuasan akibat hijrah, ditambah dengan program rasionalisasi tentara, dieksploitasi oleh kelompok Front Demokrasi Rakyat (FDR) dan Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk memobilisasi pemberontakan. Dengan demikian, hijrah tidak hanya menjadi implementasi perjanjian yang merugikan, tetapi juga menjadi salah satu faktor utama yang memicu timbulnya konflik internal, khususnya Pemberontakan PKI Madiun pada September 1948.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun