Detik-detik "menegangkan" terjadi saat Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada semester pertama tahun 2020. Laporan yang disiarkan secara virtual itu disimak oleh banyak investor dengan cukup antusias.
Buktinya, tak hanya "duduk manis" di depan monitor, sejumlah investor ternyata lumayan rajin berkomentar. Ada berbagai macam komentar yang disampaikan, mulai dari prediksi pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB), pergerakan harga saham, hingga sekadar lelucon yang agak "nyeleneh".
Sebelumnya memang ada sejumlah konsensus yang memprediksi bahwa pertumbuhan PDB Indonesia mengalami minus yang cukup tajam. Meskipun angkanya berbeda-beda, namun jika dirata-rata, maka akan keluar perkiraan sebesar -4% hingga -6% secara year on year.
Dengan penurunan sedalam itu, berarti Indonesia sudah semakin dekat dengan resesi ekonomi. Hal ini tentu saja sungguh mengkhawatirkan, mengingat resesi bisa menyebabkan perekonomian di Indonesia kacau-balau dalam jangka panjang.
Jika boleh diumpamakan, maka efek yang ditimbulkan resesi ekonomi mirip dengan bekas jerawat. Dalam banyak kasus, jerawat dapat muncul dengan cepat. Jerawat bisa menggelembung dalam hitungan 1-2 hari saja.
Selain menimbulkan rasa sakit, jerawat tadi juga dapat menciptakan bekas yang susah hilang. Bekas itu biasanya berupa luka atau flek hitam di kulit.
Bekas inilah yang begitu mengganggu penampilan, sehingga bisa mengurangi tingkat kepercayaan diri seseorang. Untuk menghilangkan bekas jerawat tersebut, dibutuhkan waktu berminggu-minggu, atau bahkan berbulan-bulan lamanya.
Hal inilah yang kemudian memicu kecemasan sejumlah negara yang berisiko terkena resesi. Negara-negara tersebut khawatir bahwa perekonomian mereka akan susah pulih, seperti halnya yang terjadi pada krisis ekonomi beberapa dekade sebelumnya. Makanya, agar terhindar dari resesi, sejumlah negara tadi kemudian cukup rajin memberikan stimulus.
Indonesia pun demikian. Sejak Pandemi Covid-19 melanda tanah air, pemerintah rutin menyalurkan stimulus, mulai dari relaksasi kredit, pelonggaran pajak, pemberian insentif, hingga penyerahan bantuan sosial. Semua itu dilakukan agar masyarakat yang terdampak covid-19 bisa bertahan dalam krisis, serta memiliki cukup "tenaga" untuk bangkit begitu pandemi berlalu.
Biarpun telah banyak dana yang disalurkan, namun masih ada "jalan panjang" yang mesti dilalui Indonesia untuk kembali pulih sepenuhnya, mengingat BPS menyebutkan bahwa pertumbuhan PDB Indonesia ternyata minus sampai 5,32%. Angka ini memang masuk ke dalam perkiraan sebelumnya, tetapi pertumbuhan ekonomi kuartal berikutnya masih belum bisa ditebak.
Meski begitu, sejumlah spekulasi kemudian berkembang bahwa perekonomian bakal mulai bangkit pada kuartal 3 seiring diberlakukannya Kebijakan New Normal pada awal Juni kemarin. Pemulihannya memang tidak akan terjadi dalam waktu singkat, tetapi berlangsung secara bertahap.
Sampai blog ini ditulis, tanda-tanda menggeliatnya perekonomian sudah bisa disaksikan dalam kehidupan sehari-hari: pusat perbelanjaan sudah dibuka, tempat wisata dapat kembali dikunjungi, dan perkantoran beroperasi sebagaimana sebelumnya.
Tanda lain yang "menegaskan" bahwa perekonomian Indonesia pada kuartal 3 bakal membaik adalah pergerakan IHSG. Saat BPS mengumumkan kondisi ekonomi Indonesia yang tumbuh minus, alih-alih turun, pergerakan IHSG tampak "kalem-kalem" saja. Tidak ada tanda bahwa pasar saham akan mengalami "crash" seperti pada bulan Maret silam.
Hal ini bisa terjadi mungkin karena investor sudah mempunyai proyeksi tersendiri. Meskipun pada kuartal 3 pertumbuhan ekonomi Indonesia masih minus, namun investor berkeyakinan angkanya tidak akan sedalam kuartal sebelumnya. Alhasil, investor pun memilih mempertahankan saham-saham yang dikoleksinya dan IHSG tetap bertahan di level 5000-an.
Namun demikian, apapun masih mungkin terjadi. Secerah apapun prediksi para investor terhadap perbaikan ekonomi Indonesia, tetapi kalau ada kebijakan baru dari pemerintah untuk memperketat PSBB seperti sebelumnya, maka sangat mungkin IHSG akan kembali longsor. Jadi, kita hanya bisa menanti kelanjutannya.
Salam.
Referensi: https://ekonomi.bisnis.com/