Mohon tunggu...
adi mulia pradana
adi mulia pradana Mohon Tunggu... -

dari HI UGM untuk Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kematian Etika dalam Berebut Kursi Perguruan Tinggi: Kalahnya Si Miskin

10 Januari 2014   13:24 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:57 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Camaba, ia, dikhianati oleh apa yang ia harap, suatu kursi kampus, sampai hancur segala yang dimiliki hanya karena biaya. Padahal ia punya cita-cita, barangkali mulia, menjadi seseorang yang mampu berguna bagi sesama setelah lulus. Lantas setelah belajar keras ia dapat diterima di sebuah kampus luar negeri, sebuah kebanggaan, juga mungkin, kehormatan yang lain. Kehormatan dari sepetak sawah.

Kehormatan meraih kursi kampus, meraih kuota ditengah perebutan oleh ratusan ribu lembar tes dan mungkin ratusan juta (per orang) bukanlah sekedar barang. Ada kebanggaan memiliki. Ada rasa marah karena sebuah hak direbut. Ada makian: huruf-huruf itu memprotes dan sekaligus putus asa terhadap kampus yang tidak menolerir, tidak membuat fleksibel seorang miskin tapi pintar. Dengan kata lain, sebuah perkara besar, karena ia justru terbit pada seorang yang begitu kecil.

Orang yang kecil adalah orang yang memprotes dengan keyakinan tipis bahwa protes itu akan didengar, dan karena itu teriaknya sampai ke liang lahat.

Seperti sebuah sajak, “Misalkan Kita di Sarajevo”:

Hanya seakan ada yang meneriakan tuhan, lewat lubang angindi tembok kiri, ke dalam deru hujan, menyerukan ajal,memekikan jajal, dan desaunya seperti sebuah sembahyang tak jelas,nyeri, sebuah doa dalam bekas.

Camaba ini juga sebenarnya mencoba menjerit tinggi-tinggi. “Kalau betul-betul negara ini adil, harusnya aku bisa mendapat keringanan, dan mungkin beasiswa lainnya di kampus ini,”. Dia bilang, KALAU betul-betul. Dia tidak bilang, KARENA ini negara adil….

Camaba ini meminta, berharap mungkin dan itu berarti dengan keras — karena ia sesungguhnya tidak begitu yakin.

Bagaimana ia bisa yakin? Ia pasti tahu ia bukan termasuk mereka yang bisa menang. Ia bahkan mungkin tak termasuk mereka yang pernah menang. Orang kecil adalah orang yang, pada akhirnya, terlalu sering kalah. Camaba ini hanya sendiri: sudah teramat lemah untuk dikeroyok para lingkar kekuasaan akademis, juga dikeroyok kekuatan kapital yang mengincar kursinya (atau “setengah haknya”), terlampau lemah untuk berontak.

Tapi ia, yang masih punya nyala hidup, toh masih punya rekan yang tak tinggal diam, khalayak tak dikenal dan lagi amat sedikit, tapi peduli. Ia harus berdiri dengan dukungan dan perlindungan. Ia boleh saja kalah, ditindas, melepas, tapi ia tidak membisu. Dan hidup kita, kata seorang bijak, terbuat dari kematian orang-orang lain yang tidak membisu.

Dia berujar, tapi mungkin saja seperti bermimpi, andai dan andai Tuhan mengubah peruntungannya, dia, yang hanya setamat SMA, hanya (akhirnya) mencangkul, memacul, akan memberi beasiswa pada yang benar-benar berhak. Tapi mimpinya terasa berat. Amat berat.

Lalu apa kabar yang tadi, selintas sesama camaba tadi, yang menyindir dan atau menghardik ketus pada camaba miskin yang akhirnya melepas "setengah hak-nya"? oh tentu saja mereka kalangan amat mampu. saking mampunya, mereka pun juga mampu pula mendapat beasiswa dari kampus. entah aplikasi formulir apa dan isi apa yng tertera. siapa tahu negara juga membiayai si mampu ini kuliah S2 dan S3. siapa tahu...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun