Saham tadi umumnya merupakan "saham bluechip", yang mempunyai fundamental yang bagus dan likuiditas yang baik. Selain faktor keamanan, alasan investor institusi senang berinvestasi di saham tersebut adalah karena investor lain pun ikut memilikinya.
Hal ini tentunya mengurangi beban tanggung jawab yang dipikul oleh manajemennya kalau-kalau terjadi peristiwa di luar harapan.Â
Misal, jika suatu saat, pasar saham ambyar, dan saham-saham yang dimiliki turut "bergelimpangan", maka potensi kerugian yang sedang diderita bisa dijustifikasi dengan alasan bahwa investor institusi lain pun mengalami kerugian yang sama. Oleh karena itu, tidak ada pihak yang perlu dipersalahkan atau dituntut atas potensi kerugian yang dialami.
Fleksibel
Jika dilihat dari fleksibilitasnya, maka bisa dikatakan bahwa investor ritel lebih fleksibel untuk menambah atau mengurangi jumlah saham di portofolionya. Karena modal yang ditanamkan bernilai kecil, maka investor ritel mudah menjual atau membeli saham tanpa harus terkendala aturan tertentu.Â
Makanya, jangan heran kalau jumlah saham yang dimiliki bisa berubah dengan cepat, dalam hitungan bulan, minggu, atau bahkan hari.
Terlebih kalau investor yang bersangkutan mempunyai kepemilikan saham di atas 5%, maka ia wajib melaporkan setiap transaksi yang terjadi di saham tersebut kepada masyarakat. Ia tidak bisa bebas bertransaksi saham begitu saja, lantaran ada regulasi yang mesti dipatuhi.
Relatif
Jadi, untuk pertanyaan "Seberapa banyak saham yang mesti dikoleksi di dalam portofolio?" jawaban yang bisa diberikan adalah relatif.
Jumlah saham yang dimiliki bergantung pada besarnya modal yang dipakai untuk berinvestasi. Semakin besar modal yang dimiliki, maka semakin banyak pula saham yang dikoleksi.