Mohon tunggu...
Adica Wirawan
Adica Wirawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - "Sleeping Shareholder"

"Sleeping Shareholder" | Email: adicawirawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Menangkal "Efek Domino" Krisis Finansial

25 Juni 2019   09:01 Diperbarui: 25 Juni 2019   09:12 283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
efek domino dalam finansial (sumber: https://www.manufacturingglobal.com)

Bitcoin mungkin adalah komoditas yang paling "panas" diperdagangkan pada tahun 2017. Betapa tidak, sepanjang tahun itu, nilainya telah naik berkali-kali lipat. Pada Bulan September, saat saya membeli bitcoin, harganya masih 50 jutaan rupiah per keping. Dua bulan kemudian harganya langsung "terbang" jadi 250 jutaan! Bisa dibayangkan hanya dalam 2 bulan kenaikannya mencapai hampir 500%!

Harga Bitcoin pada 23 September 2017 (sumber: dokumentasi Adica)
Harga Bitcoin pada 23 September 2017 (sumber: dokumentasi Adica)
Harga Bitcoin pada 28 Desember 2017 (sumber: dokumentasi Adica)
Harga Bitcoin pada 28 Desember 2017 (sumber: dokumentasi Adica)
Namun, kenaikan tadi tidak berlangsung lama. Pasalnya, sekitar Bulan Desember 2017, Bank Indonesia (BI) mengeluarkan peraturan yang melarang penggunaan bitcoin sebagai alat tukar. Bitcoin yang tadinya bisa dipakai membeli barang akhirnya kehilangan fungsinya.

Kebijakan tadi bertujuan menghindarkan masyarakat dari kerugian akibat perdagangan bitcoin yang sifatnya sangat spekulatif. Wajar, tanpa didasari fundamental yang jelas, pasar bitcoin telah jadi "arena judi". Sebab, orang-orang membeli bitcoin karena ikut-ikutan saja, dan hal itu berpotensi menciptakan "bubble" yang bisa memicu terjadinya "tsunami finansial".

Langkah BI tersebut diambil untuk mencegah "efek domino" ekonomi yang mungkin terjadi. Ingat krisis ekonomi yang menghantam Amerika Serikat pada tahun 2008? Krisis tersebut timbul akibat "efek domino" tadi.

Jika dirunut dari sejarahnya, krisis tadi berawal ketika ada begitu banyak lembaga investasi yang menerbitkan Collateral Debt Obligation (CDO) berkualitas rendah. CDO sejatinya adalah "bundelan Kredit Pemilikan Rumah (KPR)" yang disusun sedemikian rupa, diasuransikan, dan ditransaksikan sebagai sebuah instrumen investasi.


CDO yang populer pada awal tahun 2000-an ini mampu "memompa" gairah properti di Negeri Paman Sam. Pasalnya, kehadiran CDO memungkinkan setiap orang untuk mengajukan KPR dengan mudah. Ada banyak lembaga investasi yang "berlomba" menawarkan KPR tanpa memeriksa profil nasabahnya secara detil karena risiko kredit macet yang mesti ditanggung telah diminimalkan dengan paket CDO.

Hal itu akhirnya berimbas pada penjualan properti. Oleh karena mayoritas orang mudah mengambil KPR, harga properti di AS naik gila-gilaan. Tahun 2001-2007 adalah "masa keemasan" bagi pasar properti di sana.

Namun, seiring naiknya tingkat suku bunga AS yang bertahan lama, masa kejayaan tadi akhirnya "redup". Pada tahun 2018, pemilik KPR jadi sulit melunasi utang, pasar properti ambruk, dan lembaga investasi yang menjual CDO akhirnya kolaps.

Lehman Brothers, yang notabenenya bank investasi terbesar keempat di AS, menjadi korban atas "tsunami finansial" tersebut. Kolapsnya lembaga tersebut akhirnya menyebabkan kepanikan di pasar keuangan. Pasar saham di Amerika Serikat anjlok cukup dalam. Krisis tadi tak hanya terjadi di Amerika Serikat, tetapi juga berdampak ke negara lain, termasuk Indonesia.

Menjaga Stabilitas Sistem Keuangan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun