Sewaktu dulu ingin berinvestasi saham, orang-orang terdekat sempat menasihati saya bahwa hal itu sangat "berbahaya". Ada cukup banyak orang yang rugi atau bahkan bangkrut setelah menanamkan uangnya di saham. Mereka kemudian menyarankan supaya saya lebih baik menaruh saja semua uang di bank. "Lebih aman," kata mereka.
Kata-kata tadi sejatinya sempat "menyurutkan" niat saya untuk membuka rekening saham. Namun, setelah mempertimbangkan dengan saksama, saya kemudian mengabaikan semua nasihat tersebut.
Saya orangnya memang sering merasa penasaran, dan rasa penasaran itu akhirnya mengalahkan rasa bimbang yang sempat menyelimuti hati saya. Jadilah saya nekad membuka rekening saham di sebuah perusahaan sekuritas, dan mulai berinvestasi saham kecil-kecilan.
Untungnya, investasi saya lumayan berhasil. Saya sempat menikmati untung di atas bunga deposito bank. Hanya dalam hitungan bulan, saham-saham yang saya beli bertumbuh melampaui harapan.
Tentu tidak semua investasi saya berjalan lancar. Ada waktunya saham yang saya beli justru turun tajam meskipun saham tadi baru diborong 3 hari sebelumnya. Akibat saham tersebut "dihajar" bandar, saya sampai rugi hingga 11%. Terpaksa saya jual rugi saham tersebut, dan sebagian uang saya lenyap dalam waktu singkat!
Meski begitu, pengalaman pahit tadi tidak membuat saya kapok. Daripada menyesali keadaan, saya justru bisa memetik hikmah atas peristiwa tersebut. Saya jadi belajar bahwa berinvestasi saham itu tidak boleh serakah.
Jangan karena melihat harga suatu saham sedang naik tinggi, kita langsung terpincut membelinya. Semua keputusan investas mesti dipertimbangkan dengan kepala dingin daripada sekadar mengikuti hawa nafsu.
Kini saya masih aktif berinvestasi saham. Seiring berjalannya waktu, saya jadi lebih mengenal lika-liku bursa saham di Indonesia, sehingga bisa mengenali beberapa mitos dan fakta, yang dahulu sempat saya dengar dan baca seputar pasar saham. Makanya, lewat uraian berikut ini, saya mencoba menyingkap mitos dan fakta tersebut.
1. "Pasar saham sama dengan judi"
Sejak bertahun-tahun, pasar saham sering diidentikkan sebagai "kasino". Hal ini bisa terjadi karena orang-orang belum memahami penyebab pergerakan harga saham.
Sejatinya, harga saham yang setiap hari naik dan turun dipengaruhi beberapa faktor. Di antaranya adalah kinerja perusahaan. Kalau kita membeli saham dari perusahaan yang kinerjanya bagus, hampir bisa dipastikan, harganya akan naik.
Untuk mengetahui mana perusahaan yang berkinerja moncer, kita perlu melakukan suatu analisis. Namanya analisis fundamental. Lewat analisis ini, kita bisa mengetahui "isi perut" suatu perusahaan, sehingga merasa yakin apakah itu perusahaan yang sahamnya layak dikoleksi atau tidak.
Jadi, dalam memilih saham, kita tidak boleh asal-asalan, tidak boleh sembarang menebak ini-itu. Semua ada hitung-hitungannya. Sayangnya, tidak semua orang mau melakukan analisis fundamental sebelum membeli saham.
Alasannya? Karena analisis itu dianggap terlalu "ribet", "ruwet", dan "jlimet", meskipun kenyataannya tidak selalu demikian. Makanya, daripada menganalisis fundamental suatu perusahaan, investor pada umumnya lebih senang melakukan analisis teknikal, yang cenderung hanya mengamati grafik.
Itulah yang kemudian membentuk persepsi bahwa bursa saham adalah arena judi. Sebab, orang-orang tidak tahu apa yang mereka beli. Semuanya hanya mengandalkan keberuntungan. Andaikan kebetulan membeli saham yang tepat, investor bisa mendapat untung. Demikian pula sebaliknya.
Jadi, daripada asal memilih "cap-cip-cup" saham ini dan itu, lebih baik investor melakukan analisis fundamental secara cermat, sehingga bisa menghindari aksi spekulasi yang mirip dengan judi. Â Â
2. "Berinvestasi saham bisa bikin cepat kaya"
Perkataan tadi boleh jadi muncul akibat mentalitas judi yang dimiliki sejumlah investor. Bagi saya, kata-kata itu adalah sebuah mitos.
Berdasarkan pengalaman saya, keuntungan dari berinvestasi saham tidak bisa langsung muncul dalam sehari semalam. Pasar saham bukanlah "sulap". Jangan harap bisa langsung jadi orang kaya baru setelah berinvestasi saham. Semua butuh waktu, butuh proses.
Sayangnya, hal itu mustahil terjadi! Sebab, pertumbuhan harga saham itu cenderung bertahap. Ia mirip dengan seorang lelaki yang menaiki anak tangga selangkah demi selangkah sambil memainkan yoyo.
Si lelaki adalah analogi untuk suatu saham. Anak tangga adalah analogi untuk harga saham yang terus bertumbuh dari waktu ke waktu. Sementara, yoyo adalah analogi untuk pergerakan harga saham yang naik-turun dalam jangka waktu pendek.
Makanya, investor mesti mempunyai "kantong kesabaran" yang tebal. Jauhkan diri dari pikiran ingin cepat kaya dari bursa saham karena pikiran tadi hanya akan merugikan investor yang bersangkutan. Di bursa saham, yang bersabarlah yang akhirnya bisa menuai untung besar. Â
3. "Tidak ada bukti fisik kepemilikan investasi"
Sejumlah orang bilang bahwa transaksi saham itu berisiko karena tidak ada wujud fisiknya. Hal ini memang benar adanya. Sebab, mayoritas saham yang beredar di masyarakat sekarang sudah dialihwujudkan dalam bentuk digital.
Pada masa lalu, semua saham yang diterbitkan dicetak dalam wujud kertas. Namanya warkat saham. Warkat ini dipegang dan disimpan oleh investor. Jumlahnya pun tidak tanggung-tanggung. Andaikan beli 100.000 lembar saham, berarti investor mesti pegang 100.000 warkat.
Walau demikian, bukan berarti kita tidak bisa mengecek bukti kepemilikan saham yang dipegang. Kita masih bisa melihat catatan daftar saham yang kita punya di situs PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI).
Lembaga inilah yang berfungsi mendokumentasikan semua saham yang kita miliki. Jadi, jangan takut saham kita bisa dicuri atau disalahgunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.Â
4. "Investasi saham itu rumit"
Mitos ini sepertinya hanya berlaku untuk masa lalu. Pasalnya, saat ini, investasi saham jauh lebih mudah dilakukan. Semua proses, mulai dari pembuatan rekening, transaksi saham, pencarian data, hingga pencairan dana, dapat dilaksanakan dalam waktu relatif singkat.
Semua itu bisa terjadi karena kecanggihan teknologi informasi dan internet. Kehadiran teknologi demikian telah mempermudah tugas investor dalam memilah dan memilih saham yang layak diinvestasikan.
Berkat bantuan teknologi, investor tidak perlu lagi mengecek satu per satu informasi emiten, membaca laporan keuangan setiap perusahaan, atau sibuk melihat pertumbuhan bisnis dari tahun ke tahun.
5. "Butuh modal besar untuk membeli saham"
Ya, yang ini benar, hanya pada masa lalu. Sebab, kini jumlah satuan lot sudah dikurangi. Kalau dulu 1 lot saham isinya 500 lembar. Kini jumlahnya hanya 100 lembar.
6. "Tidak cocok untuk investor konservatif"
Sebetulnya saham cocok untuk semua tipe investor, baik itu konservatif, moderat, maupun agresif. Semua tipe tadi bisa disesuaikan dengan jenis saham yang dipilih.
Selain itu, andaikan terjadi krisis, saham-saham inilah yang akan lebih cepat "mantul" harganya. Sehari-hari, tingkat fluktuasi harganya juga cenderung rendah. Boleh dibilang, saham-saham ini cukup "ramah" untuk tipe investor yang menyukai pertumbuhan yang lambat dan tetap.
7. "Rawan dengan penipuan"
Ingat kasus manipulasi laporan keuangan Maskapai Garuda Indonesia yang heboh beberapa waktu lalu? Kasus tadi seyogyanya jadi pelajaran untuk semua investor bahwasanya investasi saham belum bebas sepenuhnya dari unsur penipuan.
Meskipun Bursa Efek Indonesia, selaku pengelola bursa saham, dan Otoritas Jasa Keuangan, selaku lembaga yang berwenang membuat dan mengawasi regulasi, telah bekerja sedemikian rupa untuk menghapus segala bentuk potensi kecurangan, penipuan, atau manipulasi, yang bisa merugikan investor, tetap saja semua itu belum bisa lenyap seluruhnya.
Pasar saham memang tidak lepas dari selubung mitos-mitos tersebut. Beberapa mitos yang dijelaskan di atas mungkin hanya sebagian. Barangkali masih ada mitos lain yang belum tersingkap sampai kita terjun ke bursa, dan merasakan sendiri "panas-dingin"-nya perdagangan saham secara langsung.
Salam.
Adica Wirawan