Perkembangan teknologi digital dan perubahan pola kerja dalam beberapa tahun terakhir telah membawa cara baru untuk menjalani kehidupan profesional. Ruang kerja non-konvensional yang menggantikan fungsi kantor konvensional adalah salah satu contoh paling mencolok dari transformasi ini. Istilah baru "WFC (Work From Cafe)" digunakan untuk menyebut seseorang yang melakukan pekerjaannya dari kafe. WFC dilakukan bukan hanya di kafe, tetapi juga di tempat lain, dan sering terlihat di coffee shop. Fenomena ini berjalan seiring dengan ledakan pertumbuhan industri kedai kopi di Indonesia, hingga pada tahun 2023 Asosiasi Pengusaha Kopi dan Cokelat Indonesia (APKCI) memperkirakan jumlah kedai kopi di Indonesia mencapai 10.000.
Kafe di tengah kota-kota besar yang terus berkembang sekarang bukan hanya tempat untuk bersantai atau berkumpul semata, tetapi juga menjadi ruang baru untuk bekerja yang menggambarkan pergeseran batas antara ruang publik dan ruang kerja, serta antara waktu santai dan waktu kerja. Pemandangan kafe yang penuh dengan orang-orang yang khusyuk menatap laptop mereka telah menjadi bagian tak terpisahkan dari lingkungan kota modern ini. Work from Cafe (WFC) telah menjadi gaya hidup bagi banyak pekerja kreatif, pekerja lepas (freelancer), dan bahkan karyawan perusahaan dengan kebijakan kerja yang fleksibel. Bagi sebagian orang, ini mungkin hanya soal mencari suasana baru atau koneksi internet yang stabil.  Namun, di balik kebiasaan ini, sebenarnya ada banyak hal menarik yang bisa dilihat. Bekerja dari kafe bukan cuma soal kenyamanan atau koneksi internet yang cepat, tapi juga mencerminkan perubahan cara hidup di kota.Â
Orang-orang sekarang tidak hanya bekerja dari kantor, mereka lebih suka mencari tempat yang lebih santai, indah, dan mendukung kreativitasnya. Kafe juga diubah menjadi ruang kerja baru yang nyaman dengan stop kontak, Wifi, dan lingkungan yang mendukung produktivitas. Pilihan bekerja di kafe sering dikaitkan dengan gaya hidup anak muda di perkotaan yang ingin tetap produktif, mandiri, dan tampil keren dan "update" di media sosial. Jadi, Work from Cafe bukan cuma soal kerja, tapi juga soal cara orang menjalani hidup di zaman sekarang.
Fenomena ini dapat dipahami melalui perspektif budaya Raymond Williams, yang melihat Work from Cafe (WFC) sebagai praktik budaya yang sarat makna dan mencerminkan dinamika kehidupan masyarakat modern. Bagi Raymond Williams, budaya adalah makna dan nilai yang hidup dalam kehidupan sehari-hari, yang muncul dari hubungan sosial antar manusia. WFC adalah contoh dari bagaimana praktik sehari-hari mencerminkan perubahan sosial yang lebih besar. Williams membagi budaya ke dalam tiga tingkatan yang dapat membantu menganalisis fenomena ini, tiga tingkatan itu antara lain budaya yang dijalani langsung, budaya yang terekam, dan budaya tradisi yang selektif
Budaya yang dijalani adalah pengalaman langsung dari orang yang melakukan WFC (orang-orang pada waktu dan tempat tertentu). Ini adalah rutinitas memesan kopi, mencari tempat duduk yang nyaman, dan mencoba tetap fokus di tengah suasana ramai. Suasana bising, suara musik, atau orang-orang yang berlalu-lalang menjadi bagian dari pengalaman ini. Para pekerja kreatif, freelancer, atau karyawan yang memiliki sistem kerja yang fleksibel sudah terbiasa dengan situasi ini. Mereka juga membuat aturan tidak tertulis, seperti tidak berbicara terlalu keras, Â tidak berlama-lama saat kafe penuh, atau saling menghargai ruang pribadi di tempat umum. Inilah bentuk budaya yang benar-benar dijalani sehari-hari oleh para pelaku Work from Cafe.
Budaya yang terekam adalah hal-hal yang terlihat dan dibagikan orang saat mereka menjalani WFC. Misalnya, foto kopi di samping laptop yang diunggah ke Instagram, ulasan tentang kafe yang nyaman untuk kerja di blog atau Google Maps, atau artikel-artikel yang membahas gaya hidup bekerja dari kafe. Semua itu adalah contoh bagaimana WFC disebarkan dan dikenal oleh banyak orang. Dari hal-hal yang dibagikan inilah terbentuk gambaran bahwa WFC adalah sesuatu yang keren, modern, dan cocok untuk orang-orang kreatif.
Budaya tradisi yang selektif berarti bahwa munculnya WFC menunjukkan perubahan cara orang bekerja dari dulu hingga sekarang. Kalau dulu kebanyakan orang harus datang ke kantor dari pagi sampai sore, sekarang banyak yang lebih suka bekerja dari tempat yang lebih fleksibel seperti kafe. Dalam budaya ini, orang-orang mulai memilih nilai-nilai baru seperti bebas mengatur waktu sendiri, bekerja lebih mandiri, dan menggabungkan pekerjaan dengan gaya hidup mereka sehari-hari. Cara kerja seperti ini meninggalkan aturan-aturan kaku seperti di kantor, dan lebih memilih suasana kerja yang santai, nyaman, dan menyenangkan.
Dengan memahami bagaimana WFC memilih dan membentuk nilai-nilai baru dalam dunia kerja, kita bisa melihat bahwa budaya ini tidak hadir secara tiba-tiba. Ia lahir dari proses panjang, di mana perubahan cara bekerja juga ikut membentuk cara berpikir, merasakan, dan menjalani hidup. Di sinilah pandangan Raymond Williams menjadi relevan, bahwa budaya bukan hanya soal seni atau simbol, tetapi juga soal pengalaman sehari-hari yang membentuk struktur cara kita merespons zaman. WFC, dalam hal ini, bukan hanya soal tempat kerja alternatif, melainkan cerminan dari perubahan cara hidup dan cara memaknai pekerjaan di tengah perubahan sosial dan ekonomi yang lebih luas. Pandangan Raymond Williams ini mengingatkan kita bahwa hal-hal yang kelihatan biasa dalam hidup sehari-hari sebenarnya bisa memiliki makna yang dalam. Ini bukan cuma soal tempat yang nyaman atau praktis untuk bekerja, tapi mencerminkan perasaan dan kebutuhan orang-orang zaman sekarang, yaitu keinginan untuk merasa bebas, kreatif, dan tetap produktif di tengah situasi ekonomi yang tidak menentu. Ketika kita melihat seseorang bekerja di kafe, duduk dengan kopi di samping laptop, sebenarnya kita sedang melihat pertemuan antara teknologi, perubahan ekonomi, dan cara orang mencari makna dalam pekerjaan mereka. WFC memperlihatkan bahwa kebiasaan sederhana pun bisa mencerminkan hal-hal besar dalam masyarakat. Inilah bukti bahwa budaya itu bukan sesuatu yang jauh, melainkan cara kita menjalani hidup setiap hari.
Sumber:
Aulia, T. R. (2025). Fenomena FOMO Coffe Shop Sebagai Gaya Hidup di Kalangan Remaja Pengunjung Kurasu Coffe. https://repository.usni.ac.id/repository/ea7bc210c30a5c73ca0f8d231afad03e.pdf
Baker, C., & Jane, E. A. (2016). Cultural Studies Theory and Practice 5th Edition (5th ed.). SAGE Publication.
Budi Ernanto. (2023, December 20). 3 Tren Industri Kopi pada Masa Mendatang. Mediaindonesia.com. https://mediaindonesia.com/ekonomi/638725/3-tren-industri-kopi-pada-masa-mendatang