Keputusan pemerintah untuk menaikkan iuran BPJS Kesehatan sempat menuai polemik. Ada begitu banyak peserta BPJS Kesehatan yang mengeluh bahwa kenaikan tersebut bisa membikin beban keuangan bertambah "berat".
Saya sendiri pun bisa memahami perasaan para peserta BPJS Kesehatan. Sebagai peserta mandiri Kelas 1, saya juga merasa risau dan bimbang atas kenaikan tersebut.
Jauh sebelum keputusan itu disahkan, saya sempat kaget mendengar berita tentang kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Awalnya saya mengira bahwa nominal iuran yang akan dinaikkan tidak terlalu besar, hanya beberapa puluh persen saja. Namun, ternyata kenaikkannya mencapai 100%!
Hal itu tentu bisa dimaklumi karena nominal yang mesti saya keluarkan setiap bulan jadi membengkak. Sebelumnya, saya mesti menyiapkan uang sebesar 80 ribu rupiah per bulan untuk bisa terus berpartisipasi dalam program ini. Namun, kini jumlahnya bertambah menjadi 160 ribu rupiah per bulan.
Itu baru saya sendiri, belum kedua orangtua saya yang juga terdaftar di kelas yang sama. Jadi, kalau ditotal semua, kami sekeluarga mesti mengeluarkan biaya sebesar 480 rupiah per bulan untuk membayar iuran BPJS Kesehatan.
Kenaikan tersebut tentunya berimbas pada sejumlah aspek. Satu di antaranya ialah "eksodus" peserta BPJS Kesehatan dari kelas atas ke kelas bawah. Hal ini memang wajar terjadi.
Umumnya peserta dari Kelas 1 yang keberatan atas iuran yang baru memilih turun ke Kelas 2, yang tarifnya lebih rendah. Pun peserta dari Kelas 2 akan banyak hijrah ke Kelas 3.
Dalam sebuah acara di Jakarta, Dwi Asmariyati, selaku Asisten Deputi Bidang Pengelolaan Pelayanan Peserta BPJS Kesehatan, menjelaskan bahwa peserta BPJS Kesehatan yang pindah kelas memang banyak terjadi.
Biarpun begitu, bukan berarti perpindahan kelas tadi akan bebas masalah. Sebab, kalau jumlahnya masif, bisa saja akan terjadi over kapasitas di fasilitas kesehatan yang melayani peserta BPJS Kesehatan.
Boleh jadi, peserta di kelas-kelas bawah akan bertumbuk, dan pihak fasilitas kesehatan akan kewalahan menangani jumlah peserta BPJS Kesehatan yang bertambah banyak.
Dwi menerangkan bahwa persoalan itu memang mungkin terjadi. Namun demikian, persoalan tadi sudah diantisipasi oleh BPJS Kesehatan.
Seiring dengan banyaknya peserta yang "turun kelas", fasilitas kesehatan yang memberikan pelayanan juga telah diimbau dan diatur sedemikian rupa, sehingga penumpukan pasien peserta BPJS Kesehatan bisa diminimalkan. Dengan demikian, pelayanan medis terbaik tetap bisa diberikan.
Jemput Bola
Untuk melayani permintaan "turun kelas" dan keperluan lainnya, BPJS Kesehatan tak hanya memaksimalkan fungsi kantor-kantor yang tersedia, tetapi juga menjalankan program Mobile Customer Service (MCS).
Program ini mirip dengan layanan "SIM Keliling". Sebab, dalam menjalankan fungsinya, petugas BPJS Kesehatan memakai mobil yang dilengkapi dengan infrastruktur pendukung operasional pelayanan peserta untuk pendaftaran, perubahan data, cetak kartu, pemberian informasi, dan penanganan pengaduan.
Program ini merupakan aksi "jemput bola" yang dilakukan oleh BPJS Kesehatan untuk mengurangi penumpukan pelayanan peserta di kantor-kantor BPJS Kesehatan, sekaligus menjangkau lebih banyak lapisan masyarakat.
Program ini beroperasi di sejumlah titik, seperti kantor pemerintahan, alun-alun kota, pusat niaga, sekolah, dan area car free day. Dalam sejumlah kesempatan, program ini juga dapat ditemukan bersama dengan program lainnya, seperti sim keliling atau samsat keliling.
Program ini diharapkan mampu meningkatkan kualitas layanan. Peserta BPJS Kesehatan yang ingin mengurus proses "turun kelas" bisa memanfaatkan fasilitas ini. Selain lebih cepat diproses, program ini juga memudahkan peserta BPJS Kesehatan untuk mengurus segala macam keperluan lain dalam administrasi BPJS Kesehatan.