Mohon tunggu...
Adi Triyanto
Adi Triyanto Mohon Tunggu... Buruh - Buruh Sebuah Perusahaan swasta Di Tambun- Bekasi-Jawa Barat

Lahir Di Sleman Yogyakarta Bekerja dan tinggal Di Bekasi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Lebaran 2021: Ketika Tiga Kesedihan Menjadi Satu

15 Mei 2021   06:05 Diperbarui: 15 Mei 2021   06:08 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Momen Lebaran 2021 ini  terasa beda dengan  lebaran tahun tahun sebelumnya. Ada perasaan senang meski  suasana  sedihnya lebih dominan. Rasa sedihnya lebih mengemuka. Meski banyak yang tetap berusaha untuk tetap gembira namun  , raut kesedihan tetap tidak bisa disembunyikan dari banyak wajah.

Rasa sedih yang dirasakan ummat muslim pada  lebaran tahun ini , setidaknya disebabkan ada tiga hal. Yaitu kesedihan ketika harus berpisah dengan bulan penuh  kebaikan yaitu bulan Ramadhan . Berikutnya kesedihan  terkait tradisi pulang kampung (  mudik ) yang tahun ini dilarang oleh pemerintah. Yang terakhir adalah kesedihan ketika  harus menahan untuk  melakukan aktifitas  yang  biasa kita lakukan sebelum pandemi covid 19. Setelah satu tahun berlalu, belum juga ada tanda tanda kapan pandemi ini  akan berakhir.  Sepertinya, new normal benar benar akan menjadi kebiasaan yang akan dilakukan seterusnya. Menjadi kebiasaan Bukan sekedar proses peralihan sementara kemudian kembali lagi seperti semula.

Perasaan sedih yang dirasakan, ternyata menghadirkan beberapa perenungan lebih mendalam. Untuk  mencari alasan atau jawaban  yang sebenarnya dari penyebab kesedihan kesedihan  di atas . Alasan  yang datang dari kejujuran  di lubuk hati terdalam. Bukan kebenaran yang hanya sekedar bersumber kepada terpenuhinya rasa senang.  

Sedih ditinggalkan Bulan Ramadhan

Bagi setiap muslim setiap momen lebaran datang ada dua perasaan yang hadir bersamaan. Satu sisi ada perasaan senang sudah bisa melewati semua ujian berat selama satu bulan penuh di bulan  Ramadhan. dan segera memasuki bulan Syawal, dengan  penuh rasa kemenangan dengan berbekal diri yang sudah kembali ke fitrah.

Di saat yang sama ada perasaan sedih yang menggelayut. Karena harus berpisah dengan bulan penuh berkah, rahmat dan ampunan. Bulan yang hanya datang sekali dalam setahun. Dan yang lebih membikin sedih adalah bahwa kita belum tentu bisa diberi kesempatan untuk bisa bertemu lagi dengan bulan yang mulia ini di tahun depan. 

Lalu pertanyaannya, benarkah kita merasa sedih dengan kepergian bulan Ramadhan ? Atau justru kita sebenarnya merasa senang. Merasa terbebas dari penjara selama sebulan. Bebas lagi melakukan hal hal yang diinginkan  lagi setiap saat. Tapi takut atau khawatir dilihat orang. Atau kesenangan kesenangan yang lain , yang datang mengiringi kedatangan bulan Ramadhan.  Yaitu bisa mendapatkan  Tunjangan Hari Raya. Yang  tidak didapatkan di bulan bulan lainnya . Atau kesenangan lainnya lagi saat  bisa melakukan buka puasa bersama teman kerja di tempat tempat yang tidak  pernah dikunjungi sebelumnya.

Sedihan Tidak bisa pulang Kampung ( Mudik )

Kesedihan kedua bagi ummat muslim , tahun ini adalah Pelarangan mudik.  Kesempurnaan  momen lebaran tentu adalah acara mudik. Pulang kampung untuk berkumpul dengan anak saudara di kampung halaman. Yang mungkin hanya bisa didapat ketika ada momen lebaran, dengan  serangkaian  hari libur panjangnya.

Ada pertanyayan dalam hati yang mengemuka, sebenaranya  apa yang memebuat kita bersedih ? Apakah benar karena tidak bisa bertemu dengan keluarga di rumah ?  Tidak bisa menumpahkan rasa kangen dengan orang tua ? Yang sebenarnya dengan kecanggihan teknologi , itu semua masih bisa dilakukan dengan tanpa bertatap muka  langsung secara fisik. Tanpa harus berkurang maknanya. Bisa dengan telepon atau mengirim pesan suara, Atau bahkan dengan menggunakan pesan video, yang bisa menghadirkan sosok  yang dirindukan di kampung halaman.

Atau sebenarnya yang membuat kita bersedih bukan itu semua . Namun penyebab sebenarnya adalah tidak adanya kesempatan  kita untuk menunjukkan "ego " kita untuk menunjukkan  kesuksesan kita di tanah rantau. Setelah sekian  lama merantau, kita ingin orang terdekat mendegar kisah sukses kita. Dan kebanggaan itu akan muncul  ketika para kerabat jauh atau para tetangga juga melihat dan mendengar kisah kesuksesan itu secara langsung. Bisa melihat mobil yang sudah bisa dibeli. Bisa melihat rumah yang sudah direnovasi. Atau smartphone di tangan yang keluaran terbaru merek terkenal.

Sedih Karena kehilangan kebiasaan-Kebiasaan  Lama

Kesedihan yang terakhir adalah hilangnya kesempatan kita untuk melakukan kebiasaan  kita sebagaimana kita lakukan sebelum pendemi covid19. Tahun kemarin dalam masa awal pemberlakuan kegiatan masyarakat  kita  menahan tidak melakukan kebiasaan kita sebagai wujud berpartisipasi pencegahan penyebaran Covid. 

Namun setelah berbulan bulan berjalan perasaan kangen terhadap semua kebiasaan simbol kekaraban itu makin kuat. Makin berat untuk ditahan. Siapa yang kuat tidak memeluk erat orang tua ketika bertemu . Bersalaman dan mencium tangannya.  . Bercengkerama bebas dengan para sahabat dekat tanpa ada jarak sebagai pemisah. Setahun lebih  kita harus menahan kerinduan itu. 

Kerinduan kepada keasyikan akan kebiasaan lama yang telah puluhan tahun kita lakukan.  Gara gara pendemi  semua bentuk kekraban , kedekatan, keintiman, sebagai saudara atau sahabat sementara waktu harus ditinggalkan. Ada jarak sebagai pemisah. Ada masker yang mengurangi kekhasan suara. Dan ada hand sanitizer , setiap habis memegang benda benda di tempat umum.

Pertanyaanya , benarkah kita merasa berat atau sedih  untuk melakukan itu semua ? atau  sulitkah mengadopsi kebiasaan baru. Berkomunikasi dengan tetap menjaga jarak.  Berkumpul dengan keluarga harus tetap mengikuti protokol kesehatan. Setiap waktu  harus memakai masker . Yang  terasa mengurangi kebebasan untuk bernafas atau bersuara ?

Atau sebenarnya hal hal baru itu mudah dilakukan . Tidak sulit untuk menyesuaikan terhadap perubahan. Karena manusia adalah makhluk yang paling mampu menyesuaiakan diri terhadap setiap perubahan lingkungannya. Yang  susah justru perasaan kita yang sulit untuk menghapus kenyamanan akan kebiasaan kebiasaan  lama . Menghilangkan kenangan yang sudah terpatri di hati. Melupakan hal hal yang biasa kita jalankan yang sudah mendarag daging . Sudah turun menurun .Sebagaimana ungkapan  anak mahasiswa, ketika ditanya untuk pindah kost kostan. Pindahnya sih gampang. Yang susah itu menghapus kenangannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun