Mengungkap Rahasia FitSM: Solusi 'Ringan' atau Jurus Pamungkas ITSM?
Penggunaan pendekatan PRISMA untuk menyeleksi 17 artikel ITSM. Namun, hanya 17 sumber bukanlah "pustaka komprehensif." Jika tujuan utama adalah memahami lanskap ITSM global, bukankah perlu menelaah ratusan atau ribuan studi terutama yang berbasis kasus di negara maju? Memanen "buah pir" dari literatur terbatas justru memunculkan bias konfirmasi: hanya yang mendukung kecocokan FitSM yang diserap. Mengapa tidak menyoal mengapa kerangka kerja besar seperti ITIL atau COBIT, yang telah teruji di beragam organisasi publik global, dikesampingkan dengan gampang?
FitSM: Pilihan "Ringan" yang Meragukan
FitSM dipuji sebagai solusi paling ringan dan opensource . Superficially, ini terdengar menarik: tanpa biaya lisensi, siap pakai. Tetapi, apakah "ringan" selalu setara dengan "tepat guna"? Istilah "ringan" sering dipakai untuk menutupi kekurangan: fiturnya pasti dipangkas. Saat insiden besar terjadi misalnya, serangan siber massal atau kegagalan sistem layanan publik apakah FitSM memiliki depth control yang sama kuatnya dengan ISO/IEC20000 atau ITIL v4? Saya ragu organisasi berisiko tinggi akan puas hanya dengan "kerangka ringan" tanpa prosedur mitigasi risiko mutakhir.
Fokus PSO Punjab, Pakistan: Generalisasi Berbahaya
Hanya satu organisasi publik di Punjab, Pakistan yang dijadikan sampel . Dengan konteks budaya, struktur birokrasi, dan infrastruktur IT yang sangat khas, hasilnya hampir pasti tidak bisa digeneralisasi, apalagi diterapkan di Indonesia atau negara lain. Apakah artikel ini memperhitungkan variabel geopolitik, permasalahan jaringan internet di daerah terpencil, atau kesiapan SDM di tingkat kecamatan? Tampaknya tidak. Bukannya peta jalan universal, ini lebih mirip blueprint rumah susun di satu blok tak cocok dipakai di perbukitan.
Roadmap Operasional yang Mengedepankan Proses daripada Dampak
Pembagian fase operasional & kontrol dari Service Portfolio Management hingga Continual Service Improvement memang rapi secara teori . Namun, roadmap semacam ini hanyalah daftar tugas belaka. Dunia nyata menuntut lebih: bagaimana memastikan sistem benar-benar meningkatkan waktu respons darurat medis, menurunkan biaya belanja publik, atau memperbaiki langsung pengalaman warga? Artikel hanya berhenti pada "melabeli" proses, tanpa mengukur outcome konkret seperti Mean Time To Repair (MTTR) sebelum dan sesudah implementasi. Tanpa KPI yang jelas, roadmap ini sejatinya hanyalah pajangan PowerPoint menjanjikan perubahan.
Data Kunci yang Justru Absen
Artikel melakukan survei kualitatif dan kuantitatif dengan kuesioner , tapi tidak menunjukkan datanya berapa persen responden menyatakan "puas," berapa banyak entitas yang belum punya helpdesk, atau seberapa besar GAP kompetensi TI? Menggantungkan argumen pada "data" tanpa memaparkan angka mentahnya adalah praktik akademis yang meragukan. Seolah-olah, output harus dipercaya tanpa bukti. Boleh saja menyiringkan kutipan, tapi pembaca awam (serta pengambil kebijakan) berhak melihat angka sebenarnya.
ITSM Bukan 'Obat Mujarab' Transformasi Digital
Transformasi digital sejatinya soal perubahan mindset, kultur organisasi, dan pola interaksi dengan warga bukan hanya tata kelola TI. ITSM tersedia untuk mengatur layanan, tapi tidak bisa bicara soal inovasi layanan publik, partisipasi warga, atau inklusi digital. Dengan terlalu fokus kepada ITSM, artikel ini justru menyesatkan: seolah-olah menandaskan, "Pasang ITSM, maka kota/kabupaten Anda telah bertahta di puncak era digital." Omong kosong. Transformasi sejati muncul ketika aplikasi egovernment sederhana dipegang oleh pengguna desa, bukan hanya server dengan label SOP.
Risiko OverStandardisasi dan Birokrasi Tambahan