Mohon tunggu...
Adis Tiani
Adis Tiani Mohon Tunggu... mahasiswa

obsidian

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bukan Hanya Soal Hukum, Tapi Juga Budaya: Mengapa Korupsi Sulit Hilang dari Negeri Ini?

5 Oktober 2025   23:55 Diperbarui: 5 Oktober 2025   23:53 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber: iStock, bsd studio)

Ketika berita tentang pejabat ditangkap karena korupsi muncul hampir setiap minggu, banyak orang merasa lelah.
Kita marah, kecewa, tapi di sisi lain, sebagian dari kita juga mulai terbiasa.
Seolah-olah korupsi adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan politik dan birokrasi di negeri ini.

Namun pertanyaannya: mengapa korupsi begitu sulit dihapuskan dari Indonesia?
Apakah semua ini hanya karena lemahnya hukum dan pengawasan?
Ataukah ada hal lain yang lebih dalam  yang bersumber dari cara berpikir dan budaya masyarakat kita sendiri?

Lebih dari Sekadar Hukum dan Politik

Sebuah penelitian internasional berjudul "Corruption Revisited: The Influence of National Personality, Culture, and Wealth" (Journal of International Business Studies, 2023) menemukan bahwa tingkat korupsi suatu negara tidak hanya ditentukan oleh sistem hukum atau ekonomi, tetapi juga oleh kepribadian nasional, budaya, dan kesejahteraan masyarakatnya.

Penelitian itu menyoroti bahwa negara dengan karakter masyarakat kolektivis, di mana hubungan sosial, loyalitas, dan rasa sungkan dijunjung tinggi cenderung lebih permisif terhadap perilaku tidak etis demi menjaga "hubungan baik."
Misalnya, praktik "balas budi," "titip jabatan," atau "bagi proyek," seringkali tidak dianggap salah karena dibungkus nilai kekeluargaan.


Dalam konteks seperti ini, korupsi tidak selalu terlihat jahat, melainkan seperti bagian dari norma sosial yang tidak tertulis.
Padahal di situlah bahaya terbesar: ketika perilaku salah dianggap wajar.

Wajah Korupsi yang "Tak Terlihat"

Kalau kita jujur, bentuk-bentuk korupsi kecil sering kita temui setiap hari.
Memberikan "uang terima kasih" agar urusan cepat selesai, memanfaatkan jabatan untuk membantu kerabat, atau mengambil sedikit keuntungan pribadi dari proyek organisasi.

Kita menyebutnya "bukan korupsi besar," tapi dalam skala luas, kebiasaan inilah yang menumbuhkan budaya permisif terhadap penyimpangan.
Korupsi kecil adalah bibit dari korupsi besar.

Masalahnya, banyak orang tidak merasa bersalah melakukannya karena sudah menjadi kebiasaan sosial.
Inilah yang disebut para peneliti sebagai moral disengagement, ketidakmampuan membedakan antara kebaikan sosial dan pelanggaran moral.

Budaya dan Kesejahteraan: Dua Sisi yang Saling Mempengaruhi

Penelitian itu juga menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan nasional berpengaruh besar terhadap perilaku korupsi.
Di negara dengan pendapatan rendah dan kesenjangan sosial tinggi, tekanan ekonomi sering membuat orang mencari jalan pintas.
Ketika sistem tidak memberi rasa adil, banyak orang merasa "berhak mengambil sedikit untuk diri sendiri."

Indonesia, meski ekonominya terus tumbuh, masih menghadapi ketimpangan sosial yang lebar.
Hal ini menjelaskan mengapa korupsi tidak hanya dilakukan oleh pejabat tinggi, tapi juga bisa muncul di tingkat bawah dari aparat desa hingga pegawai kecil.

Dengan kata lain, korupsi bukan sekadar kejahatan, tapi juga strategi bertahan hidup di tengah sistem yang tidak merata.

Masyarakat yang Ikut Memaklumi

Masalah lain yang jarang disadari adalah bagaimana masyarakat sering ikut memaklumi perilaku korupsi.
Kita bisa saja marah kepada koruptor, tetapi ketika seorang pejabat "baik" tersandung kasus, sebagian orang malah membelanya.
"Dia kan suka bantu rakyat," begitu alasannya.

Padahal, tidak ada kebaikan yang bisa menutupi kejahatan terhadap kejujuran publik.
Ketika empati berubah menjadi pembenaran, kita secara tidak sadar ikut menjaga sistem yang rusak.

Membangun Budaya Antikorupsi dari Dalam

Lantas, bagaimana mengubah semua ini?
Penegakan hukum tentu penting  KPK, kejaksaan, dan lembaga pengawas lain harus tetap kuat.
Namun, perubahan sejati harus datang dari budaya dan pendidikan.

Kita perlu membangun rasa malu terhadap perilaku curang, bukan hanya takut terhadap hukuman.
Anak-anak harus diajarkan sejak dini bahwa integritas bukan sekadar nilai moral di buku pelajaran, tapi karakter yang menentukan masa depan bangsa.

Sekolah dan universitas bisa menjadi ruang menumbuhkan kesadaran kritis.
Bukan hanya lewat mata kuliah antikorupsi, tapi lewat praktik kecil: transparansi organisasi, kejujuran dalam ujian, dan tanggung jawab sosial dalam kegiatan kampus.

Membangun Negeri dari Kejujuran yang Dipimpin Teladan

Korupsi tidak akan berhenti hanya dengan mengimbau masyarakat untuk jujur, jika para pemimpin tidak menunjukkan contoh nyata. Budaya integritas tumbuh dari atas ke bawah, dari keteladanan pejabat, pemimpin lembaga, hingga figur publik yang berani hidup sederhana dan transparan.

Namun, kekuatan perubahan juga lahir dari bawah: dari rakyat yang berani menuntut akuntabilitas dan tidak lagi menutup mata terhadap penyalahgunaan wewenang. Ketika dua arah ini bertemu (kejujuran di puncak dan kesadaran di akar rumput) barulah negeri ini bisa benar-benar bersih.

Bangsa yang kuat dibangun bukan hanya oleh hukum yang keras, tetapi oleh hati nurani yang berani. Saat kejujuran menjadi teladan, keadilan tidak perlu lagi dipaksa, ia akan tumbuh dengan sendirinya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun