Kondisi ini sempat memantik "nostalgia" masa lalu. Sebab, level kurs Rupiah dianggap mirip dengan waktu krisis moneter dulu, sehingga ada orang yang menyamakan bahwa situasi ekonomi yang terjadi sekarang sama dengan keadaan tahun 1998.
Padahal, situasinya berbeda jauh, sangat jauh bahkan. Hal ini bisa dilihat dari rating kredit yang diberikan lembaga pemeringkat kredit dunia, seperti Standard & Poors, Moody's Investor Service, dan Fitch Ratings.
Sekarang Indonesia memperoleh rating "BBB" dengan outlook "stable" dari lembaga tersebut.
Rating ini menunjukkan bahwa meskipun wabah Virus Corona sekarang sedang "menggoyang" perekonomian Indonesia, namun, pemerintah dinilai masih mampu menjaga stabilitas dalam negeri dengan baik, sehingga Indonesia tetap layak menjadi tempat untuk melakukan investasi.
Hal ini tentu berbeda dengan tahun 1998 lalu ketika situasi sedemikian kacau hingga Indonesia mendapat rating "D" alias "Default" dan tidak ada investor yang tertarik menanamkan modalnya di tanah air karena risikonya sangat besar.
Makanya, level kurs Rupiah saat ini tidak bisa disamakan dengan masa lalu.
Meski begitu, kampanye untuk "Mencintai Rupiah", saya kira, perlu digaungkan, mengingat salah satu sebab Dollar begitu "perkasa" ialah karena ada begitu banyak orang yang menimbun Dollar.
4. Mulailah Berinvestasi di Tengah Krisis
Anjloknya IHSG hingga 30% sejak awal tahun 2020 tentu berimbas pada portofolio saham yang dimiliki investor. Akibat kejadian tersebut, boleh jadi, ada banyak investor yang berpotensi menderita kerugiaan yang besar karena saham-saham yang dipegangnya minus cukup dalam.
Saya pun mengalami hal yang sama. Sejak terjadi "panic selling" pada bulan Maret kemarin, saham-saham yang saya pegang sempat longsor hingga 30-50%. Namun, alih-alih ikut menjual seperti investor lain, saya malah memutuskan menahan, dan bahkan membeli lagi di harga yang murah.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!