Mohon tunggu...
Adista Pattisahusiwa
Adista Pattisahusiwa Mohon Tunggu... Jurnalis - Time Is Running Out

I'm Journalist

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pasca Reformasi 'Kerusuhan Ambon' Merupakan Fakta Kekerasan Mengerikan Terburuk Nomor Wahid

15 Mei 2016   17:53 Diperbarui: 8 Maret 2019   00:20 2450
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jakarta--Perasaan kita sangat prihatin, setelah menyaksikan berbagai peristiwa yang melanda Negara Indonesia tercinta, berbagai kerusuhan itu terjadi setelah presiden Ke-2 RI, HM Soeharto mengundurkan diri dari kursi kepresidenan 21 Mei 1998.

Dalam perjalanan pasca reformasi, kita berharap pada suasana baru yang nyaman nan sejuk, juga mampu menciptakan kehidupan demokratis yang berkeadilan dan berkesejahteraan.

Eh malah yang disaksikan berbagai pergolakan yang terjadi di Indonesia Timur, OPM di Papua, dan RMS di Ambon, Maluku.

8 Bulan Terhitung (Mei 98 - Januari 99) Setelah Pak Harto mundur sebagai Presiden, Ambon Hancur. Puncak insiden pada 19 Januari 1999 bukan peristiwa yang serta merta terjadi, namun Peristiwa itu merupakan KADO Istimewa untuk RMS (Republik Maluku Selatan) sebelumnya, sudah dimulai dengan suatu Strategi matang, Pengusiran istilah BBM (Bugis Buton Makassar), Taktik ini untuk mencapai tujuan.

Tragedi Maluku tujuan maksimalnya yaitu melepaskan Maluku dari bingkai NKRI.

Semestinya, Kita menyadari bahwa konflik yang terjadi bukanlah berdasar pada perbedaan agama tetapi suatu rekayasa adu domba (political physic) para elit politik yang berhasil mengorbankan rakyat dengan cara menghasut sentimen SARA (etnis agama).

Setelah konflik massal mereda, maka muncullah kepermukaan, Separatis RMS pada puncak Perayaan Hari Keluarga Nasional (Harganas) XIV di Kota ambon 29 Juni 2007, 

Hajatan nasional yang dihadiri Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Ibu Negara bersama beberapa menteri Kabinet Indonesia Bersatu, para Gubernur, Walikota serta Bupati se-Indonesia itu tercoreng oleh ulah 29 'penari liar' yang tampil secara spontan dan sempat mengibarkan bendera RMS sebuah kelompok separatis di depan Sang Presiden.

Peristiwa idul fitri berdarah di ambon pada 19 Januari 1999 juga merupakan awal merebaknya tragedi kemanusiaan di Maluku.

Betapa tidak, Anak Negeri provinsi penghasil rempah rempah Cengkih dan Pala itu, Padahal Memiliki adat budaya persaudaraan PELA GANDONG yang erat, juga menjadi icon Bangsa Indonesia sebagai contoh kerukunan hidup antar umat berbeda agama.

Namun, konflik Horizontal yang massif itu meluluh lantahkan kehidupan masyarakat maluku.

Akhirnya reda pada awal triwulan kedua tahun 2001 hingga saat kini.

Berdasarkan catatan, Lingkaran Survei Indonesia (LSI) menyebut Kerusahan Ambon merupakan fakta kasus kekerasan mengerikan terburuk Nomor Wahid yang terjadi setelah Lengserkan HM Soeharto.

Menurut LSI, kasus kekerasan antaretnis di Maluku dan Maluku Utara, dilihat dari fakta jumlah korban, lamanya konflik, luas konflik, kerugian materi, dan frekuensi berita.

Jadi, untuk kasus Maluku dan Maluku Utara terdapat 8.000 sampai 9.000 korban meninggal dunia, 700.000 warga mengungsi.

Serta Ribuan orang Terluka, bahkan Saya Sendiri pun luka tembak, timah panas bersarang manis di tangan kiri ku, saat kerusuhan di Kecamatan Saparua.

Durasi konflik yang mencapai tiga tahun, dari 1999 sampai 2001, konflik ini mencakup luasan sampai tingkat provinsi.

Kerugian materi akibat konflik tersebut, yakni 29.000 rumah terbakar dan 7.046 rumah rusak, serta 45 masjid, 57 gereja, 719 toko, 38 gedung pemerintah, dan 4 bank hancur. Konflik ini juga menjadi pemberitaan dengan frekuensi sebanyak 147.000 item di Google Search dengan kata kunci 'kerusuhan Ambon'.

Insiden tersadis, sudah 17 Tahun berlalu, Berbagai pihak telah banyak yang mengulas, baik dalam bentuk makalah untuk seminar, diskusi bahkan juga berupa buku.

Namun dari berbagai penulis, ada perbedaan sudut pandang, terlebih lebih tentang pokok masalah yang mengakibatkan terjadi eskalasi benturan yang begitu dahyat.

Para ahli sejarah mengatakan bahwa untuk menganalisa suatu peristiwa baik peristiwa sejarah maupun peristiwa yang aktual, tidak boleh kepas dari fakta fakta yang mendasarinya.

Bila tidak seperti gitu, maka bisa saja analisisnya membias, bahkan tidak mustahil bisa MENGKABURKAN persoalan, Distorsi sejarah.

Semoga Peristiwa Ini tidak terulang kembali.

(Ale Rasa, Beta Rasa. Katong Dua Satu Gandong)

 

*Salemba Jakpus 15 Mei 2016.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun