Mohon tunggu...
Adinda Alya Septianty
Adinda Alya Septianty Mohon Tunggu... Mahasiswi Program Studi Sosiologi FIS UNJ

Mahasiswi yang mencoba untuk mengeksplorasi banyak hal baru

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Grafiti sebagai Media Ekspresi Subkultur Pemuda

4 Juli 2025   23:29 Diperbarui: 4 Juli 2025   23:29 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di tengah kepadatan dan kesibukan kota, grafiti muncul sebagai bentuk ekspresi visual yang sering menimbulkan pandangan yang berbeda. Sebagian orang menganggapnya sebagai bentuk vandalisme yang merusak fasilitas umum, sementara yang lain melihatnya sebagai karya seni yang memiliki pesan sosial. Perbedaan pandangan ini menunjukkan bahwa grafiti bukan sekadar coretan di tembok, tetapi memiliki makna yang lebih dalam. Grafiti bisa menjadi cermin dari kehidupan sosial di kota, terutama dalam melihat bagaimana anak muda mengekspresikan diri mereka.

Grafiti tidak hadir begitu saja tetapi tumbuh dari kondisi sosial yang membuat sebagian anak muda merasa terpinggirkan atau tidak memiliki ruang untuk menyuarakan pendapatnya. Dalam situasi seperti ini, tembok-tembok kota menjadi media alternatif untuk mengekspresikan keresahan, harapan, dan identitas mereka. Karena itu, grafiti dapat dilihat sebagai bagian dari subkultur pemuda, yaitu kelompok anak muda yang membentuk nilai dan gaya hidupnya sendiri, berbeda dari budaya yang dominan atau arus utama. Melalui grafiti, pemuda membangun komunikasi simbolik, menyampaikan protes terhadap ketidakadilan, dan menunjukkan siapa diri mereka di tengah kehidupan kota yang sering kali tidak memberi ruang bagi suara-suara kecil.

Dalam ilmu sosiologi, subkultur adalah kelompok dalam masyarakat yang memiliki cara hidup, nilai, dan aturan yang berbeda dari budaya yang umum berlaku. Subkultur bukan hanya tempat pelarian, tapi juga menjadi cara bagi anak muda untuk membentuk identitas diri dan menunjukkan penolakan terhadap sistem sosial yang dianggap tidak adil. Dalam hal ini, grafiti bisa dilihat sebagai bagian dari subkultur tersebut. Anak-anak muda menggunakan grafiti sebagai media visual untuk menyampaikan perasaan dan pandangan mereka yang tidak mendapat tempat dalam ruang-ruang formal. Seperti yang dijelaskan oleh I Wayan Setem, subkultur dalam seni adalah cara membangun identitas budaya baru yang penuh dengan simbol dan makna.

Awalnya, grafiti hanya dikenal sebagai coretan di tembok yang sering dikaitkan dengan geng jalanan atau kelompok tertentu. Namun seiring waktu, grafiti berkembang menjadi bentuk seni yang lebih kreatif dan disebut artistic graffiti. Dari perkembangan ini, muncul mural, lukisan dinding yang sering membawa pesan sosial atau kritik terhadap keadaan sekitar. Dalam proses ini, tembok kota berubah menjadi tempat bagi para seniman untuk menyampaikan pikiran, perasaan, dan suara mereka tentang situasi sosial yang mereka hadapi.

Grafiti dan mural memiliki perbedaan dalam teknik, legalitas, dan cara pandang masyarakat. Grafiti biasanya dibuat dengan cat semprot secara spontan, dan lebih fokus pada bentuk tulisan atau simbol seperti tanda tangan nama (tag). Sebaliknya, mural cenderung berbentuk gambar atau lukisan yang menggambarkan cerita tertentu dan umumnya dibuat dengan izin dari pemilik tempat. Mural sering dianggap lebih “resmi” karena terlihat lebih artistik dan tidak dianggap merusak lingkungan sekitar.

Namun, dalam praktiknya, batas antara grafiti dan mural tidak selalu jelas. Banyak seniman grafiti yang kini menggabungkan kedua pendekatan tersebut. Contohnya adalah Komunitas Pojok di Bali yang memadukan elemen grafiti dan mural untuk menyampaikan pesan-pesan sosial dan politik secara kreatif. Karya mereka menunjukkan bahwa tembok kota bisa menjadi media komunikasi yang kuat dan penuh makna.

Grafiti sendiri merupakan bagian dari subkultur anak muda yang muncul sebagai bentuk perlawanan terhadap norma sosial yang berlaku. Bagi sebagian remaja, grafiti adalah cara untuk mengekspresikan keresahan, memperjuangkan identitas, dan menantang aturan yang mereka anggap membatasi kebebasan. Hal ini sejalan dengan pandangan Fleming yang menyebut masa remaja sebagai masa pencarian jati diri dan kebutuhan akan pengakuan sosial.

Ada beberapa alasan mengapa anak muda tertarik pada grafiti. Pertama, grafiti memberi mereka ruang untuk menunjukkan keberadaan dan identitas diri, terutama ketika mereka merasa tidak memiliki tempat dalam sistem yang ada. Kedua, grafiti bukan kegiatan yang dilakukan sendirian. Banyak seniman grafiti tergabung dalam komunitas atau crew yang saling mendukung, berbagi pengalaman, dan menjaga solidaritas. Komunitas seperti Pojok Street Art Bali menjadi contoh nyata bagaimana kebersamaan dalam crew membentuk ikatan sosial yang kuat. Ketiga, grafiti sering digunakan sebagai bentuk protes terhadap kondisi sosial yang dirasa tidak adil. Salah satu contoh paling terkenal adalah tulisan “Jogja Ora Didol” yang muncul sebagai respons terhadap pembangunan besar-besaran yang dianggap mengabaikan hak masyarakat lokal atas ruang hidup mereka. Dengan cara ini, grafiti menjadi saluran alternatif bagi anak muda untuk menyuarakan perlawanan secara damai namun tegas.

Namun demikian, keberadaan grafiti dan seni jalanan lainnya sering kali berhadapan dengan aturan hukum yang ketat. Di Jakarta, misalnya, Perda No. 8 Tahun 2007 melarang segala bentuk coretan di fasilitas umum. Namun, mural tetap diperbolehkan selama tidak melanggar aturan, seperti mengandung unsur SARA, pornografi, kekerasan, atau merusak ketertiban dan properti publik. Artinya, ekspresi visual di ruang kota masih dimungkinkan asalkan tidak menyalahi ketentuan yang berlaku.

Bagi komunitas seperti Pojok Street Art Bali, seni jalanan adalah bentuk perlawanan simbolik terhadap dominasi ruang oleh kepentingan komersial, seperti iklan-iklan besar yang mendominasi wajah kota. Melalui street art, mereka berupaya merebut kembali ruang kota agar dapat digunakan sebagai media ekspresi bersama. Menariknya, beberapa seniman jalanan berhasil menyeberang dari ranah jalanan ke dunia seni formal. Tokoh-tokoh seperti Darbotz, Stereoflow, dan Wild Drawing telah membawa karya mereka dari dinding jalan ke galeri seni, bahkan ke panggung internasional. Fenomena ini menunjukkan adanya pergeseran: dari seni yang dulunya dianggap ilegal dan destruktif, menjadi bentuk seni yang diakui dan diapresiasi secara luas. Meski telah mendapat pengakuan, nilai-nilai kritis dan semangat subversif yang melekat pada karya-karya mereka tetap dipertahankan. Di era digital, media sosial turut memperluas jangkauan grafiti, memungkinkan seniman untuk menjangkau audiens global tanpa harus bergantung pada galeri atau institusi seni konvensional.

Sebagai penutup, dapat dikatakan bahwa grafiti merupakan bagian dari dinamika ruang publik, tempat budaya dominan dan subkultur saling berinteraksi dan bersaing dalam menyampaikan makna. Sebagai bentuk ekspresi visual atas keresahan sosial, grafiti menjadi cara penting untuk memahami suara anak muda yang sering tidak terdengar dalam forum resmi. Seni jalanan bukan hanya soal gambar di ruang terbuka, tetapi juga menjadi media perjuangan simbolik, bentuk perlawanan terhadap ketimpangan, dan usaha untuk membuka ruang budaya yang lebih inklusif dan demokratis di Indonesia.

Sumber:

Aco, P. W. (2024). Gerakan subkultur oleh Komunitas Pojok street art Bali. INVENSI: Jurnal Penciptaan dan Pengkajian Seni, 9(2), 189–207.

Fleming, C. M. (2005). The sociology of youth and adolescence. London: Routledge.

Friedmann, F. G. (1971). Youth and society. USA: Macmillan Education.

Kristianto, S. A. (2019). Long live punk & skins: Identitas subkultur punk & skinhead dalam fotografi dokumenter [Skripsi, Institut Seni Indonesia Yogyakarta].

Pablo Art Paints. (2023). Perbedaan antara mural dan graffiti: Memahami dua bentuk ekspresi visual. https://pabloartpaints.com/perbedaan-antara-mural-dan-graffiti-memahami-dua-bentuk-ekspresi-visual/

Saleh, A., Kinanti, A. S., & Husaini, A. (2023). Konflik subkultur komunitas seni grafiti di Indonesia. Lugas: Jurnal Komunikasi, 7(1), 32–45.

Setem, I. W., Wijaya, I. K. A., & Winaya, I. K. J. (2016). Seni mural sebagai media penyampaian aspirasi rakyat: Sebuah kajian politik identitas. Rupa, 10(1).

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun