Setiap malam, suara knalpot bising seperti teror yang datang tak diundang. Mengganggu tidur, memecah konsentrasi, bahkan memancing emosi. Saya pribadi mungkin masih bisa menahan diri. Tapi bagaimana dengan warga lain yang sudah tak sanggup lagi menoleransi? Lemparan batu, kejar-kejaran, bahkan potensi kecelakaan hingga kematian, semuanya jadi mungkin ketika emosi sudah lebih bising dari suara knalpot itu sendiri.
Anak muda itu salah, jelas. Tapi apakah masyarakat yang merespons dengan kekerasan jadi benar? Tidak juga. Kita seperti terjebak dalam lingkaran reaksi berantai: pelanggaran → kemarahan → balas dendam → kekacauan sosial.
Dan di tengah itu semua, negara seolah berdiam, hanya sesekali muncul lewat razia formalitas. Lalu menghilang lagi.
Fenomena knalpot bising bukan sekadar masalah suara. Ini gejala dari sesuatu yang lebih dalam: kurangnya ruang ekspresi anak muda, lemah penegakan aturan, dan hilangnya dialog antarwarga.
Solusinya?
- Tegakkan aturan secara konsisten, bukan insidental. Razia jangan hanya jadi konten viral.
- Libatkan komunitas anak muda, berikan ruang untuk berbicara dan berkreasi, bukan cuma diberi label “pembuat onar”.
- Pemerintah lokal harus hadir. RT, RW, hingga kelurahan perlu aktif menjadi jembatan, bukan penonton.
- Warga juga harus bijak, jangan main hakim sendiri. Tindakan kekerasan hanya menciptakan korban baru.
Kita boleh marah. Tapi kalau kemarahan hanya dibalas dengan kemarahan, maka kita semua sedang memelihara kegaduhan yang lebih besar.
Dan nanti, saat korban pertama jatuh karena batu atau pipa besi, kita baru akan sadar: ternyata, kita semua salah.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI