Libur Idul Fitri tahun 2017, saya diajak bapak dari rumah Simbah di Kebumen menuju ke Dataran Tinggi Dieng. Tujuan utama kami adalah Telaga Warna. Sejak kecil, saya sering mendengar cerita dari bapak tentang keindahan telaga itu. Bapak pernah KKN di Dieng, dan katanya, Telaga Warna adalah tempat yang paling sering ia kunjungi bersama teman-temannya. Menurut bapak, warna air telaga warna bisa berubah-ubah, kadang hijau, kadang biru, bahkan bisa tampak keemasan jika terkena sinar matahari. Cerita itu membuat saya penasaran dan menaruh ekspektasi tinggi.
Namun, saat kami tiba di lokasi, ekspresi bapak berubah. Bapak terlihat sedikit kaget. Telaga yang dulu ia kenal penuh warna kini tampak biasa saja. Airnya hijau pekat, cenderung seperti warna lumut. Tidak ada pantulan warna-warni seperti yang ia ceritakan. Saya tidak tahu apakah itu karena cuaca, waktu kunjungan, atau memang kondisi telaga sudah berubah.
Namun, baru saja saya mencermati fakta di internet terkait perubahan di telaga warna, dan ini bukan sekadar perbedaan persepsi. Berdasarkan data studi lingkungan dari Universitas Gadjah Mada, Telaga Warna memang mengalami tekanan ekologis yang cukup serius. Warna air telaga yang dulu bisa berubah karena kandungan sulfur dan mineral kini semakin tidak stabil. Aktivitas pertanian intensif di sekitar Dieng, terutama budidaya kentang, menyebabkan erosi dan sedimentasi yang mempercepat pendangkalan telaga.
Laporan dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jawa Tengah mencatst bahwa lebih dari 7.700 hektare lahan di Dieng telah menjadi tanah kritis. Tingkat erosi mencapai 10,7 mm/tahun, atau sekitar 161 ton/hektare/tahun. Sedimentasi ini tidak hanya mengganggu ekosistem telaga, tetapi juga berdampak pada kualitas air dan daya tarik visualnya.
Selain itu, penggunaan pupuk dan pestisida secara masif ikut mencemari aliran air yang bermuara ke telaga. Kandungan kimia dari pertanian terbawa melalui runoff dan memicu proses eutrofikasi atau penyuburan air yang berlebihan akibat nutrien, sehingga memicu pertumbuhan alga dan lumut. Hal ini menjelaskan kenapa air telaga tampak hijau pekat dan tidak lagi jernih atau berwarna-warni.
Telaga Warna memang masih menjadi destinasi wisata populer di Dieng. Situs Native Indonesia (https://nativeindonesia.com/telaga-warna/) menyebutkan bahwa telaga ini tetap menarik karena suasananya yang tenang dan udara sejuk. Namun, keindahan yang dulu menjadi daya tarik utama kini mulai tergeser oleh kenyataan ekologis yang tidak bisa diabaikan.
Pengalaman saya bersama bapak di tahun 2017 menjadi titik refleksi. Ada jarak antara kenangan dan kenyataan. Telaga Warna yang dulu memukau kini menghadapi tantangan lingkungan yang nyata. Jika tidak ada upaya pelestarian yang serius, bukan tidak mungkin telaga ini akan kehilangan identitasnya sebagai ikon alam Dieng.
Pemerintah telah menetapkan Dieng sebagai Geopark Nasional pada Mei 2025, sebuah langkah penting untuk konservasi. Namun, pelaksanaannya masih menghadapi tantangan koordinasi antarinstansi dan rendahnya kesadaran masyarakat lokal terhadap pentingnya menjaga ekosistem.
Telaga Warna bukan hanya soal wisata. Ia adalah cermin dari bagaimana kita memperlakukan alam. Dan pengalaman saya di sana menjadi pengingat bahwa keindahan alam tidak bisa hanya dijaga oleh nostalgia, tapi harus dirawat dengan tindakan nyata.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI